Minggu, 26 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 10




BAGIAN SEPULUH

* * *

-=2012=-

Dian Hermawan seperti biasa menunggu calon istrinya, bisa disebut begitu, karena mereka akan menikah tahun ini. Farah Salsabila datang dengan memakai jas dokternya, dan mereka saling tersenyum.

“Kamu sudah datang? Bagaimana kabarmu sekarang?” Dian senang melihat Farah tersenyum lagi.

“Baik, dong. Kita jadi jarang bertemu karena kamu selalu mendapat tugas militer,” kata Farah dengan wajah cemberut.

“Oh ya, sudah pesan makanan? Aku pesankan.”

“Nanti saja, aku ingin bicara.”

Farah pun duduk berhadapan dengan Dian. Mereka sedang serius ingin membicarakan sesuatu.

“Tadi ada acara penting, Dian?” Farah bertanya dengan wajah serius.


“Iya, acara penyambutan karena aku sudah menyelesaikan operasi militer. Dan aku mendapat pujian dari pak Jenderal,” ucap Dian sambil senyum-senyum.

“Ooh, selamat kalau begitu. Dan juga... kamu ingat tidak dengan janjimu tahun lalu?”

“Hah? Janji apaan?” Dian tidak mengerti dengan pertanyaan Farah soal janjinya tahun lalu.

“Saat nanti kamu sudah menyelesaikan operasi militermu yang penting itu, kamu akan segera menikahiku, kan? Kapan kita akan menikah?”


“Hmm, kalau bisa seminggu lagi?”

“Kenapa memangnya?”

“Soalnya kamu harus urus ini, urus itu. Beda kalau yang lainnya. Aku ini tentara. Banyak yang harus diurus ketika ingin menjadi seorang istri tentara. Apa kamu mau gabung menjadi PERSIT?”

“Persit itu apaan? Bukannya persatuan sepak bola?” tanya Farah yang tidak tahu apa itu persit.

“Bukan. Persatuan Istri Tentara. Kamu harus gabung karena kamu nanti akan menjadi istriku. Calon suamimu ini adalah seorang tentara.”

“Susahkah untuk mengurus ini-itu?” Farah bingung dengan perkataan Dian.

“Tidak juga, selama aku ada di sampingmu.” Dian pun mulai menggoda Farah.

“Ah, kau ini selalu saja menggodaku.”

“Kapan kita akan mengurus ini? Seminggu lagi, ‘kan?”

“Terus pernikahan kita kapan?”

“Yah, seminggu lagi.”

“Berarti kita harus mengurusnya mulai hari ini.”

“Kalau mau, kita selesaikan acara yang penting.”

“Acara apaan?”

“Acara makan malam bersama. Itu yang terakhir sebelum kita diikatkan oleh suatu pernikahan.”

“Makan malam di mana?”

“Di tempat yang selalu kita datangi. Di dekat gedung pemerintahan. Ada restoran yang selalu aku kunjungi.”

“Ooh, yang di sana itu? Oke, kita kesana nanti.”

“Baiklah. Eh, sungguh kamu tidak ingin makan di sini? Aku akan pesankan untukmu.”

“Oh, iya. Pesankan aku sekarang.”

“Baik.” Dengan tergopoh-gopoh, Dian langsung pergi ke meja kasir untuk memesankan makanan untuk Farah dan dirinya juga.

--------------------------------

Mereka pun akhirnya makan malam bersama. Dian dan Farah tidak memakai pakaian kerja mereka, namun mereka berpakaian ala kadarnya. Dian langsung mempersilakan Farah untuk duduk dan mereka duduk berhadapan.

“Farah, pasti kamu senang menikah dengan seorang prajurit TNI?”

“Hmm, tentu aku senang.”

“Senang sih senang, tapi kamu harus ikut gabung di PERSIT (Persatuan Istri Tentara). Susah tau untuk masuk di situ, kamu tidak boleh merengek seperti cewek lain, kamu harus jadi ibu-ibu. Kamu harus gabung bersama ibu-ibu. Sanggupkah kamu?” tanya Dian denga tegas.

“Aku tidak menyesal menikah denganmu. Karena aku cinta padamu. Kita juga saling memahami, dan juga kita juga saling bersama satu sama lain. Itu sebabnya aku ingin terus bersamamu, dengan menikah.”

“Baiklah. Tapi ada satu hal yang ingin kukatakan padamu.”

“Apaan itu?”

“Kau harus janji. Jika suatu saat aku akan ditugaskan dalam menjalankan misi, kau tidak boleh memarahiku jika aku terluka. Atau bahkan mempertaruhkan nyawa.”

“Mempertaruhkan nyawa? Berarti itu namanya mati dong?”

“Iya. Tapi ini adalah tugas. Kau harus pegang janjiku. Jangan mengeluh jika aku pergi, setidaknya bergabunglah dengan ibu-ibu Persit. Atau bersenang-senang sesuai kemauanmu, tapi jangan kelewatan juga. Jangan berpikir aku adalah seorang pria biasa, aku adalah seorang prajurit. Kau tidak boleh menganggapku pria main-main, aku adalah seorang pria yang kuat dan gagah. Janji itu harus kau pegang jika aku sudah menjadi suamimu. Oke?”

“Hmm, oke.”

“Nah, kalau begitu, kita harus memuji satu sama lain sebelum nikah. Ini adalah sebuah tradisi untuk kita, supaya kita saling menyukai. Gimana, setuju?”

“Iya, setuju. Mulai dari kamu deh, Dian.”

“Baiklah, saya mulai. ‘Kau adalah wanita yang paling cantik, baik, dan juga pintar. Karena kau nanti akan menjadi istriku, kau harus bersedia melayani apa yang aku mau.’ Oke?” ujar Dian dengan penuh canda.

“Ahh, dasar. Kita saja masih belum menikah, malah bicarakan itu. Oke, sekarang giliranku. ‘Kau adalah pria yang paling gagah, kuat, berani, dan pintar juga. Kau mungkin akan tahan bukan jika aku main dengan baik?’” Farah juga bercanda dengan Dian.

“Ahh, kau juga sama yah. Tunggulah sebentar lagi. Dalam seminggu, kita sudah menjadi pasangan yang halal.”

“Oke. Pipimu tembem sekali, Dian.” Farah memegang pipi Dian yang agak tembem.

“Kau juga, Farah. Tembem juga.” Dian pun juga memegang pipi Farah.

Selama makan malam, yang dilakukan Farah dan Dian hanyalah bercanda satu sama lain. Tidak disangka, Dian ternyata orangnya suka bercanda. Selalu tersenyum di depan Farah, dan juga selalu tersenyum di depan orang lain. Walaupun dia adalah prajurit, tapi Dian tetap adalah seorang pria yang suka menyenangkan orang lain.

-----------------------

-=2016=-

Kini, tidak ada lagi senyum dan canda dari Dian. Karena Dian gugur dalam tugas menjalankan operasi militer di dekat kota Damaskus, Suriah. Di kamp militer Dian, suasana menjadi penuh haru, karena semua orang yang ada di kamp mengetahui kalau Dian dan Sersan Irdan mati di tengah-tengah operasi militernya.

Jam 1 siang, semua tentara yang diikutkan dalam misi di Suriah sudah pulang ke Indonesia. Di bandara, semua tentara di kamp Bataliyon berbaris untuk menghormati mereka yang sudah pulang, termasuk pak Jenderal. Sersan Yanuar dan Sersan Raka juga menghormati pak Jenderal. Lalu mereka melaporkan sesuatu.

“Hormat, pak Jenderal! Operasi militer kali ini sudah berhasil. Namun jasad pak Letkol Dian dan pak Sersan Irdan... kita masih belum menemukannya.”

Pak Jenderal hanya diam saja mendengar laporan dari Sersan Yanuar.

----------------------

Orang tua Dian kini masih berada di Bandung. Mereka sedang melakukan aktivitas yang sering mereka lakukan. Namun tiba-tiba, mereka kedatangan para prajurit yang datang ke rumah orang tua Dian.

“Bu, kok ada prajurit yang datang ke rumah kita? Apa mungkin tentang Dian?” heran Ayah Dian yang melihat para prajurit turun dari mobil jeep.

“Iya, tuh, Pak. Kita hampiri saja mereka.”

Ayah dan Ibu Dian langsung menghampiri para prajurit itu, dan ternyata Sersan Herman datang untuk melaporkan sesuatu.

“Lho, Sersan Herman? Bukannya kau yang selalu bersama Dian? Ada apa datang kemari di Bandung?”

“Ehh, saya datang ke Bandung, ada yang saya umumkan. Sebelumnya, saya minta maaf, Pak. Jika saya mengumumkan ini.” Sersan Herman nampak gelisah di hadapan Ayah dan Ibu Dian.

“Minta maaf kenapa sih? Apa Dian buat masalah? Itu tak perlu dikhawatirkan. Bilang saja, ada apa?” Ayah Dian nampak tidak tahu dengan keadaan anaknya sekarang ini.

“Hmm, Pak Letnan Kolonel... Dian Hermawan. Dan juga... Sersan Irdan Yulinsyah. Telah gugur dalam tugasnya.”

“A--Apa? Sersan Herman ini bilang apa? Gugur? Jadi maksudmu, Dian meninggal, bukan?”

“Saya--- sungguh minta maaf, Ayahnya Dian. Mereka mati, karena tugas Negara. Jadi, harap dimaklumkan, Pak.”

Ayah dan Ibu Dian mulai berkaca-kaca mendengarkan apa yang dibilang oleh Sersan Herman. Begitupun dengan Farah Salsabila. Farah dengar dari mertuanya sendiri bahwa Dian sudah mati di sana. Tentu saja Ayah dan Ibu Dian langsung berangkat ke Jakarta untuk menenangkan Farah.

-----------------------------

Setelah mendengar kabar itu, Farah menangis terus menerus karena kabar itu. Tidak mungkin Dian mati karena tugas Negara. Farah masih saja menangis karena mendengar bahwa suaminya mati di Suriah. Tidak mungkin.

Di rumah sakit, Farah berpapasan dengan teman sesama Dokter-nya. Farah sedang minum jus bersama temannya.

“Oh ya, suamimu sudah pulang belum dari Suriah? Setidaknya aku harus dapat oleh-oleh dari suamimu.” goda temannya yang tidak mengerti akan keadaannya Farah saat ini.

“Oh? Belum. Dia belum pulang, dia masih di sana. Kau jangan terus-terusan menggoda Dian. Karena dia sudah ada yang punya.” Farah hanya menjawab sekadarnya saja sambil bercanda ria dengan temannya.

“Tapi dia adalah tentara yang gagah, setidaknya aku harus goda dia sedikit. Tak apa kan kalau aku dapat izin dari seorang istri tentara?”

“Sudah ah, jangan. Jangan goda dia terus, nanti aku marah lho.” Farah masih saja bercanda lalu kemudian menadahkan dagunya di telapak tangannya dan wajahnya kemudian menyusut. Tiba-tiba suasana menjadi hening.

“Kau kenapa, Farah?”

“Ti--tidak kok. Aku hanya kepikiran sesuatu.”

“Kepikiran tentang apa?”

“Cuman... aku memikirkan bagaimana susahnya menjadi anggota Persit. Aku mungkin harus beradaptasi dengan ibu-ibu. Tapi, aku tidak boleh merengek sesuka hatiku karena itu namanya melanggar aturan. Tapi aku harus merengek di depan Dian.” Farah kemudian mendesah ketawa sambil berkaca-kaca.

“Apaan sih, kok kamu ketawa gitu? Memangnya kamu gila, ya?”

“Yah... tadinya aku baik-baik saja. Tapi saat aku memikirkannya... kurasa aku menjadi gila betulan.” desah Farah kemudian sedikit mengeluarkan air matanya.

Melihat Farah yang tiba-tiba cemberut, temannya pun langsung menghibur Farah.

“Kau mau dengar cerita lucuku?”

Farah hanya menggeleng, dengan air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau kita minum jus lagi, mau?”

“Iya, saya mau.” Farah lalu menghapus air matanya, dan mereka pun tertawa.

“Nih, jus-nya kamu habisin saja semuanya,” kata temannya yang masih menghibur Farah dan mereka pun kembali minum jus.

-----------------------

Di kamar Dian dan Farah, di mana kamar itu mereka bergumul setiap malam jika Dian punya waktu, Farah duduk sendirian, memandangi boneka tentara yang diberikan oleh Dian. Farah kemudian menatap boneka itu sambil bergumam sendiri.

“Kenapa boneka itu tidak dipoles saja ya? Supaya lebih menyerupai dirimu? Jika boneka itu adalah patung, aku bisa memolesnya sendiri supaya aku bisa melihat dirimu.”

Lalu tiba-tiba, sesosok yang menyerupai Dian datang dan menghibur Farah yang sedang sedih.

“Jika kamu dipoles maka kau akan cantik.” Begitulah perkataan Dian saat muncul di hadapan Farah.

Farah langsung menghadapkan mukanya ke depan pria yang selama ini dirindukannya.

“Aku merindukanmu, Dian.” Farah hanya bicara sekadarnya saja.

“Aku juga, istriku.” Begitupun dengan “Dian”, hanya sekadarnya saja.

“Kenapa kau tak datang? Bagaimana janjimu padaku? Apa janjimu itu tidak ada apa-apanya bagimu?”

“Aku akan datang, kok. Tapi, aku harus melakukan ini untuk Negara juga.”

“Tapi ini, kau tidak datang. Kau tidak datang, harusnya kau bawa oleh-oleh.” Farah kemudian mulai menundukkan kepalanya lalu menangis, dan sesosok Dian pun menghilang dan hanya tinggal boneka tentara saja.

Farah menangis dan terus menangis karena ini. Sementara boneka tentara yang ditaruh di ranjang, hanya menampakkan wajah senyum dari boneka itu.

BERSAMBUNG









Tidak ada komentar:

Posting Komentar