Jumat, 17 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 7



Sebelumnya...

BAGIAN TUJUH

* * *

­Di pusat kota Damaskus, Suriah, telah terjadi peristiwa runtuhnya crane proyek pembangunan gedung mewah. Setidaknya ada 100 lebih korban terlibat dalam peristiwa tersebut. Korban tewas ataupun luka-luka, belum dapat dipastikan karena akan melakukan penyelamatan. Bekerja sama dengan TNI dan Relawan dari Indonesia, mereka akan sama-sama melakukan penyelamatan dan menginvestigasi peristiwa runtuhnya crane tersebut.

Pagi hari, di kamp Unit, Dian sebagai ketua tim penyelamatan, mengarahkan 29 tentara yang akan melakukan penyelamatan dari para korban runtuhnya crane di kota Damaskus.

“Kalian ingatlah ini. Saya akan mengirimkan kalian ke lokasi penyelamatan, karena kalian harus menyelamatkan korban runtuhnya crane. Kalian harus siap tanggap dalam menghadapi semuanya. Tenang, kalian bisa selamat, kok. Justru kalian harus memakai otak kalian dan mencari cara bagaimana untuk menyelamatkan para korban. Kalian mengerti?”

“Siap! Mengerti, Pak Letnan!”

“Baik, kalian tinggal menunggu helikopter mengangkut kalian. Jadi ingatlah pesan saya tadi. Oke?”

“Siap, Pak Letnan!”

Kemudian, Dian langsung meninggalkan para tentara itu dan langsung menuju mobil jeep dan mengendarai mobil jeep itu langsung menuju pusat kota Damaskus.

-----------------------

-=2013=-

Dian dan istrinya yang sedang hamil 7 bulan, pergi ke supermarket untuk membeli sesuatu. Namun tiba-tiba, Dian ditabrak oleh seorang anak yang sedang berjalan sambil membawa es krim. Bahkan, es krim itu jatuh di baju tentara hijau muda Dian. Baju tentara yang penuh dengan pangkat-pangkat itupun harus kotor karena es krim yang dibawanya. Sementara anak itu jatuh dan menangis karena es krim-nya tinggal cone-nya saja. Beruntung Dian berbaik hati menolong anak itu. Dia tidak marah atau geram pada anak itu, justru dia mengelus kepala anak itu dan memperingatkan supaya anak itu berhenti menangis.

“Sudahlah. Kamu jangan menangis. Cuma es krim saja kamu menangis? Nih, Om kasih uang untukmu buat beli es krim baru. Lalu, orang tuamu mana?” tanya Dian sambil mengelus kepala anak itu lagi.

“Orang tua saya... sedang pergi, Om. Saya ditinggalkan oleh orang tua saya.”

“Mungkin orang tuamu sedang membeli sesuatu. Ya sudah, Om belikan es krim untukmu. Ikut sama Om, terus Om akan carikan orang tuamu.”

“Tapi, saya tidak mau.”

“Kenapa? Takut sama Om? Kamu tidak perlu takut, Om baik kok. Ayo, ikut sama Om.” Dian mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.

Anak kecil itu masih ragu-ragu ikut pada Dian.

“Ayolah. Tak apa-apa kok, Om bukan penculik. Justru Om ingin menolongmu. Ayo. Sekalian aku ingin mencari orang tuamu. Ayo, tak apa-apa.” Dian terus membujuk anak itu supaya dia bisa menolong anak itu.

Hingga akhirnya, anak itupun mau mengikuti Dian dan terus memegang tangan Dian.

Dian pun kelihatan seperti Ayah dari anak itu, karena terus dipegang oleh anak itu. Bahkan istrinya yang sedang hamil pun juga heran melihat anak itu bersama dengan Dian.

“Siapa anak itu?” tanya istrinya yang melihat Dian membawa anak kecil.

“Dia anak yang terlantar. Tak apa kan kalau aku bawa dia? Kasihan, dia kehilangan orang tuanya.”

“Hmm, tidak apa-apa. Asal kamu harus bantu anak itu. Mungkin dia tersesat karena mencari orang tuanya. Terus, kenapa baju tentaramu bisa kotor gitu?”

“Karena dia tidak sengaja menumpahkan es krimnya di bajuku. Tak apa kok.”

Istrinya hanya diam dan langsung berjalan kembali untuk berbelanja. Dian masih saja memegang anak itu sambil membawanya kesana kemari.

----------------------

Setelah mereka berbelanja bulanan, Dian, Farah, dan anak kecil itu langsung berada di meja kasir untuk membayar semua barang belanjaannya. Tak lupa pula, Dian juga mengambil es krim enak untuk anak kecil itu. Setelah semua barang belanjaannya dibayar, maka Dian langsung memberikan es krim pada anak kecil itu.

“Nih, es krim untukmu sebagai gantinya yang tadi jatuh itu.”

“Makasih yah, Om.”

“Iya, sama-sama.”

“Farah, kamu masuk duluan dalam mobil, belanjaannya ditaruh di luar dulu, nanti aku bereskan,” ujar Dian pada Farah yang ingin masuk dalam mobil.

“Nah, Om akan carikan orang tuamu. Siapa tahu, meeka sedang mencarimu sekarang.”

Dan tak berapa lama, ada sepasang suami istri yang sedang mencari-cari anaknya. Mereka mencari kesana kemari. Mungkin mereka adalah orang tua dari anak kecil itu.

“Nah, itu dia mungkin orang tuamu. Mereka pasti mencari-cari dirimu. Sini, biar Om yang membawamu.” Dian memegang tangan anak itu lagi dan membawanya kepada orang tuanya.

“Permisi, Pak, Bu. Apa Anda sedang mencari anak Anda?”

“Iya, apa Bapak melihatnya?” Ibu anak kecil itu merasa sedih karena kehilangan anak kecilnya.

“Iya, saya lihat. Bukannya ini?” Dian langsung menarik anak itu dan memperlihatkannya pada dua orang itu.

“Astaga, Hafid, kamu dari mana aja sih? Ibu merindukanmu.” Ibu anak kecil itu langsung memeluk anaknya sambil menangis bahagia karena anaknya sudah ditemukan.

“Makasih, yah Pak karena sudah menemukan anak kami.” Ayah anak kecil itu berterima kasih pada Dian karena sudah menemukan anak laki-lakinya.

“Iya, Pak. Sama-sama. Lagian, saya juga menemukan anak ini di depan pintu masuk. Kalau begitu, saya pamit dulu karena saya sedang buru-buru.”

Dian langsung berlari menuju mobil yang masih belum dimasukkan barang belanjaan. Dian pun memasukkan barang belanjaannya ke bagasi mobilnya. Setelah itu, Dian pun masuk dalam mobil dan langsung berlalu pergi dari supermarket itu.

--------------------------

-=2016=-

Dian masih teringat saat menyelamatkan anak kecil yang tersesat di supermarket. Andai saja Dian seperti anak kecil itu, di mana Dian pergi merantau tahun ’99, pasti dia akan ditemukan oleh orang tuanya yang mencari-carinya dan disuruh untuk minta maaf. Andai saja Dian seperti itu, pasti sudah lama Dian minta maaf pada orang tuanya, terutama pada sang Ayah.

Tiba-tiba, sinyal walkie-talkie Dian masuk. Itu panggilan dari Sersan Irdan.

Pak Letnan, Pak Letnan? Apa Anda bisa dengar saya? Kami sedang membutuhkan bantuan. Ada korban yang terjebak di sini. Apa Anda bisa ikut membantu untuk menyelamatkan korban? Ganti.”

“Iya, Sersan Irdan. Saya bisa dengar Anda. Apa yang terjadi di sana?”

Korban terjebak, Pak. Apa Anda bisa menyelamatkannya?

“Siapa korbannya?”

Ada orang Indonesia di sini. Mereka bisa bicara bahasa Indonesia.”

“Baik, saya akan segera kesana. Secepatnya!”

Dian buru-buru langsung naik mobil jeep-nya dan menuju ke tempat kejadian.

“Sersan Irdan, Sersan Irdan? Di mana tempat itu runtuh? Saya sedang menuju ke kota Damaskus.”

Tepatnya di wilayah darurat dekat pusat kota. Anda nanti akan melihat tenda darurat yang berwarna merah itu. Maka disitulah tempatnya.”

“Baik, saya akan segera kesana.”

Dian langsung menancap gas mobil jeep-nya menuju tempat darurat yang disebutkan oleh Sersan Irdan.

---------------------------

Setelah sampai di tempat darurat, Dian langsung melihat situasi di situ sudah sangat darurat. Para tentara dan para relawan membawa para korban runtuhnya crane  yang sangat besar itu. Dian sungguh heran melihat ini semua. Korban-korban pada berjatuhan dan ada pula sebagian orang Indonesia yang telah menjadi korban runtuhnya crane di Suriah.

Letkol Dian? Anda sudah sampai?” Sersan Irdan memanggil di walkie-talkie.

“Iya. Saya sudah sampai. Bagaimana keadaan di sana? Apa mereka masih bisa bicara?”

Iya, Pak. Kebanyakan di dalam ada orang Indonesia, dan itu akan membantu jika kita menolongnya.”

“Baik, saya akan segera kesana.”

Dian pun langsung berlari menuju tempat Sersan Irdan berada sekarang ini. Setelah sampai, Dian membawa alat-alat yang dibawanya di mobil jeep untuk menolong korban yang terjebak di dalam gedung karena crane yang tiba-tiba menghalangi.

“Pak, Bu, apa kalian baik-baik saja di dalam?” Dian mencoba bicara memakai bahasa Indonesia pada para korban di dalam.

“Iya, kami baik-baik saja di sini. Tolong kami, tolong kami,” para korban berteriak minta tolong di dalam gedung.

“Bertahan di dalam! Kami akan segera menolong!”

Dian pun menggunakan semua tenaga-nya dan alat yang dibawanya untuk menolong orang yang ada di dalam. Dibantu oleh Sersan Irdan, bersama-sama dia masuk dalam tempat yang terjebak itu. Susah payah Dian masuk ke dalam demi menyelamatkan para korban yang ada di dalam.

Rupanya Dian melihat sebagian korban dari Indonesia. Ada yang terluka, bahkan ada yang terkena besi yang ditindih di badannya.

“Sersan Irdan, kamu selamatkan yang terluka itu. Sementara aku, selamatkan yang terluka parah itu,” perintah Dian pada Sersan Irdan.

“Siap, dimengerti, Pak Letnan.”

Sersan Irdan berusaha untuk menyelamatkan yang terluka ringan, sementara Dian mencoba untuk menyelamatkan orang yang terluka parah karena terkena besi yang ditindih. Orang yang luka parah itu berasal dari Indonesia. Dian mencoba untuk bicara dengan orang itu.

“Pak, Bapak masih bisa bertahan, kan? Saya akan mencoba untuk menyelamatkan Bapak.”

“I--iya, Bapak masih bertahan. Cepatlah selamatkan saya. Kumohon.”

“Tapi ini tidak mudah, karena besi yang ditindih oleh badan Bapak sangatlah keras. Mungkin Bapak akan sangat kesakitan. Jadi, kami akan membutuhkan beberapa tentara dan dokter untuk menyelamatkan Bapak. Dan mana mungkin saya akan menyelamatkan Bapak jika saya kesusahan seperti ini?”

Dian pun langsung memanggil semua prajurit yang bertugas untuk menyelamatkan si bapak yang terjebak ini.

“Panggilan, panggilan. Kalian dipanggil untuk selamatkan bapak ini. Bawa 10 tentara dan 5 relawan, cepat. Ini perintah Pak Letnan!” Dian memanggil lewat walkie-talkie.

Baik! Siap!

--------------------------

Tak berapa lama, para prajurit dan relawan pun datang dan masuk ke dalam tempat para korban terjebak. Prajurit membawa beton untuk mengangkat besi yang sudah lama ditindih oleh tubuh bapak itu.

“Pak, siapkah Bapak menerima rasa sakit ketika besi diangkat dari tubuh Bapak?” tanya Dian pada bapak itu.

“Si--siap, pak tentara.”

“Baik, saya hitung sampai tiga yah pak. Satu... Dua... Tiga...!”

Prajurit-prajurit itu mengangkat beton-nya hingga besi menjadi terangkat. Bapak itu merasa sangat sakit, terlihat dari erangannya yang sangat keras. Dian pun juga ikut membantu dalam pengangkatan beton itu. Hingga akhirnya, besi itu sudah tidak tertindih lagi di tubuh bapak itu.

“Bagaimana? Apa Bapak kesakitan?”

Bapak itu tidak menjawabnya, melainkan hanya mengangguk-ngangguk saja. Dian juga paham dengan bapak itu.

“Baik sekarang, giliran para Dokter yang mengobati tubuh bapak ini. Lalu bawa ke tempat posko, saya akan menunggu.”

“Siap! Mengerti, Pak Letnan!”

Dian langsung pergi keluar dari tempat itu, begitu pula dengan Sersan Irdan beserta korban-korban yang diselamatkannya.

------------------------

Setelah Bapak itu diselamatkan, Dian dan bapak itu mengobrol sejenak tentang bagaimana pekerjaan bapak itu sehingga harus ke Suriah.

“Pak, apa Bapak tahu? Ketika bekerja di luar negeri seperti ini, apa Bapak tidak merindukan anak-anak Bapak di rumah?”

“Ehh, saya... saya sebenarnya... punya anak semata wayang. Anak saya adalah seorang mahasiswa, dan saya meninggalkan anak saya sendirian di rumah. Dan juga... dan juga... saya takut jika anak saya membenci saya.” Bapak itu tiba-tiba berkaca-kaca bercurhat pada Dian.

“Jadi, Bapak... Bapak meninggalkan anak Bapak sendirian di rumah? Apa Bapak punya kesalahan pada anak Bapak?” Lalu, Dian juga ikut berkaca-kaca mendengar bapak itu curhat pada dirinya.

“Justru karena itu, Bapak ingin segera pulang dari Suriah untuk bertemu anak Bapak. Bapak punya rasa bersalah padanya.”

“Jadi... jadi, Bapak akan pulang dari Suriah untuk bertemu anak Bapak?”

“Iya. Ma--mau lihat foto anak Bapak? Kelihatannya anak Bapak sama sepertimu.” Bapak itu mengeluarkan sebuah foto dirinya bersama dengan anaknya. Lalu, Bapak itu memberikannya pada Dian.

Dian melihat foto itu tiba-tiba menangis terisak karena teringat dengan Ayah tercinta di Indonesia. Dian menunduk sambil terus menangis dan menangis.

Dian sama seperti yang dialami Bapak itu. Namun Dian tidak boleh meninggalkan tugasnya begitu saja, karena ini tugas yang penting. Dan ini juga menjadi tugas Negara bagi Dian.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar