BAGIAN LIMA
*
* *
-=2003=-
Pada pertengahan tahun 2003, tepatnya di
bulan Agustus, Dian mendapatkan misi untuk menyelamatkan WNI yang disandera
oleh sekelompok organisasi Islam di Negara Lebanon. Dan Dian harus
menyelamatkan WNI yang disandera tersebut.
Setelah diobati oleh sang dokter wanita
yang telah resmi menjadi istrinya, Farah Salsabila, Dian pun langsung menuju
wilayah berbahaya untuk melakukan misi. Bersama tentara lainnya, dia masuk di
ruangan tempat sejumlah WNI yang bekerja di Lebanon disandera oleh sekelompok
organisasi Islam, semacam teroris. Bahkan teroris ini mengancam tentara di
Negara apapun yang akan masuk di wilayahnya. Teroris itu meminta tebusan 100
juta rupiah pada 17 WNI yang disandera. Mereka diberikan waktu selama 1 bulan,
dan jika mereka tidak meminta tebusan itu, maka mereka akan dibunuh oleh
teroris-teroris yang telah menyandera mereka. Dan setelah memberikan
kesepakatan untuk melakukan kerja sama, maka Indonesia pun akan menyelamatkan
17 WNI yang disandera itu. Yakni dengan bantuan militer.
Dian membentuk sebuah tim dalam misi
penyelamatan WNI kali ini. Mereka sudah siap dengan senjatanya. Mereka
perlahan-lahan masuk di dalam ruangan itu, lalu tiba-tiba ada yang menghadang
mereka. Siapa lagi kalau bukan teroris yang kejam itu? Teroris-teroris itu juga
sudah menyiapkan senjata untuk menodong tim Dian.
“What
do you want in here?” tanya teroris itu memakai Bahasa Inggris.
“Kami di sini ingin membebaskan sandera.
Mana sandera kalian?” Tentara dari tim Dian bicara memakai bahasa Indonesia dan
membuat teroris itu tak mengerti.
“I’m
not understand what army’s say. You guys, speak in English,” tegasnya yang
menyuruh mereka bicara dalam Bahasa Inggris.
“We’re
here is want to liberate the citizens of Indonesia, because you're hostage
them. Where the hostage?” Kini, Dian pun angkat bicara.
“Hey,
you’re the sergeant? Why don’t you say to your team about how you and your team
is fool?”
“Wait,
you ridicule us? How you dare?! Where the hostage?” Tiba-tiba, Dian naik
darah mendengar pernyataan dari teroris itu.
“Not
the time to discuss our hostages, do you want to get hurt with our gun? What is
your name, Sergeant?”
“You
don’t need know in my name. You look in my uniform.” Dian langsung
memperlihatkan papan nama-nya yang tertempel di baju tentaranya.
“Oow,
you’re name is Dian Hermawan. It means, you’re Sergeant Dian?”
“Yes,
you’re right.”
“Why did you sign on our territory?”
“Because this is mission. You don’t need to
know. Because you fool.”
“What? What do you say?”
“No need to repeat. We want to liberate the
your hostage.”
“Before that...” Teroris itu
langsung mengeluarkan senjatanya, dan langsung menembakkan ke arah tim Dian.
Sersan Dian pun juga siap untuk menodongkan senjatanya ke arah teroris itu.
Tim Dian
bersiap untuk menembak. Namun tiba-tiba saja, ada seseorang di belakang Dian,
menodongkan senjatanya ke arah Dian dan langsung menembak Dian dua kali.
Tembakan orang
itu membuat Dian langsung jatuh terkapar di lantai. Para tentara di tim Dian
langsung terkejut melihat Dian yang tertembak.
“Sersan Dian,
Sersan Dian, Anda tidak apa-apa? Anda tertembak.”
Dian masih
dapat mendengar suara rintihan dari para tentara itu. Namun Dian langsung tak
sadarkan diri karena tembakan itu.
------------------------
-=2016=-
Dian masih
teringat akan rintihan dari rekan timnya. Dulu dia dipanggil Sersan Dian,
sekarang dia dipanggil Pak Letnan. Terbukti akan suara rintihan dari para
tentara yang baru saja turun dari helikopter dan melihat Dian ditembak.
Langsung saja, para tentara itu membawa Dian ke tempat posko di mana para
tentara dan para relawan berkumpul di situ. Dian dibawa dengan helikopter
khusus yang membawanya ke posko.
Setelah sampai
di posko, Dian langsung dibawa ke rumah sakit khusus untuk mengobati luka
tembak Dian. Ada dua tentara yang membawa Dian memakai tandu.
“Tolong, para
tim medis, Pak Letnan terluka. Cepat obati Pak Letnan. Ada tempat tidur kosong
untuk Pak Letnan?”
“Oh, oh! Ada,
ada! Silakan bawa dia ke sebelah sini.” Perawat itu tergesa-gesa membawa Dian
ke tempat tidur kosong.
Segera, Dian
pun diobati oleh beberapa dokter dan perawat. Dian sendiri masih di bawah
kesadarannya. Dian sekarang ini sedang bermimpi. Mimpi yang amat-amat
menyenangkan. Dia dikelilingi oleh orang-orang terdekatnya, dan juga Ayahnya.
Semua orang mengkhawatirkan Dian yang sekarang ini sedang terluka.
Dokter dan
perawat masih menangani luka tembak Dian, namun tiba-tiba Dian bergumam sendiri
seolah-olah memanggil Ayahnya. Tentara yang menolongnya juga melihat Dian
bergumam.
“Ayah, Ayah.
Ayah.”
“Ooh, Pak
Letnan sudah sadar?”
“Ayah, Ayah,
Ayah ada di mana? Tolong Dian, Ayah. Dian minta maaf.” Dian masih belum
mendapatkan kesadarannya dan masih bermimpi.
“Kenapa Pak
Letnan bergumam begitu? Kenapa Pak Letnan bilang ‘Ayah’?”
Lalu secara
tiba-tiba, Dian langsung sadar dan tak ingat dari apa yang dilakukannya.
“Oh? Pak
Letnan? Apa Pak Letnan sudah sadar?”
“Ahh... Aku di
mana? Kenapa aku ada di sini? Perasaan, aku ada di bandara. Dan terakhir kali,
aku menengar suara tembakan dari
bandara.” Dian tiba-tiba kehilangan ingatannya setelah sadar.
“Pak Letnan
kena tembak. Ada yang menembak Pak Letnan di bandara.”
“Apa? Siapa?”
“Tak tahu,
kami sedang menyelidiki penembaknya. Kenapa bisa ada orang yang menembak Pak
Letnan?”
“Tapi aneh... Kenapa bisa aku ditembak
saat aku sudah sampai di bandara? Harusnya para tentara lainnya cari si
penembak itu segera. Kenapa mereka diam saja?”
“Ehh, saat itu kami tidak tahu jika ada
penembak. Kita hanya jalan saja.”
“Harusnya perhatikan keadaan sekitar,
dong! Siapa yang bertanggung jawab dengan senjata? Panggil mereka segera!”
“Yang bertanggung jawab adalah Yanuar
dan Raka. Biar saya panggilkan untuk Anda, Pak Letnan.”
Tentara itupun memanggil Yanuar dan Raka
ke kamp untuk berhadapan langsung kepada Pak Letnan.
“Hei, Yanuar dan Raka, kalian dipanggil
Pak Letnan.”
“Apa lagi sih?”
“Kan kalian yang tanggung jawab soal
senjata, bukan? Kalian dipanggil, cepat! Pak Letnan sedang marah sekarang.”
Yanuar dan Raka langsung pergi ke rumah
sakit khusus untuk berhadapan dengan Pak Letnan Dian. Dan Dian sendiri, walau
terluka karena tembakan, dia duduk di tempat tidur berhadapan dengan Yanuar dan
Raka.
“Kalian... Kenapa tadi kalian tidak
mengontrol situasi?”
“Ta--tadi itu... kita tak tahu jika ada
penembakan.”
“Harusnya kalian lihat kiri-kanan. Kejadian
seperti ini biasanya kita tak tahu jika ada sesuatu terjadi. Harusnya kalian
lihat jika terjadi apa-apa. Kalau aku ditembak seperti ini, bagaimana? Kalian
ingin Pak Letnan mati gitu? Haah?!!”
“Maafkan kami, Pak.”
“Kalian lari 100 kali keliling kamp.
Cepat!!”
“Baik, Pak! Hormat!”
Saat Yanuar dan Raka ingin keluar dari
ruangan, tiba-tiba tentara yang tadi itu mendapatkan informasi tentang si
penembak itu.
“Pak Letnan! Pak Letnan! Kami sudah
mendapatkan informasi-nya!”
“Siapa penembak itu?”
“Dia adalah... seorang teroris yang
pernah menyandera 17 WNI tahun 2003 di Lebanon. Sepertinya dia kenal Anda.”
“Teroris--- Teroris yang itu?”
“Iya. Dia yang menembak Anda.”
“Apa? Kok bisa seperti ini sih?”
“Tapi Anda tidak boleh bergerak dulu.
Karena Anda terluka dengan tembakan.”
“Iya sih. Saya
tak bisa bergerak apapun. Kalian boleh pergi.”
“Baik. Hormat,
Pak Letnan!”
Tentara itupun
pergi dari ruangan sementara Yanuar dan Raka melanjutkan keluar dari ruangan.
Dian pun
kembali berbaring di tempat tidur-nya dan sedikit menatap langit-langit rumah
sakit. Kini, pikirannya sedang kosong. Dian memikirkan lagi apa kesalahan yang
dibuat oleh Ayahnya 21 tahun yang lalu.
----------------------
-=1995=-
Saat Dian
kecelakaan motor dan sudah diobati oleh tentara, dia datang dengan terluka di
rumahnya. Ayah dan Ibunya melihat Dian diperban dan terkejut.
“Hei, Dian.
Kenapa kau datang terluka seperti ini? Kau jatuh dari motor?” tanya Ayahnya
yang melihat Dian banyak luka-luka.
“Hehe, iya
Ayah.”
“Harusnya
hati-hati. Kok kamu diplester? Kamu punya uang untuk ke dokter?” Ayahnya
bertanya lagi pada Dian karena melihat anaknya sudah diobati.
“Hmm, aku pake
uang tabungan untuk ke dokter. Jangan tanya lagi, Yah. Dian capek.” Dian
berbohong pada Ayahnya kalau sebenarnya dia ditolong tentara di jalan.
Dian langsung
masuk kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Dian sedang
menatap langit-langit rumahnya sambil berpikir.
“Kesalahan apa
yang aku perbuat selama ini pada Ayahku? Bahkan kata maaf saja susah banget
untuk keluar. Apa aku nanti saja ya minta maaf pada Ayah?” gumamnya berpikir.
Tiba-tiba,
Ayahnya masuk dalam kamar Dian, lalu Dian pura-pura tidur seolah-olah tak
merasa ada Ayahnya yang datang masuk.
“Nak Dian,
saatnya makan malam. Nak Dian?”
Ayahnya hanya
melihat Dian memejamkan matanya seolah-olah sedang tidur.
“Wah
sepertinya dia sedang tertidur. Nanti aku taruh makanannya dia di dalam
kamarnya. Siapa tahu jika dia akan bangun bentar, dia akan makan nanti.”
Ayahnya lalu
membawa baki makanan yang berisi makanan kesukaan Dian, Ayam Balado dan Sup
Sayur. Kemudian Ayahnya menaruhnya di meja belajar Dian. Saat tidak dilihat
oleh Ayahnya, Dian sedikit membuka matanya. Dan saat dilihat, Dian langsung
menutup matanya seolah-olah tidur nyenyak. Ayahnya tak tahu jika Dian pura-pura
tidur. Ayahnya hanya bisa senyum-senyum melihat anaknya yang sudah tidur
nyenyak, lalu keluar dari kamar Dian.
Dian langsung
membuka matanya dan bernafas lega karena tak ada yang mengganggunya. Perlahan,
Dian melihat makanan yang sudah tersaji di meja belajarnya. Lalu, Dian beranjak
dari tempat tidurnya dan langsung menghampiri makanan yang terletak di meja
belajarnya. Dian langsung memakan makanannya itu dengan lahap. Dian kelihatan
seperti orang miskin yang minta makan, terbukti cara makannya mirip seperti
orang miskin.
----------------
-=2016=-
Dian masih
memikirkan dari apa yang diperbuatnya 21 tahun yang lalu. Dian hanya bisa
senyum-senyum memikirkan tingkahnya saat makan di meja belajar.
Lalu, ada perawat
membawa makanan untuk Dian. Makanan itu berupa bubur, ayam, sup sayur, tempe
tahu, dan lauk pauk lainnya.
“Silakan
makan, Pak Letnan. Kuharap semoga Anda suka dengan makanannya.”
“Ahh, iya.
Makasih ya, suster.”
“Iya, Pak.”
Kemudian, Dian
memakan makanan yang dibawa oleh perawat itu. Dia memakannya sesendok dan
merasakan makanan itu mirip dengan masakan Ayahnya. Dan dengan makanan itu pula, dia rindu pada
Ayahnya. Bahkan sampai sekarang, dia masih belum bisa bertemu dengan Ayahnya.
Terakhir kali dia berkomunikasi dengan Ayahnya saat tahun 2014, waktu itu Dian
sangat sibuk dan anaknya sakit demam, dan Dian menyuruh Ayahnya untuk pergi ke
Jakarta untuk merawat anaknya. Dan di situ dia masih belum mengucapkan maaf
pada Ayahnya karena dia sangat sibuk melakukan tugas sebagai tentara.
Dia juga ingat
dengan istrinya yang ada di Indonesia. Namun pekerjaan tetaplah pekerjaan.
Sebagai Letnan Kolonel, misi di Suriah harus tetap diselesaikan. Karena itu
juga sebuah tugas Negara dan itu sangat penting bagi Dian.
BERSAMBUNG
CATATAN
TAMBAHAN :
- What do you want in here? : Kalian mau
apa di sini?
- I’m not understand what army’s say.
You guys, speak in English. : Aku tidak paham apa yang mereka bilang. Kalian
bicara sajalah pakai Bahasa Inggris.
- We’re here is want to liberate the
citizens of Indonesia, because you're hostage them. Where the hostage? : Kami
di sini ingin membebaskan warga Indonesia, karena kalian menyandera mereka.
Sandera-nya mana?
- Hey, you’re the sergeant? Why don’t
you say to your team about how you and your team is fool? : Hei, kamu Sersan
ya? Kenapa tak sadarin saja kalau tim kalian itu bodoh?
- Wait, you ridicule us? How you dare?!
Where the hostage? : Tunggu, kalian menghina kami? Berani sekali?! Sandera-nya
mana?
- Not the time to discuss our hostages,
do you want to get hurt with our gun? What is your name, Sergeant? : Bukan
saatnya untuk bicarakan sandera kami, kau mau terluka dengan senjata kami? Nama
kamu siapa, Sersan?
- You don’t need know in my name. You
look in my uniform. : Tak perlu tahu tentang namaku. Lihatlah di seragamku.
- Oow, you’re name is Dian Hermawan. It means,
you’re Sergeant Dian? : Oh, jadi namamku Dian Hermawan. Berarti, kau Sersan
Dian?
- Yes, you’re right. : Ya, benar.
- Why did you
sign on our territory? : Kenapa kalian masuk di wilayah kami?
- Because this
is mission. You don’t need to know. Because you fool. : Karena ini adalah misi.
Kau tak perlu tahu, sebab kau bodoh.
- What? What
do you say? : Apa? Kau bilang apa?
- No need to
repeat. We want to liberate the your hostage. : Tak perlu diulangi. Kami ingin
membebaskan sandera kalian.
- Before that...
: Sebelum itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar