Jumat, 24 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 9




BAGIAN SEMBILAN

* * *

-=2011=-

6 tahun Dian dan Farah berpacaran. Dan 6 tahun pula mereka sudah menciptakan ciuman pertama mereka. 6 tahun pula mereka sudah bersama dan menciptakan benih-benih cinta pada mereka. Dan 6 tahun pula mereka sering lengket di depan umum.

Di kafe, Dian dengan memakai seragam tentara menunggu pacarnya yang cantik, Farah yang sedang bertugas di rumah sakit. Akhirnya, Farah dengan memakai jas dokter langsung datang ke kafe dan menghampiri Dian yang sedang duduk di kafe.

“Halo, sayang. Kamu sudah lama menunggu?” Farah langsung memeluk Dian yang juga berdiri memeluk Farah.

“Iya, lama banget menunggu. Mari duduk.”

Dian pun mempersilakan Farah duduk dan mereka pun berhadapan dan langsung mengobrol.

“Oh ya, kan kita sudah lama banget kan kita pacaran. Jadi, kamu bisa langsung menikah denganmu dong.” Farah menggoda Dian dan membicarakan tentang pernikahan.

“Kau ini bicara apa? Kenapa tiba-tiba membicarakan tentang pernikahan?” Dian heran dengan perkataan Farah tentang pernikahan.

“Yah, gak juga. Aku hanya ingin mengklarifikasi doang kok. Gak langsung juga.”

“Tapi begini saja, usulan saya. Kan aku ada operasi militer yang sangat penting tahun depan. Jadi saat aku sudah menyelesaikan operasi militer sebagai seorang Mayor, kita nikah saja. Oke?” usul Dian dengan penuh mempesona di wajahnya.

“Isshh, tugas aja kamu urusin. Kamu tidak mengurusin aku.”

“Tenang dong, sayang. Kan aku juga mengurusin kamu, tapi karirku yang lebih penting. Kamu juga harus mengurusin karirmu juga. Karirmu, karirku, dan karir kita.”

“Iya, iya. Aku paham, kok. Aku akan tetap menunggu sampai kamu sudah menyelesaikan tugasmu. Tenang saja.”

“Aku suka karena kamu telah memahaminya.”

“Memahami apa?”

“Kamu bilang kamu suka padaku karena fisikku, bukan? Sekarang kamu masih ingat dengan ciuman itu? Ciuman pertama kita.”

“Hmm, iya. Aku ingat.”

“Kamu mungkin ingin merasakannya lagi, kan?”

“Yah, mau sih. Tapi jangan sekarang.”

“Di mana kalau begitu?”

“Ke tempat yang kita senangi. Tapi sungguh, saya tidak mau sekarang. Nanti saja.”

“Hmm, baiklah.” Dian lalu menyeruput minuman yang dia pesan.

Mereka diam sejenak, lalu Dian mengajak Farah bicara lagi.

“Oh ya, sepertinya aku keingat sesuatu.”

“Keingat apaan, Dian?”

“Hmm, soal Ayahku.”

“Kenapa memangnya dengan Ayahmu?”

“Itu, aku ada salah padanya. Aku inginnya minta maaf padanya, cuman aku sangat sibuk.”

“Memang kamu tak ada waktu buat bertemu Ayahmu? Setidaknya undang saja Ayahmu ke acara naik pangkatmu itu, dan di situ kamu minta maaf. Kan bisa.”

“Iya juga, sih. Semoga bisa.” Dian kembali menyeruput minumannya.

Tiba-tiba, dering telepon Dian berbunyi. Telepon dari kamp markas.

“Halo? Iya. Iya. Oke, saya akan ke sana sekarang. Baik.” Jawab Dian lalu memutuskan kembali teleponnya.

“Siapa itu?”

“Orang dari kamp markas. Mereka menyuruhku untuk mengawasi perlintasan militer. Jadi, aku akan pergi lagi.”

“Terus, kau meninggalkanku lagi?”

“Iya, maaf banget, Farah. Karena ini adalah tugas yang penting. Nanti kutelepon bila sudah malam larut. Kalau tidak, tunggu aku di kafe di sini. Oke?” Dian lalu mengelus kepala Farah lalu pergi meninggalkan Farah sendirian.

Dian pergi berlari menuju kamp markas. Dia tidak ingin naik bis ataupun taksi, tapi dia ingin memilih untuk lari. Sementara Farah, duduk sendirian di kafe dan suasana menjadi hening.

---------------------

-=2016=-

Kejadian itu masih terasa bagi Dian saat berlarian pergi ke kamp militer di Suriah. Dian dan para kawanan tentaranya masih ada di Suriah, dan mereka masih harus melanjutkan misi mereka yaitu melakukan operasi militer di tempat yang sangat rawan.

Dian pun sampai di kamp militer dengan nafas yang ngos-ngosan, dan langsung duduk di meja kantornya. Dian membuka map berisi jadwal, dan jadwal untuk operasi militer dilakukan pukul 20 malam waktu setempat.

Sebagai tentara yang terbilang paling kuat di dunia permiliteran, Dian harus siap siaga untuk operasi militer tersebut. Karena biasanya di tempat itu ada banyak bom atau gangguan yang membuat warga di sana menjadi ketakutan, atau bahkan di sana ada warga yang mati karena itu. Maka karena itulah, Dian dan para kawanannya lekas melakukan operasi militer untuk mengatasi itu.

Dian tentu merasa gugup dengan operasi militer yang akan dilakukannya sebentar malam. Dan dia sedikit teringat lagi akan kejadian yang tentu dia ingat terus.

--------------------

-=2010=-

Saat selesai berolahraga di kamp militer, Dian tiba-tiba diajak oleh Jenderal untuk mengajaknya jalan-jalan.

“Dian, mau ikut saya?” ajak pak Jenderal yang juga memakai baju olahraga.

“Mau kemana, Pak?”

“Kita ke tempat sesuatu. Ada yang saya perlihatkan padamu. Tapi sebelumnya, saya ganti baju dulu. Kau juga, yah. Pakai kemeja tentara.”

“Ohh, baiklah, Pak.”

Dian langsung pergi ke kamar ganti sambil membawa kemeja tentaranya. Awalnya Dian memakai baju lengan pendek dan celana yang pendek pula, sekarang Dian nampak gagah dengan kemeja tentaranya yang sangat bagus dan celana yang panjang pula. Dian langsung keluar dan menemui pak Jenderal yang sekarang juga memakai kemeja tentara.

“Tapi, Pak? Sebenarnya kita mau kemana sih? Kok penting sekali?” tanya Dian yang heran dengan ajakan pak Jenderal.

“Saya hanya ingin memperlihatkanmu sesuatu. Jangan dibicarakan tentang itu, nanti akan kamu lihat.”

Dian hanya bisa mengangguk menerima ajakan pak Jenderal. Segera, pak Jenderal mengambil mobilnya dan Dian langsung naik mobil pak Jenderal. Mereka pun pergi ke tempat sesuatu yang di mana Dian tidak mengetahuinya. Karena penasaran, Dian langsung ikut bersama pak Jenderal.

Sesampainya di suatu tempat, Dian tentu heran karena Dian dibawa ke pemakaman.

“Lho, kok kita ke pemakaman sih? Di Taman Makam Pahlawan?”

“Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”

“Memang kita ingin pergi menziarahi makam pahlawan? Terlebih lagi, makam tentara?” Dian hanya bisa menebaknya karena dia sekarang di pemakaman.

“Iya. Supaya kamu juga belajar bagaimana tentara bisa mati ataupun gugur dalam tugasnya. Ayo, kita keluar.”

Dian dan pak Jenderal masuk dalam pemakaman di mana semua makam-makam-nya dipenuhi oleh para pahlawan yang sudah berjasa. Pak Jenderal mengajak Dian untuk pergi melihat patung bersejarah yang ada di pemakaman itu.

“Itu, patung apa ya?”

“Itu patung supaya mengingatkan kita pada peristiwa bersejarah yang sangat memilukan. Di kamp kita dulunya pernah ikut dalam peristiwa ini, termasuk saya.”

“Anda dulunya jadi apa?”

“Saya dulunya adalah seorang Sersan. Dan pernah ikut terlibat dalam peristiwa ini. Peristiwa yang sangat memilukan bagi kamp kita.”

“Memang ada peristiwa apaan, Pak?”

“Peristiwa masuknya tentara asing di Indonesia, dan pusatnya ada di Jakarta. Dan kebetulan kamp kita diserang oleh tentara asing. Dan ini sebuah peristiwa yang amat memilukan. Banyak tentara yang tewas karena serangan tentara asing.”

“Kalau Anda, bagaimana? Anda selamat?”

“Iya, saya selamat. Dan aku punya teman berharga. Di tahun itu, dia memiliki gelar tentara yang paling kuat. Kemungkinan sama sepertimu. Dia berpangkat Letkol.”

“Kenapa pangkat Letkol harus ikutan perang juga? Bukannya pangkat begituan, dia hanya tinggal memerintah orang?”

“Iya, benar. Tapi bisa saja dia adalah tentara yang kuat, jadi dia harus ikut dalam perang. Letkol biasanya hanya memerintahkan prosedur, tapi karena dia adalah orang yang terkuat dalam dunia kemiliteran, mungkin dia akan ikut dalam perang. Ciri-cirinya sama sepertimu.”

“Terus, berapa banyak yang tewas karena peristiwa itu?”

“Ada lebih 50 tentara yang tewas. Termasuk temanku juga. Dan semua tentara yang tewas, dimakamkan di taman makam pahlawan ini. Kenapa harus ada yang seperti ini dalam dunia sejarah?” Pak Jenderal langsung berkaca-kaca mengingat peristiwa itu, dan mengusap kembali air matanya.

“Mungkin seperti itulah peristiwa, bisa saja terjadi tanpa diduga-duga.”

“Ehh, kalau begitu, maukah kamu melihat temanku? Tidak jauh dari sini.”

“Ayo.”

Dian dan pak Jenderal berjalan menuju makam teman pak Jenderal. Dian melihat di nisan makam itu, teman pak Jenderal bernama Fuad Arifin. Teman pak Jenderal mati di saat pangkatnya menjadi Letkol. Dian tentu merasa sangat sedih karena harus kehilangan tentara yang terbilang paling kuat dalam dunia kemiliteran. Dan kini, giliran Dian yang harus menanggung semuanya.

“Ini adalah teman saya. Dia mirip denganmu. Sungguh, dia juga ganteng sama sepertimu. Dan juga kuat sama sepertimu. Tapi saya berharap kamu tidak mengalami nasib yang sama seperti temanku. Namun, operasi militer bisa saja akan berjalan sesuai waktu. Dan bisa saja kamu diikutkan dalam operasi militer. Pangkatmu juga Mayor, jadi... kau akan naik pangkat lagi dalam beberapa tahun.”

“Jika aku mati, sama seperti yang dialami oleh teman Anda, apa Anda ikhlas kalau aku tidak ada?”

“Jika itu terjadi... maka, tidak ada lagi tentara kuat. Karena kamu tentara yang paling kuat dalam kamp kita,” ucap pak Jenderal dengan terbata-bata.

“Aku juga berharap supaya aku tidak mati dalam operasi militer ini. Karena yang kudengar, operasi militer ini sangat berbahaya bagi kita-kita, apalagi di kamp militer kita saat ini.”

“Iya, ini bakal jadi penerusmu. Dan juga... ini untukmu,” pak Jenderal memberikan tanda pangkat temannya yang memiliki 2 melati emas itu.

“Ini untuk apa?”

“Sebagai jimat untukmu. Jika kamu melakukan operasi militer, kamu harus bawa ini. Karena supaya terlindungi dari tembakan maupun serangan lainnya.”

“Baiklah, akan aku jaga ini. Makasih, Pak Jenderal. Hormat!” seru Dian semangat sambil menggenggam tanda pangkat 2 melati emas itu.

“Hormat!” Pak Jenderal membalas juga dengan hormat dari Dian.

----------------------

-=2016=-

Dian masih duduk di meja kerjanya dan dia masih memiliki tanda pangkat 2 melati emas yang diberikan pak Jenderal saat pergi ke taman makam pahlawan. Karena ini sudah mau mulai melakukan operasi militer, maka Dian langsung menggenggam erat-erat tanda pangkat itu dan langsung memasukkannya ke dalam kantong celananya. Lalu, Sersan Yanuar masuk dalam markas dan melaporkan sesuatu.

“Hormat! Operasi Militer akan segera dimulai. Tim kami juga sedang bersiap. Senjata juga sudah siap, dan semua sudah siap. Anda sudah ditunggu.”

“Ohh, baiklah. Naik ke mobil, saya juga akan naik ke mobil.”

“Baik, kami akan menunggu. Laporan selesai. Hormat!” Sersan Yanuar lalu pergi dari markas. Dian pun begitu. Dian langsung pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya yang dipakai sekarang.

Dian langsung menggantinya dengan pakaian militernya dan memakai topi bulat militernya dan menatap ke cermin. Dan bergumam dalam hatinya.

Semoga, operasi militer ini berhasil. Dan aku bisa bertemu dengan Ayahku secepatnya dan minta maaf padanya.” Dian pun langsung keluar dari ruang ganti dan segera menuju helikopter yang ditunggunya di depan markas.

Dian dan para tim berjalan bersamaan menuju helikopter. Mereka semua masuk, Dian sedikit menengok dari arah belakang dan kembali ke depan dan masuk ke helikopter.

Sesampainya ke tempat yang rawan selama 15 menit, Dian dan para tim langsung menyiapkan senjata mereka untuk operasi militer kali ini.

Di tempat yang terbuka dan penuh dengan kerusakan yakni mobil yang diparkir begitu saja dan pembakaran yang juga sembarangan, membuat operasi militer kali ini menjadi semakin menegangkan.

---------------------

Setelah 2 jam melakukan operasi militer, misi mereka pun akhirnya selesai. Semua warga yang tinggal di wilayah itu juga sudah diamankan. Bahkan semua wilayah juga dirasa aman bagi tim Dian.

Semua sudah siap, mereka pun masuk ke helikopter, termasuk tim dari Dian. Namun Dian dan Sersan Irdan tidak ingin masuk dalam helikopter karena Dian dan Sersan Irdan ingin menunggu helikopter selanjutnya.

“Kalian pulang saja dulu! Saya dan Sersan Irdan akan naik ke helikopter selanjutnya. Kabari kami jika kalian sudah sampai di kamp!” seru Dian yang memerintahkan Sersan Yanuar dan Sersan Raka.

“Siap, mengerti, Pak Letnan!”

“Baik, pergilah!”

Helikopter pertama sudah pergi, sementara Dian dan Sersan Irdan menunggu helikopter kedua yang akan datang 15 menit lagi.

“Helikopter kedua akan datang 15 menit lagi, kita tunggu saja,” ujar Dian senang pada Sersan Irdan.

“Baik, saya mengerti, Pak Letnan.”

Dian masih tersenyum karena operasi militer sudah selesai. Dian pun mengambil tanda pangkat 2 melati itu di dalam kantong celananya sambil bergumam.

“Akhirnya, kau bekerja juga. Makasih,” gumam Dian senang pada tanda pangkat yang dia pegang.

Dian masih tersenyum, Sersan Irdan juga tersenyum. Namun senyum di wajah Dian menghilang karena tiba-tiba saja peluru besar menembus tubuh Dian.

“DUUAAARRRR!!!” Suara tembakan yang sangat besar terdengar, dan tembakan itu mengenai tubuh Dian. Langsung saja, Dian merasakan tubuhnya ingin pingsan karena pendarahan yang sangat banyak. Rupanya musuh atau anggota ormas Islam masih belum menyerah juga. Walaupun sudah diamankan, ternyata masih ada musuh yang lain juga. Akhirnya musuh itupun melakukan kontak senjata dan terus menembaki Dian dan Sersan Irdan.

Sersan Irdan juga kena tembak, namun dia tidak jatuh begitu saja. Sersan Irdan membopong tubuh Dian bersandar di mobil yang kebetulan ada di samping, untuk berlindung dari musuh yang masih saja terus menembak.

Sersan Irdan berusaha menahan pendarahan yang ada di dada Dian. Sementara Dian sendiri, sudah sangat kesulitan untuk bernafas karena darah yang terus mengalir keluar dari tubuhnya. Dian serasa ingin pingsan, dan Sersan Irdan masih menahan pendarahan di dada Dian. Dian sudah tak tahan lagi dan serasa ingin memejamkan matanya. Sersan Irdan mulai menangis menahan pendarahan di dada Dian. Dan Dian pun teringat akan Ayahnya dan berpikir bagaimana jika ia sungguh mati dan tak bisa minta maaf pada Ayahnya? Dan dia juga bergumam karena mungkin jimat yang diberikan oleh pak Jenderal belum berhasil.

Dian dan Sersan Irdan saling berhadapan, namun Dian tak memandangi Sersan Irdan namun memandangi yang ada di depannya. Sekilas pandangan Dian tertuju pada masa lalu, di mana saat Ayahnya tersenyum melihat Dian menjadi seorang prajurit tentara. Ayahnya tersenyum di saat Dian juga sudah menjadi seorang Ayah, dan Ayahnya juga tersenyum di saat Dian berpose hormat di depan Ayahnya.

“Ma--maafkan Dian, Ayah,” gumam Dian dengan nada yang putus-putus, seolah-olah ingin mati.

“Pak Letnan bicara apa? Pak Letnan, jangan bicara yang tidak-tidak. Pak Letnan harus sadar, jangan tertidur!” Sersan Irdan berseru sambil berusaha menghentikan pendarahan di dada Dian.

Hingga akhirnya, Sersan Irdan pun terkena tembakan di dada dan dia pun tidak bisa menghentikan pendarahan Dian dan bersandar di samping mobil sambil menggenggam dadanya yang sakit. Dian seperti sudah manusia yang sudah berada di ambang kehidupannya. Nyawanya sudah putus-putus, dan akhirnya Dian pun memejamkan matanya dan Dian pun sudah kehilangan kesadarannya. Sersan Irdan tidak melihat keadaan Dian, dia terus memegang dadanya yang terkena luka tembakan.

Sersan Yanuar mencoba memanggil Dian dengan walkie-talkienya. Namun tidak ada panggilan terjawab. Di tempat Dian dan Sersan Irdan, tiba-tiba mobil yang disandari Dian dan Sersan Irdan mengeluarkan asap dari aki-nya. Dan mobil itupun langsung meledak, dan mengeluarkan bunyi yang sangat besar. Sersan Yanuar mendengar ledakan itu dan berteriak sekeras-kerasnya.

“Tidak! Tidak, jangan! Pak Letnan, tidak!” Sersan Yanuar berkaca-kaca mendengar ledakan itu dan berteriak sekeras-kerasnya.

Akhirnya, Dian dan Sersan Irdan gugur dalam tugasnya karena mobil yang meledak itu. Sersan Yanuar dan Sersan Raka menangis mendengar ledakan itu. Tiba-tiba, suasana menjadi berkaca-kaca karena peristiwa ini. Mereka berdua hanya bisa menangis mendengar dari apa yang dialami Dian dan Sersan Irdan. Apalagi Dian adalah tentara yang sangat kuat dalam dunia kemiliteran.

BERSAMBUNG



Tidak ada komentar:

Posting Komentar