BAGIAN SEPULUH
*
* *
-=2012=-
Dian Hermawan seperti biasa menunggu
calon istrinya, bisa disebut begitu, karena mereka akan menikah tahun ini. Farah
Salsabila datang dengan memakai jas dokternya, dan mereka saling tersenyum.
“Kamu sudah datang? Bagaimana kabarmu
sekarang?” Dian senang melihat Farah tersenyum lagi.
“Baik, dong. Kita jadi jarang bertemu
karena kamu selalu mendapat tugas militer,” kata Farah dengan wajah cemberut.
“Oh ya, sudah pesan makanan? Aku
pesankan.”
“Nanti saja, aku ingin bicara.”
Farah pun duduk berhadapan dengan Dian.
Mereka sedang serius ingin membicarakan sesuatu.
“Tadi ada acara penting, Dian?” Farah
bertanya dengan wajah serius.
“Iya, acara penyambutan karena aku sudah
menyelesaikan operasi militer. Dan aku mendapat pujian dari pak Jenderal,” ucap
Dian sambil senyum-senyum.
“Ooh, selamat kalau begitu. Dan juga...
kamu ingat tidak dengan janjimu tahun lalu?”
“Hah? Janji apaan?” Dian tidak mengerti
dengan pertanyaan Farah soal janjinya tahun lalu.
“Saat nanti kamu sudah menyelesaikan
operasi militermu yang penting itu, kamu akan segera menikahiku, kan? Kapan
kita akan menikah?”
“Hmm, kalau bisa seminggu lagi?”
“Kenapa memangnya?”
“Soalnya kamu harus urus ini, urus itu.
Beda kalau yang lainnya. Aku ini tentara. Banyak yang harus diurus ketika ingin
menjadi seorang istri tentara. Apa kamu mau gabung menjadi PERSIT?”
“Persit itu apaan? Bukannya persatuan
sepak bola?” tanya Farah yang tidak tahu apa itu persit.
“Bukan. Persatuan Istri Tentara. Kamu
harus gabung karena kamu nanti akan menjadi istriku. Calon suamimu ini adalah
seorang tentara.”
“Susahkah untuk mengurus ini-itu?” Farah
bingung dengan perkataan Dian.
“Tidak juga, selama aku ada di
sampingmu.” Dian pun mulai menggoda Farah.
“Ah, kau ini selalu saja menggodaku.”
“Kapan kita akan mengurus ini? Seminggu
lagi, ‘kan?”
“Terus pernikahan kita kapan?”
“Yah, seminggu lagi.”
“Berarti kita harus mengurusnya mulai hari
ini.”
“Kalau mau, kita selesaikan acara yang
penting.”
“Acara apaan?”
“Acara makan malam bersama. Itu yang
terakhir sebelum kita diikatkan oleh suatu pernikahan.”
“Makan malam di mana?”
“Di tempat yang selalu kita datangi. Di
dekat gedung pemerintahan. Ada restoran yang selalu aku kunjungi.”
“Ooh, yang di sana itu? Oke, kita kesana
nanti.”
“Baiklah. Eh, sungguh kamu tidak ingin
makan di sini? Aku akan pesankan untukmu.”
“Oh, iya. Pesankan aku sekarang.”
“Baik.” Dengan tergopoh-gopoh, Dian
langsung pergi ke meja kasir untuk memesankan makanan untuk Farah dan dirinya
juga.
--------------------------------
Mereka pun akhirnya makan malam bersama.
Dian dan Farah tidak memakai pakaian kerja mereka, namun mereka berpakaian ala
kadarnya. Dian langsung mempersilakan Farah untuk duduk dan mereka duduk
berhadapan.
“Farah, pasti kamu senang menikah dengan
seorang prajurit TNI?”
“Hmm, tentu aku senang.”
“Senang sih senang, tapi kamu harus ikut
gabung di PERSIT (Persatuan Istri Tentara). Susah tau untuk masuk di situ, kamu
tidak boleh merengek seperti cewek lain, kamu harus jadi ibu-ibu. Kamu harus
gabung bersama ibu-ibu. Sanggupkah kamu?” tanya Dian denga tegas.
“Aku tidak menyesal menikah denganmu.
Karena aku cinta padamu. Kita juga saling memahami, dan juga kita juga saling
bersama satu sama lain. Itu sebabnya aku ingin terus bersamamu, dengan menikah.”
“Baiklah. Tapi ada satu hal yang ingin
kukatakan padamu.”
“Apaan itu?”
“Kau harus janji. Jika suatu saat aku
akan ditugaskan dalam menjalankan misi, kau tidak boleh memarahiku jika aku
terluka. Atau bahkan mempertaruhkan nyawa.”
“Mempertaruhkan nyawa? Berarti itu
namanya mati dong?”
“Iya. Tapi ini adalah tugas. Kau harus
pegang janjiku. Jangan mengeluh jika aku pergi, setidaknya bergabunglah dengan
ibu-ibu Persit. Atau bersenang-senang sesuai kemauanmu, tapi jangan kelewatan
juga. Jangan berpikir aku adalah seorang pria biasa, aku adalah seorang
prajurit. Kau tidak boleh menganggapku pria main-main, aku adalah seorang pria
yang kuat dan gagah. Janji itu harus kau pegang jika aku sudah menjadi suamimu.
Oke?”
“Hmm, oke.”
“Nah, kalau begitu, kita harus memuji
satu sama lain sebelum nikah. Ini adalah sebuah tradisi untuk kita, supaya kita
saling menyukai. Gimana, setuju?”
“Iya, setuju. Mulai dari kamu deh, Dian.”
“Baiklah, saya mulai. ‘Kau adalah wanita
yang paling cantik, baik, dan juga pintar. Karena kau nanti akan menjadi
istriku, kau harus bersedia melayani apa yang aku mau.’ Oke?” ujar Dian dengan
penuh canda.
“Ahh, dasar. Kita saja masih belum
menikah, malah bicarakan itu. Oke, sekarang giliranku. ‘Kau adalah pria yang
paling gagah, kuat, berani, dan pintar juga. Kau mungkin akan tahan bukan jika
aku main dengan baik?’” Farah juga bercanda dengan Dian.
“Ahh, kau juga sama yah. Tunggulah
sebentar lagi. Dalam seminggu, kita sudah menjadi pasangan yang halal.”
“Oke. Pipimu tembem sekali, Dian.” Farah
memegang pipi Dian yang agak tembem.
“Kau juga, Farah. Tembem juga.” Dian pun
juga memegang pipi Farah.
Selama makan malam, yang dilakukan Farah
dan Dian hanyalah bercanda satu sama lain. Tidak disangka, Dian ternyata
orangnya suka bercanda. Selalu tersenyum di depan Farah, dan juga selalu
tersenyum di depan orang lain. Walaupun dia adalah prajurit, tapi Dian tetap
adalah seorang pria yang suka menyenangkan orang lain.
-----------------------
-=2016=-
Kini, tidak ada lagi senyum dan canda
dari Dian. Karena Dian gugur dalam tugas menjalankan operasi militer di dekat
kota Damaskus, Suriah. Di kamp militer Dian, suasana menjadi penuh haru, karena
semua orang yang ada di kamp mengetahui kalau Dian dan Sersan Irdan mati di
tengah-tengah operasi militernya.
Jam 1 siang, semua tentara yang
diikutkan dalam misi di Suriah sudah pulang ke Indonesia. Di bandara, semua
tentara di kamp Bataliyon berbaris untuk menghormati mereka yang sudah pulang,
termasuk pak Jenderal. Sersan Yanuar dan Sersan Raka juga menghormati pak
Jenderal. Lalu mereka melaporkan sesuatu.
“Hormat, pak Jenderal! Operasi militer
kali ini sudah berhasil. Namun jasad pak Letkol Dian dan pak Sersan Irdan...
kita masih belum menemukannya.”
Pak Jenderal hanya diam saja mendengar
laporan dari Sersan Yanuar.
----------------------
Orang tua Dian kini masih berada di
Bandung. Mereka sedang melakukan aktivitas yang sering mereka lakukan. Namun
tiba-tiba, mereka kedatangan para prajurit yang datang ke rumah orang tua Dian.
“Bu, kok ada prajurit yang datang ke
rumah kita? Apa mungkin tentang Dian?” heran Ayah Dian yang melihat para
prajurit turun dari mobil jeep.
“Iya, tuh, Pak. Kita hampiri saja
mereka.”
Ayah dan Ibu Dian langsung menghampiri
para prajurit itu, dan ternyata Sersan Herman datang untuk melaporkan sesuatu.
“Lho, Sersan Herman? Bukannya kau yang
selalu bersama Dian? Ada apa datang kemari di Bandung?”
“Ehh, saya datang ke Bandung, ada yang
saya umumkan. Sebelumnya, saya minta maaf, Pak. Jika saya mengumumkan ini.”
Sersan Herman nampak gelisah di hadapan Ayah dan Ibu Dian.
“Minta maaf kenapa sih? Apa Dian buat
masalah? Itu tak perlu dikhawatirkan. Bilang saja, ada apa?” Ayah Dian nampak
tidak tahu dengan keadaan anaknya sekarang ini.
“Hmm, Pak Letnan Kolonel... Dian
Hermawan. Dan juga... Sersan Irdan Yulinsyah. Telah gugur dalam tugasnya.”
“A--Apa? Sersan Herman ini bilang apa? Gugur?
Jadi maksudmu, Dian meninggal, bukan?”
“Saya--- sungguh minta maaf, Ayahnya
Dian. Mereka mati, karena tugas Negara. Jadi, harap dimaklumkan, Pak.”
Ayah dan Ibu Dian mulai berkaca-kaca
mendengarkan apa yang dibilang oleh Sersan Herman. Begitupun dengan Farah
Salsabila. Farah dengar dari mertuanya sendiri bahwa Dian sudah mati di sana.
Tentu saja Ayah dan Ibu Dian langsung berangkat ke Jakarta untuk menenangkan
Farah.
-----------------------------
Setelah mendengar kabar itu, Farah
menangis terus menerus karena kabar itu. Tidak mungkin Dian mati karena tugas
Negara. Farah masih saja menangis karena mendengar bahwa suaminya mati di
Suriah. Tidak mungkin.
Di rumah sakit, Farah berpapasan dengan
teman sesama Dokter-nya. Farah sedang minum jus bersama temannya.
“Oh ya, suamimu sudah pulang belum dari
Suriah? Setidaknya aku harus dapat oleh-oleh dari suamimu.” goda temannya yang
tidak mengerti akan keadaannya Farah saat ini.
“Oh? Belum. Dia belum pulang, dia masih
di sana. Kau jangan terus-terusan menggoda Dian. Karena dia sudah ada yang
punya.” Farah hanya menjawab sekadarnya saja sambil bercanda ria dengan
temannya.
“Tapi dia adalah tentara yang gagah,
setidaknya aku harus goda dia sedikit. Tak apa kan kalau aku dapat izin dari
seorang istri tentara?”
“Sudah ah, jangan. Jangan goda dia
terus, nanti aku marah lho.” Farah masih saja bercanda lalu kemudian menadahkan
dagunya di telapak tangannya dan wajahnya kemudian menyusut. Tiba-tiba suasana
menjadi hening.
“Kau kenapa, Farah?”
“Ti--tidak kok. Aku hanya kepikiran
sesuatu.”
“Kepikiran tentang apa?”
“Cuman... aku memikirkan bagaimana
susahnya menjadi anggota Persit. Aku mungkin harus beradaptasi dengan ibu-ibu.
Tapi, aku tidak boleh merengek sesuka hatiku karena itu namanya melanggar
aturan. Tapi aku harus merengek di depan Dian.” Farah kemudian mendesah ketawa
sambil berkaca-kaca.
“Apaan sih, kok kamu ketawa gitu?
Memangnya kamu gila, ya?”
“Yah... tadinya aku baik-baik saja. Tapi
saat aku memikirkannya... kurasa aku menjadi gila betulan.” desah Farah
kemudian sedikit mengeluarkan air matanya.
Melihat Farah yang tiba-tiba cemberut,
temannya pun langsung menghibur Farah.
“Kau mau dengar cerita lucuku?”
Farah hanya menggeleng, dengan air mata
yang mengalir di pipinya.
“Kalau kita minum jus lagi, mau?”
“Iya, saya mau.” Farah lalu menghapus
air matanya, dan mereka pun tertawa.
“Nih, jus-nya kamu habisin saja
semuanya,” kata temannya yang masih menghibur Farah dan mereka pun kembali
minum jus.
-----------------------
Di kamar Dian dan Farah, di mana kamar
itu mereka bergumul setiap malam jika Dian punya waktu, Farah duduk sendirian,
memandangi boneka tentara yang diberikan oleh Dian. Farah kemudian menatap
boneka itu sambil bergumam sendiri.
“Kenapa boneka itu tidak dipoles saja
ya? Supaya lebih menyerupai dirimu? Jika boneka itu adalah patung, aku bisa
memolesnya sendiri supaya aku bisa melihat dirimu.”
Lalu tiba-tiba, sesosok yang menyerupai
Dian datang dan menghibur Farah yang sedang sedih.
“Jika kamu dipoles maka kau akan cantik.”
Begitulah perkataan Dian saat muncul di hadapan Farah.
Farah langsung menghadapkan mukanya ke
depan pria yang selama ini dirindukannya.
“Aku merindukanmu, Dian.” Farah hanya
bicara sekadarnya saja.
“Aku juga, istriku.” Begitupun dengan “Dian”,
hanya sekadarnya saja.
“Kenapa kau tak datang? Bagaimana
janjimu padaku? Apa janjimu itu tidak ada apa-apanya bagimu?”
“Aku akan datang, kok. Tapi, aku harus melakukan
ini untuk Negara juga.”
“Tapi ini, kau
tidak datang. Kau tidak datang, harusnya kau bawa oleh-oleh.” Farah kemudian
mulai menundukkan kepalanya lalu menangis, dan sesosok Dian pun menghilang dan
hanya tinggal boneka tentara saja.
Farah menangis
dan terus menangis karena ini. Sementara boneka tentara yang ditaruh di
ranjang, hanya menampakkan wajah senyum dari boneka itu.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar