BAGIAN EMPAT
*
* *
-=2003=-
Dian Hermawan, kini telah menjadi
prajurit tentara. Seharian ini yang dia kerja hanyalah latihan, latihan, dan
latihan. Memang seperti itu menjadi seorang tentara. Harus mendapat latihan
fisik yang lebih. Pada saat itu dia masih menjadi bintara dengan pangkat rendah, sehingga dia harus
menjaga kehormatannya kepada bintara dengan pangkat menengah, seperti Letnan,
dan Letnan Kolonel.
Tugasnya menjadi Sersan tentu membuat
Dian khawatir karena setiap saat dia mungkin ditugaskan untuk menjalankan misi.
Bahkan misi itu harus membahayakan Dian, karena mungkin harus terkena tembakan
dari peperangan yang terjadi di Negara Berkonflik. Bahkan saat ada pihak dari
Negara Berkonflik yang tidak ingin berdamai dengan Indonesia padahal warga
Indonesia ada di Negara tersebut.
Suatu hari di pertengahan tahun 2003,
Dian mendapat tugas menjalankan misi penyelamatan WNI di Negara Lebanon. Bahkan
Dian harus membawa senjata lengkap untuk berjaga-jaga. Bersama dengan Letnan
Kolonel yang memimpin jalannya misi, Dian dan para teman-temannya dibawa ke
Negara Lebanon dengan helikopter besar.
Sesampainya di Negara Lebanon, Dian dan
para tentara lainnya mendapatkan penyuluhan dari Letnan Kolonel.
“Kalian ingatlah ini. Ketika sampai di
Negara Lebanon, kalian tak akan bisa menjamin keselamatan kalian. Selama
berperang, kalian mungkin salah satu dari kalian akan terbunuh ataupun dibunuh
oleh musuh kita. Atau bisa saja terluka. Jadi, kalian jangan merengek-rengek di
sini. Karena sebagai tentara baru di sini, kalian harus berani dan jangan takut
terhadap apapun. Karena senjata juga sudah lengkap. Kalian mengerti?”
“Siap! Mengerti, Pak Letnan!”
“Bagus. Aku mempercayakan Sersan Dian
Hermawan sebagai ketua dari tim misi kita. Dian, sudah siap untuk berani?”
“Siap! Mengerti, Pak Letnan!” seru Dian
yang ditunjuk sebagai ketua oleh Letnan Kolonel.
“Bagus. Sekarang kalian boleh istirahat
dan penyuluhan ini saya anggap kalian mengerti.”
“Hormat, Pak Letnan!” seru semua tentara
yang menghormati Letnan Kolonel saat Pak Letnan sudah keluar dari ruangan.
Setelah Pak Letnan keluar dari ruangan,
Dian sudah mempersiapkan senjatanya untuk berjaga-jaga. Dia sedang mengeluarkan
sesuatu dari dalam tas besarnya. Lalu dia mengeluarkan kotak makan yang dia
bawa dari Indonesia. Dan dia pun
memakannya dengan lahap. Tapi tiba-tiba, lengan kirinya sakit karena latihan
fisik. Dia terus memegang lengan kirinya karena kesakitan. Dia tidak melihat
ada relawan ataupun tim PMI untuk minta tolong.
Tapi syukurlah, ada satu relawan yang
datang menolong Sersan Dian. Dia seorang cewek, tapi dia adalah seorang dokter
yang kebetulan ditugaskan untuk menjadi relawan di Negara Lebanon. Si dokter
itupun langsung menghampiri Dian.
“Maaf, Pak. Sepertinya Anda kesakitan.
Di sebelah mana sakitnya?”
“Di--di lengan kiri saya. Hati-hati, ini
rasanya sakit sekali,” erang Dian yang masih memegang lengan kirinya.
Dokter itu segera mengobati lengan kiri
Dian yang sakit. Dokter itu mengeluarkan kotak P3K-nya dan segera mengobati
lengan kiri Dian. Dia membuka sedikit lengan baju Dian dan melihat di lengan
Dian ada yang berdarah.
“Sepertinya lengan Anda berdarah. Apa
Anda ditembak?”
“Ehh, sebelumnya iya dan sudah diobati
sebelumnya. Sa--saya tak tahu kalau darahnya keluar lagi di lenganku.”
“Maka sebaiknya hati-hati, lindungi diri
Anda dari ancaman musuh. Jangan kena tembak,” kata si dokter itu memberikan
nasehat pada Dian.
“Hei, mana bisa tentara harus melindungi
diri? Biarpun kami melindungi, tetap saja kami kena tembak. Masa harus pake
baju dobel untuk itu?”
“Iya deh, iya. Nih, sudah selesai.”
Lengan Dian pun sudah diplester
melingkar oleh dokter itu. Dian tentu merasa lega karena sudah ditolong oleh
dokter cantik ini.
“Makasih ya, Dok. Sudah menolongku.”
“Iya, sama-sama. Lagian aku relawan
sini. Jadi, kalau ada tentara yang terluka, aku akan tolong mereka. Oh ya,
ngomong-ngomong, kamu tentara yang ganteng di sini? Aku melihat semua tentara
yang baru masuk di sini, aku hanya melihatmu yang ganteng bersinar. Namamu
siapa ya?” tanya si dokter itu yang mulai ada rasa tertarik pada Dian.
“Oh ya? Sungguh aku ganteng?”
“Iya. Lenganmu juga besar dan... waah, badanmu
sangat bidang. Siapa namamu?”
“Hehe, namaku Sersan Dian Hermawan. Kamu
boleh panggil saya Dian. Terus, namamu siapa?”
“Namaku Dokter Farah Salsabila. Panggil
saja saya Farah. Kalau begitu, kita bisa sering-sering bincang yah.”
“Ampun kau ini. Aku punya banyak tugas,
dan kau baru pertama kali memujiku ganteng.”
“Iya juga sih. Tapi ingat pesanku tadi
yah, lindungi dirimu.”
“Siap deh. Wah, ini orang mulai tertarik
padaku. Tapi aku belum tentu tertarik padamu.”
“Tapi nanti ujung-ujungnya kau suka
padaku.”
“Kenapa memangnya?”
“Karena aku cantik, hehehe.”
“Jangan sombong kau ya, kau ini seorang
dokter. Kamu jangan coba-coba dekat dengan seorang tentara, nanti kamu juga akan
kesusahan sendiri,” ujar Dian dengan sedikit bercanda.
“Kenapa sih? Kan tentara itu ganteng,
berotot, dan berwibawa. Aku suka yang itu.”
“Ah, sudah deh. Jangan mengoceh gitu.
Sudah, sudah.” Dian menenangkan Farah karena terus mengoceh.
“Iya deh. Kalau begitu, aku permisi yah.
Dah, tentara ganteng~” Farah memuji Dian lagi, lalu dia pergi berlari. Dian
hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Farah memuji Dian ganteng-ganteng
terus.
--------------------
-=2016=-
Hingga sekarang, Farah masih ingat dengan
pertemuan pertamanya dengan suami tercinta yang sekarang ini sudah berpangkat
menjadi Letnan Kolonel. Saat pacaran dulu, Farah masih memuji-muji Dian sebagai
tentara gagah, tentara paling ganteng di antara semua tentara, bahkan Farah tak
menyesal menikah dengan Dian karena sudah menjadi kriteria Farah dalam memilih
cowok.
Dan sekarang, Farah tidak bisa
berinteraksi dengan Dian karena Dian sekarang berada di Negara Timur Tengah,
tepatnya di Negara Suriah yang sampai sekarang ini selalu terlibat perang.
Mertua Dian melihat Farah melamun
sendirian. Mereka pun menghampiri anaknya yang melamun.
“Hei, jangan selalu khawatirkan Dian.
Dian tak apa-apa di sana. Dian sedang menjalankan misi di sana. Jangan
khawatir, dia pasti baik-baik saja.”
“Huhh, iya. Sebaiknya aku tak perlu
mengkhawatirkannya. Dia pasti baik-baik saja.”
Kemudian Farah pun bergabung bersama
orang tuanya untuk berbincang-bincang.
------------------
Helikopter di bandara Suriah pun datang.
Mungkin itu dari helikopter rombongan Dian. Setelah helikopter diparkirkan di
bandara, semua tentara pun keluar dari helikopter, termasuk Dian Hermawan. Dian
keluar dari helikopter dengan baju tentara dan sepatu tentaranya yang sangat
khas. Sementara dia berjalan, dia mengeluarkan smartphone-nya untuk menelepon istrinya yang ada di Indonesia.
“Hai, istriku yang cantik. Sedang apa di
Indonesia?”
“Mas Dian? Kamu sudah sampai?”
“Iya, dong. Aku akan menjalankan misi
kali ini di Suriah. Tenang, nanti tak lama lagi aku akan pulang. Tenang saja di
sana yah.”
“Iya, Mas. Aku juga berharap semoga Mas
bisa baik-baik di sana.”
“Iya, Farah. Nanti kutelepon lagi yah.”
“Iya, Mas.”
Dian pun menutup teleponnya dan kembali
berlanjut jalan.
Tiba-tiba, ada suara tembakan terdengar
di wilayah bandara.
“DUARRR!” Begitulah suara tembakan yang
sangat keras dan entah kemana asal dari tembakan itu.
Dian sempat mendengar suara tembakan
itu, dengan berbalik ke belakang. Tapi, peluru itu tiba-tiba saja merosot ke
tubuh Dian sehingga Dian tertembak. Dian pun merasakan peluru itu masuk di
tubuhnya dan tubuhnya tiba-tiba lunglang tak berdaya. Tentara lainnya juga
mendengar tembakan itu dan juga melihat Dian tertembak.
“Astaga! Pak Letnan tertembak! Cepat,
selamatkan Pak Letnan! Sesuatu, tolong Pak Letnan! Pak Letnan tertembak!” seru
salah seorang tentara yang melihat badan Dian berdarah terkena tembakan.
Sementara Dian, tidak berdaya dan
langsung jatuh terbaring. Dian masih dapat membuka matanya dan melihat para
tentara langsung datang menghampiri dirinya yang terbaring lemah. Dian masih
dapat bernafas, terbukti dengan suara nafasnya yang masih terdengar. Dan dia
masih dapat melihat para tentara menghampiri dirinya. Namun secara perlahan,
Dian pun memejamkan matanya. Dan akhirnya, Dian benar-benar memejamkan matanya
dan tak sadarkan diri karena tembakan itu.
Para tentara itupun menghampiri Dian
yang terluka karena kena tembakan.
“Pak Letnan! Apa Anda sudah sadar?
Tolong bangun, Pak! Bangun! Jangan seperti ini!”
Semua orang yang keluar dari helikopter
itu langsung membawa Dian langsung ke tim relawan untuk mendapatkan perawatan.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar