Sebelumnya...
BAGIAN TUJUH
*
* *
Di
pusat kota Damaskus, Suriah, telah terjadi peristiwa runtuhnya crane proyek pembangunan gedung mewah.
Setidaknya ada 100 lebih korban terlibat dalam peristiwa tersebut. Korban tewas
ataupun luka-luka, belum dapat dipastikan karena akan melakukan penyelamatan.
Bekerja sama dengan TNI dan Relawan dari Indonesia, mereka akan sama-sama
melakukan penyelamatan dan menginvestigasi peristiwa runtuhnya crane tersebut.
Pagi hari, di kamp Unit, Dian sebagai
ketua tim penyelamatan, mengarahkan 29 tentara yang akan melakukan penyelamatan
dari para korban runtuhnya crane di
kota Damaskus.
“Kalian ingatlah ini. Saya akan
mengirimkan kalian ke lokasi penyelamatan, karena kalian harus menyelamatkan
korban runtuhnya crane. Kalian harus
siap tanggap dalam menghadapi semuanya. Tenang, kalian bisa selamat, kok.
Justru kalian harus memakai otak kalian dan mencari cara bagaimana untuk
menyelamatkan para korban. Kalian mengerti?”
“Siap! Mengerti, Pak Letnan!”
“Baik, kalian tinggal menunggu
helikopter mengangkut kalian. Jadi ingatlah pesan saya tadi. Oke?”
“Siap, Pak Letnan!”
Kemudian, Dian langsung meninggalkan
para tentara itu dan langsung menuju mobil jeep dan mengendarai mobil jeep itu
langsung menuju pusat kota Damaskus.
-----------------------
-=2013=-
Dian dan istrinya yang sedang hamil 7
bulan, pergi ke supermarket untuk membeli sesuatu. Namun tiba-tiba, Dian
ditabrak oleh seorang anak yang sedang berjalan sambil membawa es krim. Bahkan,
es krim itu jatuh di baju tentara hijau muda Dian. Baju tentara yang penuh
dengan pangkat-pangkat itupun harus kotor karena es krim yang dibawanya.
Sementara anak itu jatuh dan menangis karena es krim-nya tinggal cone-nya saja.
Beruntung Dian berbaik hati menolong anak itu. Dia tidak marah atau geram pada
anak itu, justru dia mengelus kepala anak itu dan memperingatkan supaya anak
itu berhenti menangis.
“Sudahlah. Kamu jangan menangis. Cuma es
krim saja kamu menangis? Nih, Om kasih uang untukmu buat beli es krim baru.
Lalu, orang tuamu mana?” tanya Dian sambil mengelus kepala anak itu lagi.
“Orang tua saya... sedang pergi, Om.
Saya ditinggalkan oleh orang tua saya.”
“Mungkin orang tuamu sedang membeli
sesuatu. Ya sudah, Om belikan es krim untukmu. Ikut sama Om, terus Om akan
carikan orang tuamu.”
“Tapi, saya tidak mau.”
“Kenapa? Takut sama Om? Kamu tidak perlu
takut, Om baik kok. Ayo, ikut sama Om.” Dian mengulurkan tangannya pada anak
kecil itu.
Anak kecil itu masih ragu-ragu ikut pada
Dian.
“Ayolah. Tak apa-apa kok, Om bukan
penculik. Justru Om ingin menolongmu. Ayo. Sekalian aku ingin mencari orang
tuamu. Ayo, tak apa-apa.” Dian terus membujuk anak itu supaya dia bisa menolong
anak itu.
Hingga akhirnya, anak itupun mau
mengikuti Dian dan terus memegang tangan Dian.
Dian pun kelihatan seperti Ayah dari
anak itu, karena terus dipegang oleh anak itu. Bahkan istrinya yang sedang
hamil pun juga heran melihat anak itu bersama dengan Dian.
“Siapa anak itu?” tanya istrinya yang
melihat Dian membawa anak kecil.
“Dia anak yang terlantar. Tak apa kan
kalau aku bawa dia? Kasihan, dia kehilangan orang tuanya.”
“Hmm, tidak apa-apa. Asal kamu harus
bantu anak itu. Mungkin dia tersesat karena mencari orang tuanya. Terus, kenapa
baju tentaramu bisa kotor gitu?”
“Karena dia tidak sengaja menumpahkan es
krimnya di bajuku. Tak apa kok.”
Istrinya hanya diam dan langsung
berjalan kembali untuk berbelanja. Dian masih saja memegang anak itu sambil
membawanya kesana kemari.
----------------------
Setelah mereka berbelanja bulanan, Dian,
Farah, dan anak kecil itu langsung berada di meja kasir untuk membayar semua
barang belanjaannya. Tak lupa pula, Dian juga mengambil es krim enak untuk anak
kecil itu. Setelah semua barang belanjaannya dibayar, maka Dian langsung
memberikan es krim pada anak kecil itu.
“Nih, es krim untukmu sebagai gantinya
yang tadi jatuh itu.”
“Makasih yah, Om.”
“Iya, sama-sama.”
“Farah, kamu masuk duluan dalam mobil,
belanjaannya ditaruh di luar dulu, nanti aku bereskan,” ujar Dian pada Farah
yang ingin masuk dalam mobil.
“Nah, Om akan carikan orang tuamu. Siapa
tahu, meeka sedang mencarimu sekarang.”
Dan tak berapa lama, ada sepasang suami
istri yang sedang mencari-cari anaknya. Mereka mencari kesana kemari. Mungkin
mereka adalah orang tua dari anak kecil itu.
“Nah, itu dia mungkin orang tuamu.
Mereka pasti mencari-cari dirimu. Sini, biar Om yang membawamu.” Dian memegang
tangan anak itu lagi dan membawanya kepada orang tuanya.
“Permisi, Pak, Bu. Apa Anda sedang
mencari anak Anda?”
“Iya, apa Bapak melihatnya?” Ibu anak
kecil itu merasa sedih karena kehilangan anak kecilnya.
“Iya, saya lihat. Bukannya ini?” Dian
langsung menarik anak itu dan memperlihatkannya pada dua orang itu.
“Astaga, Hafid, kamu dari mana aja sih?
Ibu merindukanmu.” Ibu anak kecil itu langsung memeluk anaknya sambil menangis
bahagia karena anaknya sudah ditemukan.
“Makasih, yah Pak karena sudah menemukan
anak kami.” Ayah anak kecil itu berterima kasih pada Dian karena sudah
menemukan anak laki-lakinya.
“Iya, Pak. Sama-sama. Lagian, saya juga
menemukan anak ini di depan pintu masuk. Kalau begitu, saya pamit dulu karena
saya sedang buru-buru.”
Dian langsung berlari menuju mobil yang
masih belum dimasukkan barang belanjaan. Dian pun memasukkan barang
belanjaannya ke bagasi mobilnya. Setelah itu, Dian pun masuk dalam mobil dan
langsung berlalu pergi dari supermarket itu.
--------------------------
-=2016=-
Dian masih teringat saat menyelamatkan
anak kecil yang tersesat di supermarket. Andai saja Dian seperti anak kecil
itu, di mana Dian pergi merantau tahun ’99, pasti dia akan ditemukan oleh orang
tuanya yang mencari-carinya dan disuruh untuk minta maaf. Andai saja Dian
seperti itu, pasti sudah lama Dian minta maaf pada orang tuanya, terutama pada
sang Ayah.
Tiba-tiba, sinyal walkie-talkie Dian
masuk. Itu panggilan dari Sersan Irdan.
“Pak
Letnan, Pak Letnan? Apa Anda bisa dengar saya? Kami sedang membutuhkan bantuan.
Ada korban yang terjebak di sini. Apa Anda bisa ikut membantu untuk
menyelamatkan korban? Ganti.”
“Iya, Sersan Irdan. Saya bisa dengar
Anda. Apa yang terjadi di sana?”
“Korban
terjebak, Pak. Apa Anda bisa menyelamatkannya?”
“Siapa korbannya?”
“Ada
orang Indonesia di sini. Mereka bisa bicara bahasa Indonesia.”
“Baik, saya akan segera kesana.
Secepatnya!”
Dian buru-buru langsung naik mobil
jeep-nya dan menuju ke tempat kejadian.
“Sersan Irdan, Sersan Irdan? Di mana
tempat itu runtuh? Saya sedang menuju ke kota Damaskus.”
“Tepatnya
di wilayah darurat dekat pusat kota. Anda nanti akan melihat tenda darurat yang
berwarna merah itu. Maka disitulah tempatnya.”
“Baik, saya akan segera kesana.”
Dian langsung menancap gas mobil
jeep-nya menuju tempat darurat yang disebutkan oleh Sersan Irdan.
---------------------------
Setelah sampai di tempat darurat, Dian
langsung melihat situasi di situ sudah sangat darurat. Para tentara dan para
relawan membawa para korban runtuhnya crane
yang sangat besar itu. Dian sungguh
heran melihat ini semua. Korban-korban pada berjatuhan dan ada pula sebagian
orang Indonesia yang telah menjadi korban runtuhnya crane di Suriah.
“Letkol
Dian? Anda sudah sampai?” Sersan Irdan memanggil di walkie-talkie.
“Iya. Saya sudah sampai. Bagaimana
keadaan di sana? Apa mereka masih bisa bicara?”
“Iya,
Pak. Kebanyakan di dalam ada orang Indonesia, dan itu akan membantu jika kita
menolongnya.”
“Baik, saya akan segera kesana.”
Dian pun langsung berlari menuju tempat
Sersan Irdan berada sekarang ini. Setelah sampai, Dian membawa alat-alat yang
dibawanya di mobil jeep untuk menolong korban yang terjebak di dalam gedung
karena crane yang tiba-tiba
menghalangi.
“Pak, Bu, apa kalian baik-baik saja di dalam?”
Dian mencoba bicara memakai bahasa Indonesia pada para korban di dalam.
“Iya, kami baik-baik saja di sini. Tolong kami,
tolong kami,” para korban berteriak minta tolong di dalam gedung.
“Bertahan di dalam! Kami akan segera
menolong!”
Dian pun menggunakan semua tenaga-nya
dan alat yang dibawanya untuk menolong orang yang ada di dalam. Dibantu oleh
Sersan Irdan, bersama-sama dia masuk dalam tempat yang terjebak itu. Susah
payah Dian masuk ke dalam demi menyelamatkan para korban yang ada di dalam.
Rupanya Dian melihat sebagian korban
dari Indonesia. Ada yang terluka, bahkan ada yang terkena besi yang ditindih di
badannya.
“Sersan Irdan, kamu selamatkan yang
terluka itu. Sementara aku, selamatkan yang terluka parah itu,” perintah Dian
pada Sersan Irdan.
“Siap, dimengerti, Pak Letnan.”
Sersan Irdan berusaha untuk
menyelamatkan yang terluka ringan, sementara Dian mencoba untuk menyelamatkan
orang yang terluka parah karena terkena besi yang ditindih. Orang yang luka
parah itu berasal dari Indonesia. Dian mencoba untuk bicara dengan orang itu.
“Pak, Bapak masih bisa bertahan, kan?
Saya akan mencoba untuk menyelamatkan Bapak.”
“I--iya, Bapak masih bertahan. Cepatlah
selamatkan saya. Kumohon.”
“Tapi ini tidak mudah, karena besi yang
ditindih oleh badan Bapak sangatlah keras. Mungkin Bapak akan sangat kesakitan. Jadi,
kami akan membutuhkan beberapa tentara dan dokter untuk menyelamatkan Bapak. Dan
mana mungkin saya akan menyelamatkan Bapak jika saya kesusahan seperti ini?”
Dian pun langsung memanggil semua
prajurit yang bertugas untuk menyelamatkan si bapak yang terjebak ini.
“Panggilan, panggilan. Kalian dipanggil
untuk selamatkan bapak ini. Bawa 10 tentara dan 5 relawan, cepat. Ini perintah
Pak Letnan!” Dian memanggil lewat walkie-talkie.
“Baik!
Siap!”
--------------------------
Tak berapa lama, para prajurit dan
relawan pun datang dan masuk ke dalam tempat para korban terjebak. Prajurit
membawa beton untuk mengangkat besi yang sudah lama ditindih oleh tubuh bapak
itu.
“Pak, siapkah Bapak menerima rasa sakit
ketika besi diangkat dari tubuh Bapak?” tanya Dian pada bapak itu.
“Si--siap, pak tentara.”
“Baik, saya hitung sampai tiga yah pak. Satu...
Dua... Tiga...!”
Prajurit-prajurit itu mengangkat
beton-nya hingga besi menjadi terangkat. Bapak itu merasa sangat sakit,
terlihat dari erangannya yang sangat keras. Dian pun juga ikut membantu dalam
pengangkatan beton itu. Hingga akhirnya, besi itu sudah tidak tertindih lagi di
tubuh bapak itu.
“Bagaimana? Apa Bapak kesakitan?”
Bapak itu tidak menjawabnya, melainkan hanya
mengangguk-ngangguk saja. Dian juga paham dengan bapak itu.
“Baik sekarang, giliran para Dokter yang
mengobati tubuh bapak ini. Lalu bawa ke tempat posko, saya akan menunggu.”
“Siap! Mengerti, Pak Letnan!”
Dian langsung pergi keluar dari tempat
itu, begitu pula dengan Sersan Irdan beserta korban-korban yang
diselamatkannya.
------------------------
Setelah Bapak itu diselamatkan, Dian dan
bapak itu mengobrol sejenak tentang bagaimana pekerjaan bapak itu sehingga
harus ke Suriah.
“Pak, apa Bapak tahu? Ketika bekerja di
luar negeri seperti ini, apa Bapak tidak merindukan anak-anak Bapak di rumah?”
“Ehh, saya... saya sebenarnya... punya
anak semata wayang. Anak saya adalah seorang mahasiswa, dan saya meninggalkan
anak saya sendirian di rumah. Dan juga... dan juga... saya takut jika anak saya
membenci saya.” Bapak itu tiba-tiba berkaca-kaca bercurhat pada Dian.
“Jadi, Bapak... Bapak meninggalkan anak
Bapak sendirian di rumah? Apa Bapak punya kesalahan pada anak Bapak?” Lalu,
Dian juga ikut berkaca-kaca mendengar bapak itu curhat pada dirinya.
“Justru karena itu, Bapak ingin segera
pulang dari Suriah untuk bertemu anak Bapak. Bapak punya rasa bersalah padanya.”
“Jadi... jadi, Bapak akan pulang dari
Suriah untuk bertemu anak Bapak?”
“Iya. Ma--mau lihat foto anak Bapak?
Kelihatannya anak Bapak sama sepertimu.” Bapak itu mengeluarkan sebuah foto
dirinya bersama dengan anaknya. Lalu, Bapak itu memberikannya pada Dian.
Dian melihat foto itu tiba-tiba menangis
terisak karena teringat dengan Ayah tercinta di Indonesia. Dian menunduk sambil
terus menangis dan menangis.
Dian sama seperti yang dialami Bapak
itu. Namun Dian tidak boleh meninggalkan tugasnya begitu saja, karena ini tugas
yang penting. Dan ini juga menjadi tugas Negara bagi Dian.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar