BAGIAN ENAM
*
* *
-=2014=-
Orang tua Dian yang kini sudah renta itu
sedang berada di Bandung. Ayah Dian sedang bersih-bersih, dan Ibu Dian sedang
menjahit sesuatu. Mereka semua sudah memakai kacamata dan seperti orang tua
pada umumnya, mereka sudah tidak tegap lagi. Mereka sudah membungkuk.
“Bu, kapan kita akan jenguk Dian? Dan
bagaimana dengan anaknya? Apa anaknya baik-baik saja, Bu?” Ayah Dian bertanya
sambil sedikit membungkukkan badannya.
“Nanti saja ya, Pak. Dian dan istrinya
pasti baik-baik saja di rumah. Tak perlu dikhawatirkan, Pak,” ucap Ibu Dian
yang berbicara seperti nenek-nenek.
“Tapi kan, Bu? Nak Dian sekarang sudah
naik pangkat. Kita harus jenguk dia sekali-sekali.”
“Apa Dian akan menerima kita di
rumahnya?”
“Tentu saja, Bu.”
“Tapi... Ibu belum siap kesana. Nanti
kalau Dian tidak menerima kita...”
“Tak usah berpikir yang tidak-tidak, Bu.
Pasti Dian akan menerima kita, kok.”
Ayah dan Ibu Dian kembali melanjutkan
aktivitas masing-masing. Lalu telepon rumah tiba-tiba berbunyi. Ayah Dian
segera masuk dalam rumah untuk mengangkat telepon rumahnya.
“Halo, di sini keluarga Pak Hermawan.
Dengan siapa bicara?”
“Halo, Ayah? Ini Ayahkah?”
“Nak Dian? Ini Nak Dian ya?”
“Iya. Ayah, boleh pergi ke Jakarta?
Anakku kayaknya sakit demam, nih. Dan tak ada yang jagain. Dian sibuk, istriku
juga sibuk. Boleh Ayah jaga anakku? Anakku sedang sakit.”
“Oh, oh, boleh. Boleh sekali. Ayah dan
Ibu akan sanggup jaga anakmu. Tenang saja, Nak.”
“Makasih banyak, Ayah. Maaf sekali, Dian
sedang sibuk.”
“Iya, tak masalah, Nak. Besok Ayah dan
Ibu pergi ke Jakarta. Dian tenang saja di sana, yah.”
“Iya, Yah. Makasih.”
“Iya, sama-sama, Nak.”
Kemudian Ayah Dian menutup telepon
rumahnya, dan langsung menghampiri Ibu Dian yang sedang menjahit.
“Bu, besok kita pergi ke Jakarta.”
“Lho, mau bikin apa, Pak? Pergi ke
Jakarta?” tanya Ibu Dian heran.
“Anaknya Dian sakit. Jadi Dian menyuruh
kita untuk merawatnya.”
Ibu Dian masih belum memikirkan untuk
pergi, namun Ayah Dian membujuknya.
“Ayolah, Bu. Dia adalah cucu kita, dan
kita harus merawatnya. Dian dan istrinya sekarang sibuk dengan pekerjaan mereka
masing-masing,” bujuk Ayah Dian memohon.
“Hmm, boleh kalau begitu. Besok, Bapak
panggil sopir taksi. Kita akan ke sana besok.”
“Baik, Bu.”
Ayah Dian dan Ibu Dian kembali
melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
------------------------
Keesokan harinya, Ayah dan Ibu Dian
langsung membawa tas kopernya untuk bersiap pergi ke Jakarta, tepatnya akan
pergi ke rumah Dian.
“Pak, Ibu takut. Kalau misal Dian
mengusir kita, bagaimana?” Ibu Dian masih berpikiran negatif pada anaknya.
“Bu, jangan berpikiran negatif gitu pada
Dian. Malahan Dian yang minta tolong kita untuk jagain anaknya. Jangan berpikir
tentang kesalahan Dian yang lalu-lalu.” Ayah Dian berusaha untuk meyakinkan Ibu
Dian agar tidak berpikir negatif pada Dian.
“Huhh, Iya, Pak.” Ibu Dian menghela
nafas sambil masuk ke dalam mobil taksi bersama Ayah Dian.
Mereka pun pergi menuju Jakarta selama
menempuh perjalanan 2 jam.
Setelah dua jam itu, mereka langsung
diturunkan di sebuah rumah yang sangat elit. Rumah elit itu adalah rumah
anaknya, Dian Hermawan.
“Assalamualaikum, Nak Dian,” sahut Ayah
Dian memanggil anaknya dari luar gerbang rumah.
“Dian, apa Dian ada di dalam?” Ibunya
berseru juga dari luar gerbang rumah.
“Iya, Bu! Tunggu sebentar,” seru Dian
yang ada di dalam rumahnya.
Lalu, pintu rumah pun terbuka dan seorang
laki-laki berbaju tentara pun keluar dari dalam rumah dan langsung membantu
Ayah dan Ibunya untuk mengangkut tas kopernya.
“Ayah, Ibu, kapan berangkatnya?”
“Sejak tadi pagi, Nak. Wah, kayaknya
Dian harus kembali ke kantor lagi?” Ayahnya kagum melihat Dian yang sudah
memakai baju tentara.
“Iya, Yah. Maka dari itu, Ayah harus
jaga anakku. Istriku juga gak bisa jaga, karena sedang gawat di rumah sakit. Dan
Dian, juga gak bisa. Makanya Dian memaggil Ayah dan Ibu kemari.”
“Ooh, mana cucu saya? Ingin rasanya
kugendong setelah sekian lama,” sahut Ibunya yang tidak sabaran menggendong
anak Dian.
“Aduh, Ibu ini. Sabar yah, Bu. Ada di
tempat tidur khusus.” Dian langsung menghampiri anaknya yang sedang baring di
tempat tidur bayi, dan menggendongnya di pangkuan Dian.
“Wah, rasanya baru lahir anak ini, tapi
pipinya mirip bakpao,” puji Ayahnya yang melihat Dian menggendong anak bayinya.
“Aduh, Ayah ini bisa aja ngomongnya.”
Tanpa mengungkit masa lalu, hubungan
Dian dengan Ayahnya baik-baik saja tanpa ada permasalahan sekalipun.
------------------------
Dian sedang memakai sepatu tentaranya
dan juga topi tentaranya. Lalu, Dian pun langsung pergi dan berpamitan dengan
Ayahnya.
“Yah, Dian pergi dulu. Ada tugas di
markas yang belum Dian selesaikan.” Dian pun menyalami Ayahnya dan tiba-tiba
Ayahnya menahan Dian, karena ada sesuatu.
“Nak, kamu harus perbaiki topimu. Mana
ada seorang Letkol (Letnan Kolonel) topinya miring gini?” ujar Ayahnya sambil
memperbaiki topi tentara Dian yang sedikit miring.
“Lagian Ayah bangga bisa melihatmu
berpangkat 2 melati di bahu. Dan dikenal sebagai tentara yang kuat, gagah, dan
berani,” lanjut Ayahnya kembali.
“Iya, Yah. Dan juga...”
“Sudah, tak usah bicara lagi. Nanti Dian
terlambat lagi,” potong Ayahnya sambil mengingatkan Dian.
“Oh iya, yah. Baik, kalau begitu, Dian
pergi dulu.” Dian langsung berbalik pergi keluar dengan bunyi sepatu
tentara-nya yang sangat khas. Sementara Ayahnya, kembali mengurusi si dedek-nya
Dian yang sangat lucu.
Dian yang baru saja masuk dalam mobilnya,
frustasi sendiri karena dia tidak bisa mengucapkan kata maaf pada Ayahnya.
“Aduh, Dian. Kenapa aku tidak bisa
mengucapkan maaf pada Ayah sih? Kenapa, kenapa?” Dian memukul-mukul kepalanya
sendiri sambil frustasi karena perbuatannya tadi.
Di tahun 2014, Dian memang ingin minta
maaf pada Ayahnya, namun Ayahnya memotong pembicaraannya dan Dian juga memang
di situasi waktu terlambat. Namun sampai sekarang, Dian masih belum minta maaf
pada Ayahnya tentang kesalahannya yang sudah lama sekali dia perbuat.
--------------------------------
-=2016=-
Kini, orang tua Dian masih berada di
Bandung. Dan seperti biasa pula, orang tua Dian melakukan aktivitas mereka
seperti biasa.
Dian masih berada di Negara Suriah dengan
penuh luka-luka di badannya karena luka tembakan yang tadi di bandara Suriah.
Namun begitu, Dian tetap menjalankan aktivitasnya meskipun ada luka di
badannya.
Dian kembali ke kamp untuk memeriksa
sesuatu. Dian sedang membuka map warna coklat yang berisi tentang aktivitas
yang akan Dian lakukan selama berada di Negara Suriah. Salah satu dari apa yang
Dian dan para tentara lain lakukan adalah mencari titik masalah kenapa Negara
Suriah tidak ingin berdamai. Mereka bisa saja mengorbankan nyawa untuk itu.
Dian hanya bisa mengangguk-ngangguk
paham melihat map itu. Sesi penyelamatan ini sungguh membuat Dian dan para
tentara lainnya menguras habis tenaga hanya karena ingin melakukan perdamaian
di Suriah.
Lalu, ada tentara bernama Irdan melapor
pada Letkol Dian tentang sesuatu.
“Hormat, Pak Letnan! Ada sesuatu yang
harus saya kasih tahu pada Pak Letnan.”
“Iya, apaan itu?”
“Telah terjadi peristiwa runtuhnya crane proyek pembangunan gedung di pusat
kota Damaskus, Suriah. Dan crane ini
sangatlah besar sehingga banyak korban hilang. Dan para relawan dari sana ingin
kita membantu sebagai tim penyelamatan.”
“Jadi, kita disuruh untuk membentuk tim
penyelamatan untuk menyelamatkan para korban crane jatuh?”
“Iya, Pak! Kami membutuhkan sekitar 30
tentara, termasuk Anda juga, Pak Letnan.”
Dian hanya bisa diam mendengar jawaban
dari Irdan.
“Pak? Pak Letnan?” Irdan segera
menyadarkan Dian yang melamun.
“Oh, baiklah. Cepat panggil 29 tentara
itu dan bawa mereka ke kamp. Aku ingin membentuk 2 tim penyelamatan. Segera!!”
“Siap, laksanakan! Hormat!” Lalu, Irdan
pun pergi setelah melapor kepada Pak Letkol.
Peristiwa bisa saja terjadi setiap saat. Runtuhnya
crane di kota Damaskus, Suriah,
membuat Dian dan para tentara lainnya bersemangat ingin membentuk tim
penyelamatan dan berupaya menyelamatkan para warga yang menjadi korban
runtuhnya crane.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar