Rabu, 15 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 6





BAGIAN ENAM

* * *

-=2014=-

Orang tua Dian yang kini sudah renta itu sedang berada di Bandung. Ayah Dian sedang bersih-bersih, dan Ibu Dian sedang menjahit sesuatu. Mereka semua sudah memakai kacamata dan seperti orang tua pada umumnya, mereka sudah tidak tegap lagi. Mereka sudah membungkuk.

“Bu, kapan kita akan jenguk Dian? Dan bagaimana dengan anaknya? Apa anaknya baik-baik saja, Bu?” Ayah Dian bertanya sambil sedikit membungkukkan badannya.

“Nanti saja ya, Pak. Dian dan istrinya pasti baik-baik saja di rumah. Tak perlu dikhawatirkan, Pak,” ucap Ibu Dian yang berbicara seperti nenek-nenek.

“Tapi kan, Bu? Nak Dian sekarang sudah naik pangkat. Kita harus jenguk dia sekali-sekali.”

“Apa Dian akan menerima kita di rumahnya?”

“Tentu saja, Bu.”

“Tapi... Ibu belum siap kesana. Nanti kalau Dian tidak menerima kita...”

“Tak usah berpikir yang tidak-tidak, Bu. Pasti Dian akan menerima kita, kok.”

Ayah dan Ibu Dian kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Lalu telepon rumah tiba-tiba berbunyi. Ayah Dian segera masuk dalam rumah untuk mengangkat telepon rumahnya.

“Halo, di sini keluarga Pak Hermawan. Dengan siapa bicara?”

“Halo, Ayah? Ini Ayahkah?”

“Nak Dian? Ini Nak Dian ya?”

“Iya. Ayah, boleh pergi ke Jakarta? Anakku kayaknya sakit demam, nih. Dan tak ada yang jagain. Dian sibuk, istriku juga sibuk. Boleh Ayah jaga anakku? Anakku sedang sakit.”

“Oh, oh, boleh. Boleh sekali. Ayah dan Ibu akan sanggup jaga anakmu. Tenang saja, Nak.”

“Makasih banyak, Ayah. Maaf sekali, Dian sedang sibuk.”

“Iya, tak masalah, Nak. Besok Ayah dan Ibu pergi ke Jakarta. Dian tenang saja di sana, yah.”

“Iya, Yah. Makasih.”

“Iya, sama-sama, Nak.”

Kemudian Ayah Dian menutup telepon rumahnya, dan langsung menghampiri Ibu Dian yang sedang menjahit.

“Bu, besok kita pergi ke Jakarta.”

“Lho, mau bikin apa, Pak? Pergi ke Jakarta?” tanya Ibu Dian heran.

“Anaknya Dian sakit. Jadi Dian menyuruh kita untuk merawatnya.”

Ibu Dian masih belum memikirkan untuk pergi, namun Ayah Dian membujuknya.

“Ayolah, Bu. Dia adalah cucu kita, dan kita harus merawatnya. Dian dan istrinya sekarang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing,” bujuk Ayah Dian memohon.

“Hmm, boleh kalau begitu. Besok, Bapak panggil sopir taksi. Kita akan ke sana besok.”

“Baik, Bu.”

Ayah Dian dan Ibu Dian kembali melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.

------------------------

Keesokan harinya, Ayah dan Ibu Dian langsung membawa tas kopernya untuk bersiap pergi ke Jakarta, tepatnya akan pergi ke rumah Dian.

“Pak, Ibu takut. Kalau misal Dian mengusir kita, bagaimana?” Ibu Dian masih berpikiran negatif pada anaknya.

“Bu, jangan berpikiran negatif gitu pada Dian. Malahan Dian yang minta tolong kita untuk jagain anaknya. Jangan berpikir tentang kesalahan Dian yang lalu-lalu.” Ayah Dian berusaha untuk meyakinkan Ibu Dian agar tidak berpikir negatif pada Dian.

“Huhh, Iya, Pak.” Ibu Dian menghela nafas sambil masuk ke dalam mobil taksi bersama Ayah Dian.

Mereka pun pergi menuju Jakarta selama menempuh perjalanan 2 jam.

Setelah dua jam itu, mereka langsung diturunkan di sebuah rumah yang sangat elit. Rumah elit itu adalah rumah anaknya, Dian Hermawan.

“Assalamualaikum, Nak Dian,” sahut Ayah Dian memanggil anaknya dari luar gerbang rumah.

“Dian, apa Dian ada di dalam?” Ibunya berseru juga dari luar gerbang rumah.

“Iya, Bu! Tunggu sebentar,” seru Dian yang ada di dalam rumahnya.

Lalu, pintu rumah pun terbuka dan seorang laki-laki berbaju tentara pun keluar dari dalam rumah dan langsung membantu Ayah dan Ibunya untuk mengangkut tas kopernya.

“Ayah, Ibu, kapan berangkatnya?”

“Sejak tadi pagi, Nak. Wah, kayaknya Dian harus kembali ke kantor lagi?” Ayahnya kagum melihat Dian yang sudah memakai baju tentara.

“Iya, Yah. Maka dari itu, Ayah harus jaga anakku. Istriku juga gak bisa jaga, karena sedang gawat di rumah sakit. Dan Dian, juga gak bisa. Makanya Dian memaggil Ayah dan Ibu kemari.”

“Ooh, mana cucu saya? Ingin rasanya kugendong setelah sekian lama,” sahut Ibunya yang tidak sabaran menggendong anak Dian.

“Aduh, Ibu ini. Sabar yah, Bu. Ada di tempat tidur khusus.” Dian langsung menghampiri anaknya yang sedang baring di tempat tidur bayi, dan menggendongnya di pangkuan Dian.

“Wah, rasanya baru lahir anak ini, tapi pipinya mirip bakpao,” puji Ayahnya yang melihat Dian menggendong anak bayinya.

“Aduh, Ayah ini bisa aja ngomongnya.”

Tanpa mengungkit masa lalu, hubungan Dian dengan Ayahnya baik-baik saja tanpa ada permasalahan sekalipun.

------------------------

Dian sedang memakai sepatu tentaranya dan juga topi tentaranya. Lalu, Dian pun langsung pergi dan berpamitan dengan Ayahnya.

“Yah, Dian pergi dulu. Ada tugas di markas yang belum Dian selesaikan.” Dian pun menyalami Ayahnya dan tiba-tiba Ayahnya menahan Dian, karena ada sesuatu.

“Nak, kamu harus perbaiki topimu. Mana ada seorang Letkol (Letnan Kolonel) topinya miring gini?” ujar Ayahnya sambil memperbaiki topi tentara Dian yang sedikit miring.

“Lagian Ayah bangga bisa melihatmu berpangkat 2 melati di bahu. Dan dikenal sebagai tentara yang kuat, gagah, dan berani,” lanjut Ayahnya kembali.

“Iya, Yah. Dan juga...”

“Sudah, tak usah bicara lagi. Nanti Dian terlambat lagi,” potong Ayahnya sambil mengingatkan Dian.

“Oh iya, yah. Baik, kalau begitu, Dian pergi dulu.” Dian langsung berbalik pergi keluar dengan bunyi sepatu tentara-nya yang sangat khas. Sementara Ayahnya, kembali mengurusi si dedek-nya Dian yang sangat lucu.

Dian yang baru saja masuk dalam mobilnya, frustasi sendiri karena dia tidak bisa mengucapkan kata maaf pada Ayahnya.

“Aduh, Dian. Kenapa aku tidak bisa mengucapkan maaf pada Ayah sih? Kenapa, kenapa?” Dian memukul-mukul kepalanya sendiri sambil frustasi karena perbuatannya tadi.

Di tahun 2014, Dian memang ingin minta maaf pada Ayahnya, namun Ayahnya memotong pembicaraannya dan Dian juga memang di situasi waktu terlambat. Namun sampai sekarang, Dian masih belum minta maaf pada Ayahnya tentang kesalahannya yang sudah lama sekali dia perbuat.

--------------------------------

-=2016=-

Kini, orang tua Dian masih berada di Bandung. Dan seperti biasa pula, orang tua Dian melakukan aktivitas mereka seperti biasa.

Dian masih berada di Negara Suriah dengan penuh luka-luka di badannya karena luka tembakan yang tadi di bandara Suriah. Namun begitu, Dian tetap menjalankan aktivitasnya meskipun ada luka di badannya.

Dian kembali ke kamp untuk memeriksa sesuatu. Dian sedang membuka map warna coklat yang berisi tentang aktivitas yang akan Dian lakukan selama berada di Negara Suriah. Salah satu dari apa yang Dian dan para tentara lain lakukan adalah mencari titik masalah kenapa Negara Suriah tidak ingin berdamai. Mereka bisa saja mengorbankan nyawa untuk itu.

Dian hanya bisa mengangguk-ngangguk paham melihat map itu. Sesi penyelamatan ini sungguh membuat Dian dan para tentara lainnya menguras habis tenaga hanya karena ingin melakukan perdamaian di Suriah.

Lalu, ada tentara bernama Irdan melapor pada Letkol Dian tentang sesuatu.

“Hormat, Pak Letnan! Ada sesuatu yang harus saya kasih tahu pada Pak Letnan.”

“Iya, apaan itu?”

“Telah terjadi peristiwa runtuhnya crane proyek pembangunan gedung di pusat kota Damaskus, Suriah. Dan crane ini sangatlah besar sehingga banyak korban hilang. Dan para relawan dari sana ingin kita membantu sebagai tim penyelamatan.”

“Jadi, kita disuruh untuk membentuk tim penyelamatan untuk menyelamatkan para korban crane jatuh?”

“Iya, Pak! Kami membutuhkan sekitar 30 tentara, termasuk Anda juga, Pak Letnan.”

Dian hanya bisa diam mendengar jawaban dari Irdan.

“Pak? Pak Letnan?” Irdan segera menyadarkan Dian yang melamun.

“Oh, baiklah. Cepat panggil 29 tentara itu dan bawa mereka ke kamp. Aku ingin membentuk 2 tim penyelamatan. Segera!!”

“Siap, laksanakan! Hormat!” Lalu, Irdan pun pergi setelah melapor kepada Pak Letkol.

Peristiwa bisa saja terjadi setiap saat. Runtuhnya crane di kota Damaskus, Suriah, membuat Dian dan para tentara lainnya bersemangat ingin membentuk tim penyelamatan dan berupaya menyelamatkan para warga yang menjadi korban runtuhnya crane.

BERSAMBUNG



Tidak ada komentar:

Posting Komentar