REMEMBER DAD
Prolog
*
* *
Ketika kita mengingat yang namanya Ayah,
bagaimana kita harus menghargai jasa seorang Ayah? Dialah yang selalu mencari
nafkah, kerja capek-capek dan hal semacamnya.
Dian Hermawan, dia adalah seorang
tentara berpangkat letnan kolonel. Dia selalu membayangkan Ayahnya yang kini
berada di kampung, sudah renta bersama dengan Ibunya. Dian merasa sangat
bersalah karena dulunya dia adalah anak bandel dan tak pernah penurut pada
Ayahnya, padahal Ayahnya hanyalah seorang petani yang setiap hari memanen padi.
Sekarang Dian sudah menjadi seorang tentara yang mengabdi negara. Dian sudah menikah
dengan Farah Salsabila, seorang dokter di rumah sakit. Setelah kurang lebih 2
tahun mereka menikah, akhirnya Dian dikaruniai seorang anak laki-laki yang
sangat lucu. Dan untunglah sifat bandel Dian saat kecil tidak diturunkan oleh
anak laki-lakinya.
Dian selama ini harus mengabdi pada
Negara dengan menjalankan tugas-nya sebagai tentara. Namun dia tak punya waktu
untuk bertemu dengan Ayahnya bahkan saat merantau ke kota besar tak ada satupun
kata maaf terucap pada mulut Dian kepada Ayahnya. Dian yang sekarang ini
berumur 36 tahun harus bersikap dewasa dan tidak menjadi anak-anak. Lalu apakah
Dian bisa mengucapkan maaf pada Ayahnya? Dan bagaimana caranya supaya Dian bisa
pergi ke kampung tempatnya lahir untuk bisa bertemu dengan sang Ayah?
------------------
Remember Dad memiliki pesan moral karena
selain kita harus hargai jasa seorang Ibu, kita juga harus menghargai jasa
seorang Ayah. Karena Ayah-lah kita bisa makan 3 kali sehari, karena Ayah-lah
kita bisa sekolah, dan karena Ayah-lah kita bisa sukses seperti Dian yang telah
menjadi tentara. Berpangkat letnan lagi.
Namun Dian tak pernah menghargai jasa
Ayahnya yang capek-capek bertani di sawah. Dia harus menyesalinya ketika dia
sudah menjadi sukses. Dian merasa bersalah pada Ayahnya, dan saat istri Dian melahirkan,
Ayah Dian terharu karena dia memiliki seorang cucu dan Dian tak memiliki
kesempatan untuk minta maaf pada Ayahnya. Lalu apakah Dian bisa minta maaf pada
Ayahnya?
Bagian Satu
*
* *
Sebuah mobil yang sangat mewah datang
dari kejauhan dan terparkir di depan gerbang rumah yang sangat elit. Lalu, sang
pengemudi itu keluar dengan memakai baju tentara dan membuka pintu gerbang
lebar-lebar untuk memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Pengemudi itu kembali
masuk ke dalam mobil dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Dan pengemudi itu
pun keluar kembali dari mobil dan tiba-tiba dia kejatuhan papan nama baju
tentaranya dan segera mengambil papan nama itu dan terlihat nama dari sang
pengemudi itu. Dia bernama Dian Hermawan. Tentara yang sangat gagah dan
berwibawa.
Dia pun masuk dan menyapa istrinya yang
sedang menggendong anak keduanya.
“Oh, Mas? Udah pulang? Ini, ada makanan
buat Mas.”
“Iya, tapi sebelum itu...”
“Sebelum apa, Mas?”
“Kecup pipi Mas dong, biar Mas bisa
makan,” ujarnya dengan penuh perhatian.
“Ihh, Mas ini. Ya sudah aku kecup yah.”
Istrinya pun mengecup pipi Dian, namun
Dian malah berbalik muka sehingga bibir mereka saling menempel.
“Ah, Mas ini. Katanya di pipi, tapi kok
malahan di bibir sih? Ini gak adil.”
“Farah sayang, mau di pipi atau di bibir
asalkan Mas senang.”
“Tapi Mas tadinya mau di pipi. Kok Mas
langsung ke bibir sih?”
“Ihh, suka-suka Mas dong.”
“Ya sudah, cepat gih makan, habis itu
jemput si Sulung ke sekolah.”
“Iya, Farah.”
Dian masih saja menggoda istrinya, lalu
Dian pun pergi ke meja makan dan sudah tersaji Nasi Putih, Sop Sayur, Ayam
Balado, dan Mentimun sebagai lalapannya.
“Wah, makanan hari ini sangat enak.
Sudah kuduga istriku pintar masak rupanya.”
“Ah sudah deh. Makanlah. Saya juga
ikutan makan.”
“Iya, istriku yang cantik.”
Akhirnya, mereka pun duduk berdua makan.
Dian mengambil 2 sendok nasi putih, 2 sendok sop sayur, dan 3 ayam balado. Dian
pun makan dengan lahapnya. Namun, ada yang terlintas di pikirannya ketika melihat
makanan yang dia ambil. Sebuah ingatan yang tak bisa dihapus. Ingatan tentang
Ayahnya yang bekerja sebagai petani dan Ibunya yang bekerja sebagai ibu rumah
tangga.
-------------------------
-=1991=-
Kita ke tahun 1991 di mana Dian
Hermawan, bersekolah di sebuah desa di kota Bandung. Dia bersekolah di sekolah
dasar negeri di kota Bandung. Hari-harinya, dia selalu main ding dong setiap
pulang sekolah. Bahkan saat mau ujian pun, dia selalu mainkan ding dong tanpa
ada satupun buku pelajaran yang dia baca. Saat itu, Dian masih kelas 6 SD. Ayah
Dian bekerja sebagai petani yang hari-harinya selalu memanen padi dan biasa
juga selalu menjual beras dari hasil panen padinya. Dan Ayahnya juga selalu
membiayai Dian untuk membayar SPP sekolahnya. Bayangkan bagaimana Ayahnya
bekerja keras untuk Dian dan Ibunya.
Di pagi hari, Ayah Dian akan pergi ke
sawah lagi. Sementara Ibu Dian sedang memasak untuk suami tercinta. Dan Dian
sendiri sedang belajar untuk persiapan ujian, padahal sebenarnya Dian lagi gak mood untuk belajar. Setelah Ayah Dian
pergi, Ibu Dian pun selesai memasak. Tinggal memasukkan semua makanannya ke
dalam rantang. Ibu Dian melihat Dian sedang belajar, maka Ibunya pun menyuruh
Dian untuk pergi ke sawah untuk membawakan makanan untuk Ayahnya.
“Nak Dian, boleh minta tolong Ibu
sebentar?”
“Apa, Bu?” ucapnya tidak menatap Ibunya
melainkan menatap di buku.
“Makanan ini, kamu antarkan pada Ayah
ya, Nak.”
“Lho, bukannya Ibu sudah memberikan
makanan itu pada Ayah sebelum Ayah pergi? Ayah juga sudah terlanjur pergi lalu
Ibu lama sekali masaknya,” tiba-tiba Dian kesal dengan Ibunya.
“Nak, masakan itu tidak butuh waktu
cepat. Harus dalam waktu yang pas. Kenapa kamu harus marah gitu?”
“Kan Ayah tadi ada di rumah mau ke
sawah. Ibu kan bisa memberikan makanan itu cepat pada Ayah. Kenapa coba Dian
harus mengantarkan ini ke sawah?”
“Nak, jangan melawan seperti itu. Dia
Ayahmu, jangan bersikap seperti itu, apalagi terhadap Ibu.” Langsung saja,
Ibunya menasehati Dian.
“Kalau mau ngantar ini, harusnya Ibu
saja yang antar, jangan Dian. Ibu gak lihat Dian sedang belajar?”
“Tapi setidaknya kamu harus ngantar ini.
Ibu juga banyak kerjaan.”
“Arrghh, sudah, sudah, mana rantangnya,
biar Dian yang bawa,” ujar Dian yang masih terbawa emosi.
Maka dengan terpaksa, Dian pun pergi ke
sawah dekat rumahnya untuk membawakan Ayahnya makanan.
-------------------------
Sesampainya di sawah, Dian tak melihat
Ayahnya bertani di sawah. Dian merasa kesal karena waktunya telah terbuang.
“Aduh, mana nih Ayah? Padahal aku
disuruh bawain makanan, tapi menghilang.” gumamnya kesal.
Terpaksa, Dian pun pergi duduk ke gubuk
untuk menunggu Ayahnya. Lama nunggu, Dian pun membuka sedikit rantang makanan
yang dimasak oleh Ibunya. Kelihatannya Dian sedikit lapar, karena makanan yang
dimasak oleh Ibunya adalah sop sayur dan ayam balado, yang juga merupakan
makanan kesukaan Ayahnya. Akhirnya, Dian pun mengambil sedikit bagian dari
Ayahnya. Dia mengambil piring untuk menaruh nasi, sop sayur, dan ayam balado.
Dan dia pun makan dengan lahapnya.
Namun, rantang makanan yang seharusnya
untuk Ayahnya malah dihabiskan oleh Dian. Tepat saat Dian menghabiskan
makanannya, Ayahnya pun datang dari sawah ke gubuk untuk mengisi perutnya. Tapi
siapa sangka, rantang makanan ludes habis oleh Dian. Dian juga melihatnya shock
karena makanannya habis. Bukannya marah, Ayahnya hanya menghela nafas berat
melihat semua ini.
“Nak Dian. Kamu dari tadi ada di sini?
Makanan buat Ayah?”
“Ohh, maaf Yah. Sepertinya saya ‘kecelakaan’.”
“Kecelakaan apa maksudmu?”
“Makanan yang harusnya buat Ayah,
tiba-tiba makanannya masuk dalam mulutku dengan sendirinya.” Dengan berani,
Dian berbohong pada Ayahnya.
“Tapi, Ayah ‘kan lapar. Kenapa Dian
harus habisin semuanya?”
“Eey, Dian juga lapar kok Yah. Ibu yang
salah kenapa tidak disimpankan buat Dian. Jadi aku habisin makanan di rantang
ini,” ujarnya dengan sedikit lantang.
“Fiuhh, tak apa Dian. Kamu boleh
habiskan makanan itu, Ayah bisa beli sendiri makanan.” kata Ayah Dian dengan
sedikit ikhlas.
Tanpa merasa bersalah pun, Dian langsung
membawa rantang makanan kembali ke rumah. Sementara Ayahnya pergi beli sendiri
makanannya dengan hasil panennya yang pas-pasan.
Dian pun kembali ke rumah tanpa terjadi
apa-apa. Ibu Dian merasa sangat senang Dian bisa kembali ke rumah.
“Dian, kamu sudah pulang.”
“Iya, Bu.”
“Tapi, bagaimana dengan makanannya? Apa
Ayah memakannya?”
“Iya dong. Nih, rantangnya sudah habis.”
Dian menunjukkan rantangnya yang sudah sangat ringan.
“Bagus, Nak. Untung Ayahmu bisa beli
makan.”
Namun tiba-tiba, Ayah Dian pulang ke
rumah dengan membawa nasi bungkus.
“Lho, Ayah? Bukannya Ayah sudah makan?
Kok bawa nasi bungkus lagi ke rumah?” Ibu Dian bertanya pada Ayah Dian yang
melihat nasi bungkus sedang dipegang oleh Ayah Dian.
Ayah Dian maunya tidak ingin
mengatakannya, tapi karena dia tak boleh bohong, maka Ayah Dian pun berkata
jujur pada Ibu Dian.
“Sebenarnya, Bu. Rantang makanan yang
Dian bawa sudah habis.”
“Hah? Kok bisa sih, Yah?”
“Tak tahu. Dian mungkin memakannya
sampai habis.”
“Dian, kenapa kamu lakuin itu pada
Ayahmu? Bahkan Ayahmu beli nasi bungkus dengan hasil panen hari ini. Uang itu
harusya untuk makan malam sebentar.”
“Kenapa harus dipermasalahkan sih, Bu?
Yang penting ‘kan Ayah bisa makan dengan nasi bungkus itu. Sekali lagi Dian
kasih tahu, jangan ganggu Dian lagi. Dian muak pada Ayah dan Ibu. Dian gak bisa
belajar karena Ayah dan Ibu. Dan Ibu malah nasehatin Dian yang tidak-tidak.
Lebih baik, tak usah ganggu Dian lagi. Dian capek!” kesal Dian lalu masuk ke
dalam kamarnya.
Ayah dan Ibu Dian hanya bisa menghela
nafas berat melihat Dian bertingkah seperti itu.
-------------------------
-=2016=-
Kembali pada tahun 2016. Ketika Dian
mengingat masa lalunya itu, membuat terasa sakit ketika mengingat Ayahnya yang sekarang
ini sudah renta. Begitu pula dengan Ibunya.
“Mas? Mas kenapa? Kok melamun gitu?”
tanya istrinya yang melihat Dian melamun.
“Ahh, tidak ada kok. Ehmm, Farah.”
“Ya?”
“Kamu ada waktu gak untuk pergi jenguk
Ayah dan Ibuku ke Bandung?”
“Buat apa?”
“Yah, selama ini saya merasa bersalah
pada mereka. Aku ingin minta maaf padanya.”
“Hmm, mending lain kali saja kita
pikirkan. Karena kita juga punya waktu mepet. Kita sama-sama sibuk. Jadi, kalau
ada waktu, kita ke sana yah.”
“I--iya.”
Bahkan tanpa ditemani seorang istri pun,
Dian tetap ingin pergi ke Bandung untuk menemui Ayah dan Ibunya secara
langsung. Dia sangat merasa bersalah pada Ayahnya. Bahkan Ayahnya rela kerja
sampai malam demi Dian dan Dian tak pernah memikirkan itu. Jika Dian terus
memikirkannya, maka ada rasa bersalah di hati Dian. Akankah Dian bisa
cepat-cepat ke Bandung untuk menemui Ayahnya?
BERSAMBUNG
Episod 1 yang menarik :)
BalasHapusMakasih komennya, kak Pical ^^ Episode 2 sudah tayang di Blog. Silakan menuju ke TKP yah ^^
Hapus