Minggu, 07 Mei 2017

[Cermin] Nak, Jangan Main Air


*cerita mini ini juga diikutkan dalam event Jawara ETK 01 Tema Air (PJ dari Tim Kreatif Jawara)

Air yang mengalir di prosotan tempat wisata air membuat anakku yang laki-laki sangat bersemangat dan menarik-narik tanganku untuk pergi mandi di kolam yang penuh orang tersebut.

“Ayah, ayo kesana. Pengen main air.”

Sebagai seorang Ayah, tentu aku harus menuruti apa kata anakku. Tapi aku juga harus berhati-hati. Pernah suatu hari anakku kena pilek karena asyik-asyiknya main air, dan aku menasehatinya, “Nak, jangan main air. Nanti sakit.” Tapi karena ini musimnya liburan, tentu anakku tidak boleh murung karena Ayahnya melarang main air.

Aku menemani anakku yang usia 5 tahun itu bermain air. Di kolam, hanya ada aku dan anakku. Sementara istriku tidak main air karena harus menjaga jabang bayiku di dalam rahimnya.

30 menit anakku main air dan aku ingin segera beranjak dari kolam. Aku menyuruh anakku berhenti bermain air.

“Nak, ayo makan. Sudah cukup main airnya.” Tapi anakku tidak menghiraukannya dan tetap bermain.

“Dennis. Sudahlah, Nak. Jangan main air.”

Tapi anakku tetap saja tidak peduli apa kata Ayahnya. Dan dengan terpaksa, aku menggendongnya keluar dari kolam dan duduk di pinggir. Anakku sampai menangis-nangis ingin kembali ke kolam itu, tapi aku tetap melakukannya dengan terpaksa.

“Ayah! Ayah, mau main lagi. Tidak mau digendong dengan Ayah!” itulah seruannya yang kudengar.

Aku menyuruhnya berhenti menangis. “Dennis! Dennis! Dengarkan Ayah! Sudah, jangan menangis. Dengarkan Ayah!”

Walau dia masih menangis, aku menasihatinya sambil terus menenangkannya. “Nak! Sudah berapa kali Ayah bilang jangan main air. Nanti Dennis sakit.”

“Kenapa Ayah melarang Dennis main air?” tanya anakku meraung.

“Itu karena air sumber kehidupan. Kalau Dennis main air terus, nanti air akan hilang dan tidak bisa kita pakai. Mau Dennis tidak minum, tidak mandi?”

“Tidak mau, Yah.”

“Nah, maka dari itu, Dennis jangan main air ya. Kalau Dennis tidak main air, Ayah akan bangga padamu, Nak.”

Aku mencium anakku yang sudah kembali ceria, dan akan mendengarkan nasihat Ayahnya.

* * *



Rabu, 15 Februari 2017

[Cerpen] Travel Writer


***

Diana sedang menunggu bis terakhir jam 5 sore. Pada saat itu, sedang hujan deras. Diana harus menunggu sampai bis datang. Biasanya ia menunggu 10 menit saja, namun ia harus bersabar karena sudah 20-30 menit lebih bis tidak datang-datang juga. Lalu, tiba-tiba ada seorang pria tinggi dan ganteng berada di samping Diana yang sedang menunggu sesuatu. Pria itu memakai tas punggung bermerek “Jansport” warna abu-abu. Diana seakan terpana melihat pria itu. Wajahnya segar dipandang, rahangnya juga terbentuk bagus, dan badan agak sedikit kekar. Diana seakan mendapat lampu hijau buat memandanginya terus.

Setelah lama Diana memandanginya, tiba-tiba si pria itu memanggil taksi yang sedang lewat di saat hujan. Pria itu masuk dan tanpa sadar bahwa sebuah buku tercecer di bawah. Diana pun langsung memungut buku berwarna putih tersebut dan membukanya. Buku yang berukuran A5 tersebut rupanya adalah buku non-fiksi tentang travel. Diana semakin penasaran dengan buku tersebut dan membacanya terus.

***


Diana melanjutkan baca bukunya di dalam bis. Karena tak berapa lama bis terakhir pun datang, dan Diana pun langsung masuk dalam bis dan duduk di belakang. Penulis buku travel tersebut ternyata bernama Rian Wirajaya. Ia berumur 34 tahun dan memiliki seorang istri berumur 32 tahun. Ia menulis buku jalan-jalan tentang indahnya kota hujan di Bogor. Ia lebih suka bila hujan datang. Karena hujan bisa mendatangkan cinta. Rian menulis buku itu untuk istrinya, karena saat pacaran dulu ia bertemu pertama kali dengan istrinya saat hujan tiba. Maka dari itu ia mendefinisikan demikian. Selain itu, hujan lebih enak dipandang bila senja sudah tiba. Maka saat itulah ia membuat harapan, semoga segalanya bisa lebih baik. Hujan di Kota Bogor memang mengasyikkan, karena ia baru pertama kali melihat hujan yang enak dipandang di sana. Tak seperti di tempat-tempat yang lain, di Bogor lebih mengasyikkan. Ia menulis buku itu dengan sangat detail.

Diana tersenyum sendiri membaca buku itu. Ia menjadi tahu dengan tulisan Rian ini. Ia lebih suka dengan kata mutiara yang Rian buat dalam buku itu.

“Hujan adalah bintang, maka kau bisa menikmatinya. Senja adalah bulan, maka kau bisa menikmatinya. Hujan yang turun pada saat senja, kau bisa membuat harapanmu.”

Diana sejenak memandangi hujan di luar jendela. Ya, ini sudah senja, ditambah lagi turunnya hujan deras. Diana berharap bisa menemukan Rian, yang buku karyanya tercecer dan dipegang oleh Diana. Ia berpikir pasti Rian sedang mencari buku itu, padahal buku itu sangat special. Ada tulisan lambang cinta dan tanggal pernikahan Rian dan istrinya. Plus tanda tangan Rian dan istrinya. Itu adalah buku yang special buat Rian, dan Diana harus mengembalikan buku itu padanya.

***

Butuh waktu 50 menit untuk bisa sampai di halte tujuan Diana. Dan akhirnya bus itu sampai pada halte tujuannya. Pada jam 6 sore, Diana memakai payungnya sambil berjalan di trotoar kota.

Saat berjalan, Diana menemukan Rian sedang duduk di sebuah cafe depan jalan utama kota Jakarta Selatan. Diana tersenyum melihatnya dan langsung masuk dalam cafe tersebut. Rupanya Rian masih belum menyadarinya bahwa bukunya tercecer saat ingin menaiki taksi. Dan saat itupun, Diana langsung duduk di hadapan Rian dan tersenyum. Rian heran dengan kehadiran seorang wanita secara mendadak. Apalagi ia terlanjur menikmati suasana cafe yang hening.

“Eh, Anda siapa, ya? Mengapa duduk di meja saya?” tanya Rian dengan sopan.

“Sebelumnya minta maaf karena duduk di hadapan Anda. Ada yang mau  saya katakan pada Anda. Penting soalnya.”

Mendengar perkataan Diana, membuat Rian seolah penasaran tentang apa yang akan dikatakan Diana. “Apa-- apa yang mau Anda katakan pada saya?”

“Ini...,” sambil memberikan buku warna putih pada Rian. “Buku Anda, ‘kan?”

Rian mendadak terbelalak melihat buku itu, dan baru menyadari bahwa bukunya hilang.

“Oh? Kenapa buku saya ada pada Anda?”

“Begini, Pak. Saat Anda mau menaiki taksi, tak sengaja buku Anda jatuh. Saya mengambilnya dan saya langsung jatuh hati dengan buku Anda.”

Rian tersenyum kecil mendengar pujian Diana.

“Anda... Travel Writer, ‘kan?” lanjut Diana.

“Iya. Dan buku itu adalah buku kedua saya. Judulnya ‘Beautiful Rain in Bogor’.”

“Apa ada alasan tertentu Anda memilih kota Bogor sebagai bagian dari tulisan Anda?”

“Ada, karena saya bertemu dengan istri saya di Bogor, dan istri saya asalnya dari Bogor. Anak saya juga lahir di Bogor. Semua hal-hal penting terjadi di Bogor.”

“Sepertinya Anda beruntung yah. Karena kata mutiara yang Anda tulis sepertinya menjadi kenyataan.”

“Maksudnya, mbak?” Rian bingung dengan yang Diana katakan.

“Maksud saya, harapan Anda terkabul, karena Anda telah membuat saya terinspirasi. Dan Anda bilang Hujan di Langit Senja bisa mengabulkan harapan.”

“Iya. Saya mendefinisikan Hujan seperti bintang, dan Senja seperti bulan. Saya hanya berharap bila aku bisa traveling lagi.”

Diana tersenyum, Rian pun juga tersenyum. “Terima kasih karena sudah menemukan buku saya, dan bisa membuat mbak terinspirasi. Dan juga, buku yang mbak temukan, sebaiknya ambil saja. Itu akan lebih baik.”

Diana senang dan mengambil buku itu kembali. “Terima kasih juga, Mas Rian. Gara-gara Mas Rian, saya pengen menjadi Travel Writer. Saya berharap, saya bisa menjadi Travel Writer macam Mas Rian. Bisa menginspirasi banyak orang.”

Mendengar ucapan Diana, Rian langsung tersenyum bahagia di hadapan Diana. Dan Diana pun juga demikian. Sepertinya di senja hari, terlebih di saat hujan, Diana begitu bahagia bisa bertemu dengan orang yang menginspirasi. Begitu pula Rian, ia berhasil membuat orang terinspirasi dengan buku travelnya. Begitulah kelebihan menjadi Travel Writer, bisa bikin banyak orang terinspirasi dari hasil jalan-jalannya.

***

Segera di bulan April, akan ada cerita baru yang akan dirilis di MiniNoveling. So stay tune in my blog ^^

:D <3