Rabu, 29 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 11



BAGIAN SEBELAS

* * *

-=2012=-

Dian dan Farah pun akhirnya menikah. Setelah melakukan resepsi pernikahan di siang hari, mereka berada di dalam mobil dan mereka pun sudah berstatus pengantin baru. Nampaknya Dian dan Farah sudah sangat lengket, terbukti dia terus-terusan memegang tangan masing-masing. Sopirnya saja termewek-mewek melihat pasangan serasi ini. Apalagi Dian memakai seragam tentara, sementara Farah memakai pakaian berwarna hijau muda.

“Dian, sepertinya sopir itu terus melihat kita. Apa tak apa kita memegang tangan terus?” ujar Farah yang melihat sopirnya terus memperhatikannya dan juga Dian.

“Tak apa, sayang. Jangan takut, selagi aku berada di sampingmu.” Dian pun mulai memanggil Farah dengan sebutan sayang.

“Iya, yah. Tapi kita mau ke mana sekarang?”

“Kita harus ke markas dulu, melakukan tradisi penyambutan. Kamu boleh berinteraksi dengan orang-orang di sana.”

“Hmm, baiklah. Berapa lama lagi kita sampai?”

“Kita akan sampai ¼ menit lagi. Tenang saja, yah.”

“Baiklah.”

Sesuai dengan perkiraan Dian yang ¼ menit lagi mereka sampai, akhirnya mereka sampai sesuai yang diperkirakan Dian. Pak sopir pun membuka pintu untuk Dian dan Farah dan mereka pun turun bersamaan dan mereka disambut oleh semua orang yang ada di markas seperti layaknya diberi kejutan ulang tahun kepada temannya.

Dian dan Farah diberi pelayanan yang baik di markas. Mereka layaknya raja dan ratu, di mana banyak jamuan makanan di depan mereka. Ya, seperti itulah Dian dan Farah. Mereka sedang berpesta bersama kawanan Dian di markas. Seperti biasa, jika ada salah satu anggota yang menikah, maka akan diberikan jamuan sebagai hadiah pernikahan mereka. Berhubung Dian yang menikah, jadi mereka membuat pesta yang sangat meriah tergantung dari seberapa kuatnya orang yang menikah itu untuk di sisi militer-nya.

Dian sangat senang mendapatkan istri yang sangat cantik seperti Farah, begitu pula dengan Farah yang juga sangat senang mendapatkan suami yang menjadi prajurit TNI yang gagah dan kuat seperti Dian.

Setelah selesai berpesta, Dian dan Farah pulang ke rumah baru mereka yang agak sedikit elit kelihatannya. Di sinilah mereka tinggal. Semua tas koper Dian dan Farah dipindahkan ke rumah ini. Bahkan barang-barang fisik pun dipindahkannya. Semua barang-barang makanan dan minuman sudah ada di rumah mereka.

Karena Dian dan Farah merasa capek karena sudah berpesta di markas dan mengangkat barang-barang mereka, kini mereka pun tiduran di spring bed bersama. Mereka tidur bersama di malam pertama mereka sebagai suami-istri. Karena Dian mempunyai badan yang begitu bidang, maka Dian pun memeluk istrinya dengan tangan kanannya.

“Gimana? Nyaman dipeluk olehku? Kau bilang kau suka bukan dengan pelukanku?” tanya Dian dengan bisikan yang menggoda.

“Iya, suka banget. Nyaman dipeluk oleh orang yang berbadan gede. Hihihi,” ucap Farah sambil tertawa cekikikan.

“Yah, tapi kan tidak setiap hari kau bisa rasakan yang seperti ini. Karena aku mungkin akan meninggalkanmu dalam tugas militer. Aku hanya diizinkan cuti selama resepsi pernikahan.”

“Berarti kau hanya diizinkan selama 1 hari saja?”

“Hmm, bisa saja sih. Tergantung dari situasinya. Aku tetap akan tugas nantinya. Itulah makanya aku selalu bilang padamu, kau harus ikut kegiatan ibu-ibu Persit. Biasanya tuh ibu-ibu Persit melakukan kegiatan yang bermanfaat, mereka juga adalah ibu-ibu yang ditinggalkan suaminya untuk bertugas. Visi utamanya itu adalah mendukung suaminya dalam berkarir. Kau juga harus seperti itu. Oke?”

“Hmm, baiklah, Dian. Tapi, kelihatannya Ayah Mertua sudah sangat tua yah, beda dengan Ibu Mertua. Umur berapa mereka?” Farah tiba-tiba bertanya tentang orang tua Dian, yang membuat Dian agak terkejut.

“Eumm, umur Ayahku kira-kira 58 tahun, ibuku 54 tahun. Rumahnya ada di Bandung. Jadi wajarlah kalau mereka sudah tua.”

“Ooh, begitu. Kalau saya mah, orang tuaku tidak tua-tua amat. Kenapa bisa tua begitu ya, Dian?”

“Lha, kan emang gitu orang tua. Biasanya cepat tua, dan gak selamanya akan muda.”

“Iya juga sih. Ehh, Mas Dian, boleh ambilkan aku air? Aku haus.”

“Iya. Tunggu sebentar yah, sayang,” kata Dian sambil melepas pelukannya pada istrinya kemudian bangun untuk mengambil air.

“Tunggu, Mas. Kalau bisa air-nya yang dingin yah. Haus sekali aku ini.”

“Iya, iya. Jangan manja gitulah.” Dian lalu mengelus kepala istrinya dengan lembut, lalu Dian pergi keluar untuk mengambil air.

Di ruang utama, Dian mengambil sebotol air dingin di kulkas dan kemudian mengambil camilan untuk mereka makan berdua.

Dian pun masuk kembali ke dalam kamar dan Farah langsung saja meneguk air dingin itu karena merasa sudah sangat kehausan.

“Gluk, gluk, gluk,” seteguk demi seteguk Farah meminum air itu tanpa dituangkan ke dalam gelas sekalipun. Dian yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat istrinya minum air seperti tidak pernah minum air selama seminggu. Farah langsung meminumnya dari botolnya dan akhirnya botol itu habis dalam satu liter.

“Wah, kelihatanya istriku sangat kehausan yah. Minum langsung dari botolnya.”

“Iya, dong. Saya sangat kehausan, bagaimana tidak karena tadi capek angkat barang.”

“Iya deh. Kau memang tangguh yah. Sama sepertiku, tangguh juga.”

Dian kembali memeluk istrinya seperti tadi. Dan mereka diam sejenak, kemudian mereka berbicara kembali.

“Oh iya... bagaimana kalau kita mengingat kenangan lama kita? Dan kita melakukannya hari ini,” kata Dian yang menyuruh istriya untuk mengingat sesuatu.

“Mengingat apa?”

“Ingat tentang tahun 2005. Tentang ciuman pertama kita.”

“Ahh, jangan ingat masa itulah. Aku jadi merinding.”

“Sudahlah, ingat sajalah. Yang duluan nyium siapa?”

“Ehh, bukannya Mas yang duluan nyium aku?”

“Tapi kau yang minta. Kenapa?”

“Oh, iya yah. Tapi kan bukannya kau...,” tiba-tiba saja, Dian mencium bibir Farah dengan secepat kilat. Hingga akhirnya, ciuman itu masih berlanjut dengan nikmat oleh mereka. Bahkan sampai menutupi selimut mereka. Mereka akhirnya bergumul malam itu. Mereka menikmati permainan yang mereka ciptakan sepanjang malam.

---------------------------

Keesokan harinya, Farah yang masih berada di tempat tidur akhirnya bangun dengan lemasnya. Farah bangun lalu masuk ke kamar mandi. Sementara Dian, sudah siap dengan memakai kemeja tentara dan topi tentara-nya. Dian nampak gagah dengan seragam tentara yang sedang ia pakai. Dian sedang melihat ke cermin, dan wajahnya masih nampak ganteng. Dan kemudian memakai topi tentara, sudah sangat pas dengan yang dipakainya sekarang.

Tak lama, Farah keluar dari kamar mandi dengan sangat senang dan langsung menghampiri suaminya. Suaminya kaget Farah keluar dengan sangat riang.

“Ehh, kau ini kenapa sih? Dian kaget tau!”

“Mas, aku... aku... aku hamil, Mas! Aku hamil!” Tiba-tiba, Farah berlompat kegirangan karena tahu bahwa dirinya sedang hamil.

“Oh? Benarkah? Selamat kalau begitu.” Wajah Dian hanya biasa saja mendengar kabar istrinya.

“Lho, itu saja?”

“I--iya. Aku senang dong kalau istriku hamil. Cuman hari ini aku sangat sibuk. Ada tugas militer yang harus aku jalani.”

“Tugas?”

“Tenang kok, aku akan pulang sebentar malam. Ada makanan yang sudah kusimpan di kulkas. Jadi, baik-baiklah di rumah.” Dian lalu mengelus kepala istrinya lalu menciumnya, kemudian dia pergi meninggalkan Farah sendirian di rumah.

Dian membawa mobilnya dan langsung pergi menuju markas. Farah akhirnya sendirian di rumah. Menjadi istri seorang prajurit memang melelahkan bagi Farah. Namun mendapat kasih sayang dari seorang prajurit, akan menyusahkan karena prajurit itu harus pergi berjuang demi Negara.

--------------------------

-=2016=-

Sekarang tidak ada lagi Dian di sisi Farah. Begitupun dengan Ayah Dian, Pak Hermawan. Tidak ada lagi Dian di sisi Pak Hermawan. Meskipun begitu, Dian tetap ada untuk melihat orang-orang tercintanya.

Di Bandung, Pak Hermawan dan istrinya disuruh Sersan Herman untuk menandatangani surat yang menjadi kerahasiaan kematian Dian. Pihak TNI sengaja merahasiakan kematian Dian karena terikat pada aturan yang harus mereka taati. Surat itu adalah sumpah kerahasiaan bagi para prajurit.

“Dan dengan berat hati, Pak Hermawan sebagai Ayahnya harus menandatangani ini. Bukannya kami ingin lantang, tapi ini adalah aturan. Aturan yang harus kami patuhi. Jadi, Bapak tidak boleh keberatan dengan ini. Kami tidak ingin kasih tahu media soal ini,” ucap Sersan Herman sedikit mendesah.

“Dian mati karena ingin melindungi Negara? Dan Dian mati karena ingin menyelamatkan seseorang?” Pak Hermawan lalu berkaca-kaca mendengar ucapan Sersan Herman.

“I--iya, Pak.”

“Awalnya Bapak keberatan dengan ini, tapi karena ini adalah anakku, jadi Bapak tanda tangani saja.”

Dengan berat hati, Pak Hermawan pun menandatangani surat itu sambil menangis. Pak Hermawan keberatan jika anaknya mati dalam misi untuk melindungi Negara. Pak Hermawan menyesal, jika dirinya mendukung Dian untuk menjadi tentara.

-----------------------------

Sementara istri Dian, Farah, tetap melakukan aktivitasnya sebagai Dokter. Melakukan operasi, memeriksa kesehtatan pasien, memeriksa obat, dan lainnya, semua dia lakukan tanpa mengingat lagi akan Dian.

Saat sesudah melakukan operasi, Farah pun duduk di cafetaria sambil memakan sandwich buatannya. Farah capek dan sedikit pusing karena hari ini, dia di-diagonis hamil 3 bulan anak kedua Dian dan Farah. Farah tentu senang karena dia bisa hamil lagi, tapi mungkin Dian juga sudah tahu namun belum mengetahuinya lebih lanjut lagi.

Farah terdiam sejenak dan kembali kepada memori yang tidak bisa dihapus di kepala Farah.

-------------------

-=2012=-

Pada situasi yang sama, Farah hamil 3 bulan anak pertama dari Dian. Berhubung juga Dian sedang cuti, maka Dian pun mengajak Farah ke sebuah kafe untuk merayakannya. Hanya mereka berdua. Dian juga sedang tidak memakai baju tentara, hanya memakai baju biasa saja.

“Selamat, istriku. Karena kau hamil 3 bulan anak kita. Oh ya, kira-kira, anak kita ini nanti jenis kelaminnya apa? Laki-laki atau perempuan? Kau sukanya apa?” tanya Dian dengan penuh keromantisan.

“Hmm, aku sukanya perempuan.”

“Kenapa?”

“Karena nanti dia akan membantuku dalam masak atau bersih-bersih. Mungkin Mas mau laki-laki, ya?”

“Kenapa memangnya?”

“Karena nanti dia akan menemani Mas nonton bola sampai malam, sampai akhirnya dia lupa akan sekolah. Nanti itu penyebab Mas, lho,” ucap Farah dengan nada yang bercanda.

“Ihh, gak gitu juga sih. Masa nanti anak kita akan bodoh? Nanti anak kita akan kuat seperti Ayahnya. Karena Ayahnya adalah seorang prajurit.”

“Ah, iya deh, iya. Betul juga apa yang Mas bilang. Nanti anak kita akan kuat dan tangguh, tak peduli anak kita laki-laki atau perempuan. Tapi apa kita akan berharap anak kita laki-laki saja? Karena aku kepikiran anak kita laki-laki.”

“Lho, kok berpikir begitu?”

“Tidak, cuman... aku ingin melihat anak kita seperti Mas, seorang prajurit.”

“Ooh, begitu. Ya sudah, semoga anak kita laki-laki. Oke? Kita bersulang.” Dian pun menyodorkan gelas yang berisi minuman pada Farah dan menyuruhnya untuk bersulang.

“Bersulang.” Farah pun membalas sodoran gelas Dian.

Farah tentu sangat senang karena usia kehamilannya dirayakan oleh Dian.

------------------------

-=2016=-

Farah kini tentu berada dalam kesendirian. Tanpa Dian, orang yang disayanginya. Farah tidak bisa berkata apa-apa lagi selain bisa merenungkan kesedihannya. Farah hanya bisa menadahkan kepalanya di meja sambil menenangkan pikirannya.

Setelah menandatangani surat itu, Pak Hermawan dan istrinya pun bersiap pergi ke Jakarta untuk mendapat kabar lebih lanjut tentang perkembangan Dian. Pak Hermawan siap apa adanya jika mendapat kabar yang buruk terhadap anaknya, dan Pak Hermawan tidak boleh bersedih karena itu. Kabar baik ataupun buruk, Pak Hermawan tetap harus siap.

BERSAMBUNG





Tidak ada komentar:

Posting Komentar