Kamis, 09 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 2






BAGIAN DUA

* * *


-=1994=-

Dian Hermawan, kini telah beranjak menjadi anak remaja yang telah mengalami perubahan, semacam metamorfosis. Bahkan fisik dan mentalnya juga berubah. Namun sedikit bandel pada Ayahnya. Dia sama sekali belum memikirkan tentang masa depannya kelak.

Dian tentu tak mau dengar nasehat dari Ayahnya. Ayahnya tentu menerima apa adanya tanpa harus kasar terhadap Dian. Di tahun itu, Dian masih belum mengetahui apa cita-citanya. Yang dia tahu hanyalah main ding dong atau hanya di rumah saja tanpa berbuat apa-apa.

Seperti biasa, Ayah Dian pergi ke sawah lagi untuk memanen padi. Ibu Dian juga seperti biasa memasakkan makanan untuk suami tercinta. Namun berbeda dari 3 tahun yang lalu. Ibunya memasak 2 porsi masing-masing untuk Dian dan Ayah Dian. Jadinya Dian membawa 2 rantang.

“Ini, kamu bawa 2 rantang, dan kamu pergi sama Ayah bersawah,” kata Ibunya sambil memberikan 2 rantang pada Dian.

“Jadi, Dian juga harus bersawah?”

“Tidak, Nak. Kamu hanya tinggal menunggu Ayahmu selesai bersawah, itu saja.”

“Wah, ini mah buang-buang waktu. Lebih baik aku main ding dong saja setelah selesai mengantar Ayah ke sawah. Tak perlu repot-repot gini.”

“Jadi, Ibu ingin memberimu uang lagi?”

“Iyalah, Bu. Masa Dian harus buang-buang waktu gini?”

“Tapi belajar gimana?” tanya Ibunya yang mengkhawatirkan Dian.

“Dian bisa atur waktu kok. Mana mungkin Dian main ding dong sampai malam? Dian kan harus belajar juga.”

“Kamu punya 2 otak rupanya,” ucap Ibunya yang kini mendadak berubah dan bersikap lain kepada Dian. Namun Dian malah melirihnya.

“Iya, Bu. Asal Ibu tahu, Dian punya waktu sendiri untuk berbuat sesuatu. Dian juga bisa belajar ataupun bermain, itu suka-suka Dian. Jadi Ibu tak perlu ganggu kehidupan pribadi Dian, Bu. Karena itu sama aja ada manfaatnya buat Dian.”

“Baik, terserah kamu apa yang akan kamu lakukan. Ibu juga muak bicara dengan anak sepertimu. Satu-satunya harapan buatmu adalah Ayah, karena Ayahlah yang bisa selesaikan masalah keluarga kita, termasuk dirimu, Dian,” jelas Ibunya kesal dan kemudian tanpa berkata-kata Dian pun pergi bersama Ayahnya.

Dian tak meremehkan apa yang dikatakan oleh Ibunya. Baginya, ding dong adalah segalanya bagi Dian, dan juga ding dong bisa menenangkan pikiran Dian.

Di tempat game ding dong, Dian memesan 500 rupiah untuk 2 jam. Menurutnya itu sudah menjadi waktu yang berharga untuk Dian. Keahlian tangannya sudah menjadi keahliannya sekarang. Dan sekali-kali dia memecahkan rekor menjadi pemenang pertama dalam bermain ding dong. Intinya, Dian senang bisa main ding dong.

-----------------------

-=2016=-

Di markas tentara, Dian masih teringat dengan main ding dong-nya. Bahkan dia masih saja menggerakkan tangannya seperti main ding dong. Dian yang sekarang sudah berumur sangat matang yaitu 36 tahun masih saja mengingat masa remajanya yang dipenuhi dengan main ding dong. Bahkan hafalan tangannya saja masih ingat. Dia yang harusnya memerintah tentara lainnya malahan teringat dengan masa kecil dan masa remajanya.

Tiba-tiba, dua orang tentara masuk di markas untuk melaporkan sesuatu.

“Hormat, Pak Letnan!” seru dua orang itu yang menghormati Pak Letnan Kolonel Dian Hermawan.

“Ya! Hormat! Apa ada terjadi sesuatu?”

“Ada dua tentara yang lari dari pelatihan militer, Pak!”

“Siapa mereka yang lari? Kenapa mereka lari?” tanya Dian sambil menyusul berdiri menghadap dua tentara yang melapor.

“Katanya mereka capek, merengek minta pulang. Mengambil tas-nya dan lari.”

“Terus kenapa kalian diam saja? Kenapa kalian membiarkan mereka lari? Haah?!!” Tiba-tiba, Dian naik darah mendengar laporan dua tentara tersebut.

“Tapi, Pak. Kami sudah menghentikan mereka, Pak. Tapi mereka malah bersikeras untuk lari, Pak. Apa yang harus kami lakukan?”

“Tangkap mereka segera, dan bawa mereka kesini. Saya akan marahi mereka yang sudah lari. Cepat! Ini perintah!”

“Baik. Siap, Pak Letnan!”

Dua tentara itu langsung cepat keluar dari markas dan Dian menghela nafas karena sudah marah tadi dan langsung pergi duduk kembali di tempat duduknya.

Di luar dekat pintu, tiba-tiba Dian melihat orang tua renta sedang berdiri di jalanan. Entah apa yang diinginkan orang tua itu, yang jelas orang tua itu kebingungan mencari sesuatu. Dengan segera, Dian pun keluar dari markas dan keluar dari tempat itu dan segera menghampiri orang tua itu. Karena Dian memakai baju tentara lengkap dengan pangkat-pangkat di bahu dan sepatu tentara, orang tua itu tiba-tiba terkejut dengan kedatangan tentara yang menghampirinya.

“Pak, boleh saya bantu? Kenapa Anda kebingungan?” Dian merasa kasihan melihat orang tua yang renta itu sangat kebingungan.

“Aduh, tak perlu, Nak. Bapak tak mau dibantu oleh seorang tentara. Bapak tak mau,” orang tua itu memang sangat renta bahkan cara bicaranya sedikit lambat.

“Tidak, Pak. Saya tidak menyakiti bapak, kok. Cuman saya ingin membantu bapak. Tugas saya sebagai tentara juga menolong orang lain. Tidak apa-apa, Pak.”

“Ooh, Bapak mau cari penjual nasi bungkus, Nak. Tapi Bapak tak menemukannya. Boleh bantu bapak ini?”

“Tentu bisa, Pak. Saya akan carikan penjual nasi bungkus. Boleh saya bantu bapak berjalan?”

Dian pun membantu orang tua renta itu berjalan menuju warteg yang jaraknya dekat dari markas. Dian akhirnya menemukan warteg yang menjual nasi bungkus. Segera, dia membelinya untuk bapak tua itu.

“Bu, saya ingin beli nasi bungkus itu.”

“Harganya 10 ribu, Dek.”

“Ini, Bu.” Segera, Dian menyodorkan uang 100 ribu pada Ibu penjual nasi bungkus.

“Tapi, uangnya banyak sekali. Apa tak apa-apa kalau aku beri uang yang sedikit lusuh?”

“Tak apa, yang penting saya akan beli nasi bungkus.”

“Baiklah.”

Dian pun duduk di samping bapak tua itu dan menunggu nasi bungkus itu. Dan tak berapa lama, nasi bungkus pun datang dan memberinya pada Dian. Dan selanjutnya, Dian memberikan nasi bungkus itu kepada bapak tua renta.

“Makasih, Pak Tentara. Sudah menolong Bapak. Semoga kamu bisa mengabdi Negara lebih baik lagi yah, Nak,” bapak tua itu tiba-tiba terharu karena ditolong oleh tentara.

“Iya, Pak. Sama-sama. Anda tak perlu hormat pada saya, karena itu keinginan saya untuk menolong.”

“Iya, Nak. Sekali lagi makasih Pak Tentara.”

“Oh ya, dan juga...,” Dian memberikan uang kembalian nasi bungkus kepada bapak tua itu.

“Aduh, tak usah, Nak. Tak apa.”

“Eey, ambil saja, Pak. Gak apa-apa.”

“Ohh, kalau begitu... Makasih ya Nak.”

“Iya, Pak. Sama-sama.”

Dian pun berlari pergi kembali ke markas dengan sepatu tentara-nya yang sangat khas. Setelah kembali ke markas dan kembali duduk di tempat duduknya, Dian sejenak memikirkan sesuatu. Si Bapak Tua yang tadi ditolongnya, tiba-tiba teringat akan Ayahnya yang juga renta dan kebingungan. Dan tiba-tiba dia menunduk menangis. Menangis teringat akan Ayahnya di Bandung.

Tiba-tiba, dua tentara yang tadi itu membawa dua tentara yang melarikan diri ke markas. Dian pun segera menghapus air matanya.

“Hormat, Pak Letnan! Ini, kami sudah menemukan tentara yang lari itu. Kalau begitu, kami pamit! Hormat!” Laporan singkat dua tentara itu membuat Dian mengerti dan langsung bicara pada dua tentara bermasalah itu.

“Baik, kalian duduk. Duduk! Ini perintah Letnan!” seru Dian sambil menaruh kedua tangannya di belakang.

“Ahh, iya, Pak.”

“Aish, kalian ini. Kenapa kalian lari seperti ini sih? Saya dengar lewat laporan kalau kalian merengek minta pulang. Memang di sini Taman Kanak-Kanak? Kalian merengek kayak anak kecil? Di sini, kami membutuhkan orang yang kuat, gagah, dan berani. Kalian memang tak pantas jadi tentara seperti ini. Kalau kalian disuruh untuk bertugas ke Negara Konflik, kalian mau kena tembak, lalu psikis kalian lemah?”

“Ti--tidak kok, Pak. Kami hanya ingin beli rokok. Karena kami ingin beli rokok.”

“Apa? Kalian bilang rokok? Kalian masuk tentara lalu kalian merokok? Wah, aku tak tahan melihat tentara seperti kalian merokok. Apa kalian lolos tes kesehatan?”

“Maafkan kami, Pak. Kami pantas dihukum.”

“Oh, jadi kalian mau dihukum? Oke. Kalau begitu, kalian lari keliling lapangan 100 kali. Ah tidak. Kalian lari 200 kali karena melanggaar aturan umum markas tentara ini. Cepat!!”

“Ah, baiklah, Pak. Kami permisi,” dengan buru-buru, tentara masalah itu langsung keluar dari markas, namun dihentikan oleh Dian.

“Kalian mau kemana sih? Kalian tak punya kehormatan sebagai tentara? Harusnya sebelum pergi, kalian harus hormat pada pangkat yang lebih tinggi dari kalian.”

“Ah, maaf, Pak. Kalau begitu, kami permisi. Hormat, Pak Letnan!” Setelah hormat, tentara-tentara itu kembali keluar dari markas.

Dian kembali duduk di tempat duduknya dan menadahkan kepalanya di meja. Lalu ada lagi tentara yang masuk di markas tentara Dian. Kira-kira dia akan melaporkan sesuatu lagi pada Dian.

“Hormat, Pak Letnan! Ada sesuatu yang ingin saya kasih ke Pak Letnan.”

“Apaan itu?”

“Ini, Pak,” sambil memberikan map hitam pada Dian.

Dian pun membuka map hitam itu dan melihat ada laporan bahwa dia akan menjalani tugas untuk pergi ke luar negeri. Bukan liburan, tapi menjalankan tugas. Dia disuruh pergi ke Negara Berkonflik untuk menuntaskan masalah di sana. Sebagai tentara berpangkat letnan kolonel, dia harus ke sana bersama tentara lainnya.

------------------------

-=1995=-

Saat Dian pulang dari ekskul basket di sekolahnya, dia tiba-tiba jatuh dari motornya saat dia mengendarai motor di jalan. Dian sangat kesakitan karena jatuh dari motor. Tiba-tiba, seorang tentara yang kebetulan lewat, langsung menolong Dian yang terluka.

“Kau tak apa-apa, dek?” tanya tentara itu sambil mengeluarkan kotak P3K-nya dan langsung mengeluarkan betadine.

“Iya, pak tentara. Saya tak apa-apa.”

“Jangan banyak bergerak. Nanti lukamu tambah banyak. Tunggu sebentar saja.”

Tentara itu sangat handal dalam mengobati. Sampai-sampai, Dian terkagum melihat kelihaian tentara itu.

“Oke, sudah selesai. Sekarang, kamu sudah diobati.”

“Makasih, pak tentara. Ehh, memangnya itu keahlian Anda? Menolong orang lain?”

“Tugas kami sebagai tentara itu, tidak hanya mengabdi Negara. Melainkan menolong orang lain. Tidak semua tentara itu keras atau galak seperti yang Adek pikirkan. Tentara itu punya hati yang lembut, dan selain itu, dia merelakan nyawa-nya untuk melindungi Negara.”

“Merelakan nyawa? Maksudnya?”

“Biasanya para tentara itu ditugaskan untuk pergi ke Negara Berkonflik. Dan biasanya ada perang perlawanan. Biasanya masalah muncul karena konflik perdamaian yang belum selesai. Jadi para tentara di Indonesia ditugaskan untuk kesana supaya ada perjanjian perdamaian.”

“Jadi, tentara itu harus terluka?”

“Hmm, bisa harus bisa juga tidak. Karena tentara lainnya juga melawan dan butuh senjata yang lengkap untuk menggugurkan sesuatu. Jadi, tentara Indonesia biasanya gugur di medan perang. Dan negara-negara konflik lainnya mungkin masih banyak. Tentara Indonesia pasti ada yang gugur lagi. Yah, seperti itu.”

“Ohh, begitu. Terus, itu tangannya kenapa? Kok terluka?”

“Ah, ini saat aku pergi ke Negara Konflik Lebanon dan aku terluka. Tapi aku tak merasakan apa-apa. Meskipun aku dibalut perban, tapi sebagai tentara, badan adalah perisai. Tapi kalau kamu cita-cita menjadi tentara, kamu harus punya fisik yang kuat untuk itu. Dan siap siaga jika kamu kena luka tembak atau jika kamu mati di tengah perang.”

“Semoga saja. Sekali lagi, makasih ya pak tentara sudah menolongku.”

“Iya, sama-sama. Tapi kamu tak perlu menghormatiku, karena itu khusus bagi yang sudah masuk tentara saja.”

“Tak mau, karena aku tak enak ditolong oleh tentara lalu aku tak hormat. Tapi, pangkat Anda apa ya?”

“Pangkatku adalah Letnan Kolonel.”

“Hehe, kalau begitu, hormat pada pak Letnan!” seru Dian sambil hormat pada tentara itu.

“Hehehe, makasih yah. Namamu siapa?”

“Namaku Dian Hermawan. Hormat!” Dian sekali lagi hormat pada tentara itu.

“Hormat!” Pak tentara pun berbalik hormat pada Dian.

-----------------------

-=2016=-

Dian teringat akan pesan tentara yang sudah menolongnya 21 tahun yang lalu. Dia harus siap siaga dalam menjalani hal apapun, karena dia adalah tentara berpangkat Letnan Kolonel.

“Itu adalah laporan untuk operasi gabungan tentara, dan Anda sebagai Letnan Kolonel harus mengontrol dan juga mempersiapkan banyak senjata untuk kita nanti.”

“Baik, aku akan melakukannya.”

“Kalau begitu, laporan selesai. Hormat, Pak Letnan!” Kemudian tentara itu pun pergi.

Dian awalnya ragu-ragu untuk pergi. Namun, dia tidak boleh menundanya begitu saja. Karena itulah tugas sebagai seorang tentara. Dia harus melakukan ini demi orang tuanya di Bandung.

Dian harus rela meninggalkan istri dan anaknya di Indonesia demi menjalankan misi, dan juga orang tuanya yang renta di Bandung. Mampukah Dian bisa kembali ke Indonesia tanpa ada luka sekalipun?

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar