BAGIAN SEMBILAN
*
* *
-=2011=-
6 tahun Dian dan Farah berpacaran. Dan 6
tahun pula mereka sudah menciptakan ciuman pertama mereka. 6 tahun pula mereka
sudah bersama dan menciptakan benih-benih cinta pada mereka. Dan 6 tahun pula
mereka sering lengket di depan umum.
Di kafe, Dian dengan memakai seragam
tentara menunggu pacarnya yang cantik, Farah yang sedang bertugas di rumah
sakit. Akhirnya, Farah dengan memakai jas dokter langsung datang ke kafe dan
menghampiri Dian yang sedang duduk di kafe.
“Halo, sayang. Kamu sudah lama
menunggu?” Farah langsung memeluk Dian yang juga berdiri memeluk Farah.
“Iya, lama banget menunggu. Mari duduk.”
Dian pun mempersilakan Farah duduk dan
mereka pun berhadapan dan langsung mengobrol.
“Oh ya, kan kita sudah lama banget kan
kita pacaran. Jadi, kamu bisa langsung menikah denganmu dong.” Farah menggoda
Dian dan membicarakan tentang pernikahan.
“Kau ini bicara apa? Kenapa tiba-tiba
membicarakan tentang pernikahan?” Dian heran dengan perkataan Farah tentang
pernikahan.
“Yah, gak juga. Aku hanya ingin mengklarifikasi
doang kok. Gak langsung juga.”
“Tapi begini saja, usulan saya. Kan aku
ada operasi militer yang sangat penting tahun depan. Jadi saat aku sudah
menyelesaikan operasi militer sebagai seorang Mayor, kita nikah saja. Oke?”
usul Dian dengan penuh mempesona di wajahnya.
“Isshh, tugas aja kamu urusin. Kamu
tidak mengurusin aku.”
“Tenang dong, sayang. Kan aku juga
mengurusin kamu, tapi karirku yang lebih penting. Kamu juga harus mengurusin
karirmu juga. Karirmu, karirku, dan karir kita.”
“Iya, iya. Aku paham, kok. Aku akan
tetap menunggu sampai kamu sudah menyelesaikan tugasmu. Tenang saja.”
“Aku suka karena kamu telah
memahaminya.”
“Memahami apa?”
“Kamu bilang kamu suka padaku karena
fisikku, bukan? Sekarang kamu masih ingat dengan ciuman itu? Ciuman pertama
kita.”
“Hmm, iya. Aku ingat.”
“Kamu mungkin ingin merasakannya lagi,
kan?”
“Yah, mau sih. Tapi jangan sekarang.”
“Di mana kalau begitu?”
“Ke tempat yang kita senangi. Tapi
sungguh, saya tidak mau sekarang. Nanti saja.”
“Hmm, baiklah.” Dian lalu menyeruput minuman
yang dia pesan.
Mereka diam sejenak, lalu Dian mengajak
Farah bicara lagi.
“Oh ya, sepertinya aku keingat sesuatu.”
“Keingat apaan, Dian?”
“Hmm, soal Ayahku.”
“Kenapa memangnya dengan Ayahmu?”
“Itu, aku ada salah padanya. Aku
inginnya minta maaf padanya, cuman aku sangat sibuk.”
“Memang kamu tak ada waktu buat bertemu
Ayahmu? Setidaknya undang saja Ayahmu ke acara naik pangkatmu itu, dan di situ
kamu minta maaf. Kan bisa.”
“Iya juga, sih. Semoga bisa.” Dian
kembali menyeruput minumannya.
Tiba-tiba, dering telepon Dian berbunyi.
Telepon dari kamp markas.
“Halo? Iya. Iya. Oke, saya akan ke sana
sekarang. Baik.” Jawab Dian lalu memutuskan kembali teleponnya.
“Siapa itu?”
“Orang dari kamp markas. Mereka
menyuruhku untuk mengawasi perlintasan militer. Jadi, aku akan pergi lagi.”
“Terus, kau meninggalkanku lagi?”
“Iya, maaf banget, Farah. Karena ini
adalah tugas yang penting. Nanti kutelepon bila sudah malam larut. Kalau tidak,
tunggu aku di kafe di sini. Oke?” Dian lalu mengelus kepala Farah lalu pergi
meninggalkan Farah sendirian.
Dian pergi berlari menuju kamp markas.
Dia tidak ingin naik bis ataupun taksi, tapi dia ingin memilih untuk lari.
Sementara Farah, duduk sendirian di kafe dan suasana menjadi hening.
---------------------
-=2016=-
Kejadian itu masih terasa bagi Dian saat
berlarian pergi ke kamp militer di Suriah. Dian dan para kawanan tentaranya
masih ada di Suriah, dan mereka masih harus melanjutkan misi mereka yaitu melakukan
operasi militer di tempat yang sangat rawan.
Dian pun sampai di kamp militer dengan
nafas yang ngos-ngosan, dan langsung duduk di meja kantornya. Dian membuka map
berisi jadwal, dan jadwal untuk operasi militer dilakukan pukul 20 malam waktu
setempat.
Sebagai tentara yang terbilang paling
kuat di dunia permiliteran, Dian harus siap siaga untuk operasi militer
tersebut. Karena biasanya di tempat itu ada banyak bom atau gangguan yang
membuat warga di sana menjadi ketakutan, atau bahkan di sana ada warga yang
mati karena itu. Maka karena itulah, Dian dan para kawanannya lekas melakukan
operasi militer untuk mengatasi itu.
Dian tentu merasa gugup dengan operasi
militer yang akan dilakukannya sebentar malam. Dan dia sedikit teringat lagi
akan kejadian yang tentu dia ingat terus.
--------------------
-=2010=-
Saat selesai berolahraga di kamp militer,
Dian tiba-tiba diajak oleh Jenderal untuk mengajaknya jalan-jalan.
“Dian, mau ikut saya?” ajak pak Jenderal
yang juga memakai baju olahraga.
“Mau kemana, Pak?”
“Kita ke tempat sesuatu. Ada yang saya
perlihatkan padamu. Tapi sebelumnya, saya ganti baju dulu. Kau juga, yah. Pakai
kemeja tentara.”
“Ohh, baiklah, Pak.”
Dian langsung pergi ke kamar ganti sambil
membawa kemeja tentaranya. Awalnya Dian memakai baju lengan pendek dan celana
yang pendek pula, sekarang Dian nampak gagah dengan kemeja tentaranya yang
sangat bagus dan celana yang panjang pula. Dian langsung keluar dan menemui pak
Jenderal yang sekarang juga memakai kemeja tentara.
“Tapi, Pak? Sebenarnya kita mau kemana
sih? Kok penting sekali?” tanya Dian yang heran dengan ajakan pak Jenderal.
“Saya hanya ingin memperlihatkanmu
sesuatu. Jangan dibicarakan tentang itu, nanti akan kamu lihat.”
Dian hanya bisa mengangguk menerima
ajakan pak Jenderal. Segera, pak Jenderal mengambil mobilnya dan Dian langsung
naik mobil pak Jenderal. Mereka pun pergi ke tempat sesuatu yang di mana Dian
tidak mengetahuinya. Karena penasaran, Dian langsung ikut bersama pak Jenderal.
Sesampainya di suatu tempat, Dian tentu
heran karena Dian dibawa ke pemakaman.
“Lho, kok kita ke pemakaman sih? Di
Taman Makam Pahlawan?”
“Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan
padamu.”
“Memang kita ingin pergi menziarahi
makam pahlawan? Terlebih lagi, makam tentara?” Dian hanya bisa menebaknya
karena dia sekarang di pemakaman.
“Iya. Supaya kamu juga belajar bagaimana
tentara bisa mati ataupun gugur dalam tugasnya. Ayo, kita keluar.”
Dian dan pak Jenderal masuk dalam
pemakaman di mana semua makam-makam-nya dipenuhi oleh para pahlawan yang sudah
berjasa. Pak Jenderal mengajak Dian untuk pergi melihat patung bersejarah yang
ada di pemakaman itu.
“Itu, patung apa ya?”
“Itu patung supaya mengingatkan kita
pada peristiwa bersejarah yang sangat memilukan. Di kamp kita dulunya pernah
ikut dalam peristiwa ini, termasuk saya.”
“Anda dulunya jadi apa?”
“Saya dulunya adalah seorang Sersan. Dan
pernah ikut terlibat dalam peristiwa ini. Peristiwa yang sangat memilukan bagi
kamp kita.”
“Memang ada peristiwa apaan, Pak?”
“Peristiwa masuknya tentara asing di
Indonesia, dan pusatnya ada di Jakarta. Dan kebetulan kamp kita diserang oleh
tentara asing. Dan ini sebuah peristiwa yang amat memilukan. Banyak tentara
yang tewas karena serangan tentara asing.”
“Kalau Anda, bagaimana? Anda selamat?”
“Iya, saya selamat. Dan aku punya teman berharga.
Di tahun itu, dia memiliki gelar tentara yang paling kuat. Kemungkinan sama
sepertimu. Dia berpangkat Letkol.”
“Kenapa pangkat Letkol harus ikutan
perang juga? Bukannya pangkat begituan, dia hanya tinggal memerintah orang?”
“Iya, benar. Tapi bisa saja dia adalah
tentara yang kuat, jadi dia harus ikut dalam perang. Letkol biasanya hanya
memerintahkan prosedur, tapi karena dia adalah orang yang terkuat dalam dunia
kemiliteran, mungkin dia akan ikut dalam perang. Ciri-cirinya sama sepertimu.”
“Terus, berapa banyak yang tewas karena
peristiwa itu?”
“Ada lebih 50 tentara yang tewas.
Termasuk temanku juga. Dan semua tentara yang tewas, dimakamkan di taman makam
pahlawan ini. Kenapa harus ada yang seperti ini dalam dunia sejarah?” Pak
Jenderal langsung berkaca-kaca mengingat peristiwa itu, dan mengusap kembali
air matanya.
“Mungkin seperti itulah peristiwa, bisa
saja terjadi tanpa diduga-duga.”
“Ehh, kalau begitu, maukah kamu melihat
temanku? Tidak jauh dari sini.”
“Ayo.”
Dian dan pak Jenderal berjalan menuju
makam teman pak Jenderal. Dian melihat di nisan makam itu, teman pak Jenderal
bernama Fuad Arifin. Teman pak Jenderal mati di saat pangkatnya menjadi Letkol.
Dian tentu merasa sangat sedih karena harus kehilangan tentara yang terbilang
paling kuat dalam dunia kemiliteran. Dan kini, giliran Dian yang harus
menanggung semuanya.
“Ini adalah teman saya. Dia mirip
denganmu. Sungguh, dia juga ganteng sama sepertimu. Dan juga kuat sama
sepertimu. Tapi saya berharap kamu tidak mengalami nasib yang sama seperti temanku.
Namun, operasi militer bisa saja akan berjalan sesuai waktu. Dan bisa saja kamu
diikutkan dalam operasi militer. Pangkatmu juga Mayor, jadi... kau akan naik
pangkat lagi dalam beberapa tahun.”
“Jika aku mati, sama seperti yang
dialami oleh teman Anda, apa Anda ikhlas kalau aku tidak ada?”
“Jika itu terjadi... maka, tidak ada
lagi tentara kuat. Karena kamu tentara yang paling kuat dalam kamp kita,” ucap
pak Jenderal dengan terbata-bata.
“Aku juga berharap supaya aku tidak mati
dalam operasi militer ini. Karena yang kudengar, operasi militer ini sangat
berbahaya bagi kita-kita, apalagi di kamp militer kita saat ini.”
“Iya, ini bakal jadi penerusmu. Dan
juga... ini untukmu,” pak Jenderal memberikan tanda pangkat temannya yang
memiliki 2 melati emas itu.
“Ini untuk apa?”
“Sebagai jimat untukmu. Jika kamu
melakukan operasi militer, kamu harus bawa ini. Karena supaya terlindungi dari
tembakan maupun serangan lainnya.”
“Baiklah, akan aku jaga ini. Makasih,
Pak Jenderal. Hormat!” seru Dian semangat sambil menggenggam tanda pangkat 2
melati emas itu.
“Hormat!” Pak Jenderal membalas juga
dengan hormat dari Dian.
----------------------
-=2016=-
Dian masih duduk di meja kerjanya dan
dia masih memiliki tanda pangkat 2 melati emas yang diberikan pak Jenderal saat
pergi ke taman makam pahlawan. Karena ini sudah mau mulai melakukan operasi
militer, maka Dian langsung menggenggam erat-erat tanda pangkat itu dan
langsung memasukkannya ke dalam kantong celananya. Lalu, Sersan Yanuar masuk
dalam markas dan melaporkan sesuatu.
“Hormat! Operasi Militer akan segera
dimulai. Tim kami juga sedang bersiap. Senjata juga sudah siap, dan semua sudah
siap. Anda sudah ditunggu.”
“Ohh, baiklah. Naik ke mobil, saya juga
akan naik ke mobil.”
“Baik, kami akan menunggu. Laporan selesai.
Hormat!” Sersan Yanuar lalu pergi dari markas. Dian pun begitu. Dian langsung
pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya yang dipakai sekarang.
Dian langsung menggantinya dengan
pakaian militernya dan memakai topi bulat militernya dan menatap ke cermin. Dan
bergumam dalam hatinya.
“Semoga,
operasi militer ini berhasil. Dan aku bisa bertemu dengan Ayahku secepatnya dan
minta maaf padanya.” Dian pun langsung keluar dari ruang ganti dan segera
menuju helikopter yang ditunggunya di depan markas.
Dian dan para tim berjalan bersamaan
menuju helikopter. Mereka semua masuk, Dian sedikit menengok dari arah belakang
dan kembali ke depan dan masuk ke helikopter.
Sesampainya ke tempat yang rawan selama
15 menit, Dian dan para tim langsung menyiapkan senjata mereka untuk operasi
militer kali ini.
Di tempat yang terbuka dan penuh dengan
kerusakan yakni mobil yang diparkir begitu saja dan pembakaran yang juga
sembarangan, membuat operasi militer kali ini menjadi semakin menegangkan.
---------------------
Setelah 2 jam melakukan operasi militer,
misi mereka pun akhirnya selesai. Semua warga yang tinggal di wilayah itu juga
sudah diamankan. Bahkan semua wilayah juga dirasa aman bagi tim Dian.
Semua sudah siap, mereka pun masuk ke
helikopter, termasuk tim dari Dian. Namun Dian dan Sersan Irdan tidak ingin
masuk dalam helikopter karena Dian dan Sersan Irdan ingin menunggu helikopter
selanjutnya.
“Kalian pulang saja dulu! Saya dan
Sersan Irdan akan naik ke helikopter selanjutnya. Kabari kami jika kalian sudah
sampai di kamp!” seru Dian yang memerintahkan Sersan Yanuar dan Sersan Raka.
“Siap, mengerti, Pak Letnan!”
“Baik, pergilah!”
Helikopter pertama sudah pergi,
sementara Dian dan Sersan Irdan menunggu helikopter kedua yang akan datang 15
menit lagi.
“Helikopter kedua akan datang 15 menit
lagi, kita tunggu saja,” ujar Dian senang pada Sersan Irdan.
“Baik, saya mengerti, Pak Letnan.”
Dian masih tersenyum karena operasi
militer sudah selesai. Dian pun mengambil tanda pangkat 2 melati itu di dalam
kantong celananya sambil bergumam.
“Akhirnya, kau bekerja juga. Makasih,”
gumam Dian senang pada tanda pangkat yang dia pegang.
Dian masih tersenyum, Sersan Irdan juga
tersenyum. Namun senyum di wajah Dian menghilang karena tiba-tiba saja peluru
besar menembus tubuh Dian.
“DUUAAARRRR!!!” Suara tembakan yang
sangat besar terdengar, dan tembakan itu mengenai tubuh Dian. Langsung saja,
Dian merasakan tubuhnya ingin pingsan karena pendarahan yang sangat banyak.
Rupanya musuh atau anggota ormas Islam masih belum menyerah juga. Walaupun
sudah diamankan, ternyata masih ada musuh yang lain juga. Akhirnya musuh itupun
melakukan kontak senjata dan terus menembaki Dian dan Sersan Irdan.
Sersan Irdan juga kena tembak, namun dia
tidak jatuh begitu saja. Sersan Irdan membopong tubuh Dian bersandar di mobil
yang kebetulan ada di samping, untuk berlindung dari musuh yang masih saja terus
menembak.
Sersan Irdan berusaha menahan pendarahan
yang ada di dada Dian. Sementara Dian sendiri, sudah sangat kesulitan untuk
bernafas karena darah yang terus mengalir keluar dari tubuhnya. Dian serasa
ingin pingsan, dan Sersan Irdan masih menahan pendarahan di dada Dian. Dian
sudah tak tahan lagi dan serasa ingin memejamkan matanya. Sersan Irdan mulai
menangis menahan pendarahan di dada Dian. Dan Dian pun teringat akan Ayahnya
dan berpikir bagaimana jika ia sungguh mati dan tak bisa minta maaf pada
Ayahnya? Dan dia juga bergumam karena mungkin jimat yang diberikan oleh pak
Jenderal belum berhasil.
Dian dan Sersan Irdan saling berhadapan,
namun Dian tak memandangi Sersan Irdan namun memandangi yang ada di depannya. Sekilas
pandangan Dian tertuju pada masa lalu, di mana saat Ayahnya tersenyum melihat
Dian menjadi seorang prajurit tentara. Ayahnya tersenyum di saat Dian juga
sudah menjadi seorang Ayah, dan Ayahnya juga tersenyum di saat Dian berpose
hormat di depan Ayahnya.
“Ma--maafkan Dian, Ayah,” gumam Dian
dengan nada yang putus-putus, seolah-olah ingin mati.
“Pak Letnan bicara apa? Pak Letnan,
jangan bicara yang tidak-tidak. Pak Letnan harus sadar, jangan tertidur!”
Sersan Irdan berseru sambil berusaha menghentikan pendarahan di dada Dian.
Hingga akhirnya, Sersan Irdan pun
terkena tembakan di dada dan dia pun tidak bisa menghentikan pendarahan Dian
dan bersandar di samping mobil sambil menggenggam dadanya yang sakit. Dian
seperti sudah manusia yang sudah berada di ambang kehidupannya. Nyawanya sudah
putus-putus, dan akhirnya Dian pun memejamkan matanya dan Dian pun sudah
kehilangan kesadarannya. Sersan Irdan tidak melihat keadaan Dian, dia terus
memegang dadanya yang terkena luka tembakan.
Sersan Yanuar mencoba memanggil Dian
dengan walkie-talkienya. Namun tidak ada panggilan terjawab. Di tempat Dian dan
Sersan Irdan, tiba-tiba mobil yang disandari Dian dan Sersan Irdan mengeluarkan
asap dari aki-nya. Dan mobil itupun langsung meledak, dan mengeluarkan bunyi
yang sangat besar. Sersan Yanuar mendengar ledakan itu dan berteriak
sekeras-kerasnya.
“Tidak! Tidak, jangan! Pak Letnan,
tidak!” Sersan Yanuar berkaca-kaca mendengar ledakan itu dan berteriak
sekeras-kerasnya.
Akhirnya, Dian dan Sersan Irdan gugur
dalam tugasnya karena mobil yang meledak itu. Sersan Yanuar dan Sersan Raka
menangis mendengar ledakan itu. Tiba-tiba, suasana menjadi berkaca-kaca karena
peristiwa ini. Mereka berdua hanya bisa menangis mendengar dari apa yang
dialami Dian dan Sersan Irdan. Apalagi Dian adalah tentara yang sangat kuat
dalam dunia kemiliteran.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar