BAGIAN DUA
*
* *
-=1994=-
Dian Hermawan, kini telah beranjak
menjadi anak remaja yang telah mengalami perubahan, semacam metamorfosis.
Bahkan fisik dan mentalnya juga berubah. Namun sedikit bandel pada Ayahnya. Dia
sama sekali belum memikirkan tentang masa depannya kelak.
Dian tentu tak mau dengar nasehat dari
Ayahnya. Ayahnya tentu menerima apa adanya tanpa harus kasar terhadap Dian. Di
tahun itu, Dian masih belum mengetahui apa cita-citanya. Yang dia tahu hanyalah
main ding dong atau hanya di rumah saja tanpa berbuat apa-apa.
Seperti biasa, Ayah Dian pergi ke sawah
lagi untuk memanen padi. Ibu Dian juga seperti biasa memasakkan makanan untuk
suami tercinta. Namun berbeda dari 3 tahun yang lalu. Ibunya memasak 2 porsi
masing-masing untuk Dian dan Ayah Dian. Jadinya Dian membawa 2 rantang.
“Ini, kamu bawa 2 rantang, dan kamu
pergi sama Ayah bersawah,” kata Ibunya sambil memberikan 2 rantang pada Dian.
“Jadi, Dian juga harus bersawah?”
“Tidak, Nak. Kamu hanya tinggal menunggu
Ayahmu selesai bersawah, itu saja.”
“Wah, ini mah buang-buang waktu. Lebih
baik aku main ding dong saja setelah selesai mengantar Ayah ke sawah. Tak perlu
repot-repot gini.”
“Jadi, Ibu ingin memberimu uang lagi?”
“Iyalah, Bu. Masa Dian harus buang-buang
waktu gini?”
“Tapi belajar gimana?” tanya Ibunya yang
mengkhawatirkan Dian.
“Dian bisa atur waktu kok. Mana mungkin
Dian main ding dong sampai malam? Dian kan harus belajar juga.”
“Kamu punya 2 otak rupanya,” ucap Ibunya
yang kini mendadak berubah dan bersikap lain kepada Dian. Namun Dian malah
melirihnya.
“Iya, Bu. Asal Ibu tahu, Dian punya waktu
sendiri untuk berbuat sesuatu. Dian juga bisa belajar ataupun bermain, itu
suka-suka Dian. Jadi Ibu tak perlu ganggu kehidupan pribadi Dian, Bu. Karena
itu sama aja ada manfaatnya buat Dian.”
“Baik, terserah kamu apa yang akan kamu
lakukan. Ibu juga muak bicara dengan anak sepertimu. Satu-satunya harapan
buatmu adalah Ayah, karena Ayahlah yang bisa selesaikan masalah keluarga kita,
termasuk dirimu, Dian,” jelas Ibunya kesal dan kemudian tanpa berkata-kata Dian
pun pergi bersama Ayahnya.
Dian tak meremehkan apa yang dikatakan
oleh Ibunya. Baginya, ding dong adalah segalanya bagi Dian, dan juga ding dong
bisa menenangkan pikiran Dian.
Di tempat game ding dong, Dian memesan
500 rupiah untuk 2 jam. Menurutnya itu sudah menjadi waktu yang berharga untuk
Dian. Keahlian tangannya sudah menjadi keahliannya sekarang. Dan sekali-kali
dia memecahkan rekor menjadi pemenang pertama dalam bermain ding dong. Intinya,
Dian senang bisa main ding dong.
-----------------------
-=2016=-
Di markas tentara, Dian masih teringat
dengan main ding dong-nya. Bahkan dia masih saja menggerakkan tangannya seperti
main ding dong. Dian yang sekarang sudah berumur sangat matang yaitu 36 tahun
masih saja mengingat masa remajanya yang dipenuhi dengan main ding dong. Bahkan
hafalan tangannya saja masih ingat. Dia yang harusnya memerintah tentara
lainnya malahan teringat dengan masa kecil dan masa remajanya.
Tiba-tiba, dua orang tentara masuk di
markas untuk melaporkan sesuatu.
“Hormat, Pak Letnan!” seru dua orang itu
yang menghormati Pak Letnan Kolonel Dian Hermawan.
“Ya! Hormat! Apa ada terjadi sesuatu?”
“Ada dua tentara yang lari dari
pelatihan militer, Pak!”
“Siapa mereka yang lari? Kenapa mereka
lari?” tanya Dian sambil menyusul berdiri menghadap dua tentara yang melapor.
“Katanya mereka capek, merengek minta
pulang. Mengambil tas-nya dan lari.”
“Terus kenapa kalian diam saja? Kenapa
kalian membiarkan mereka lari? Haah?!!” Tiba-tiba, Dian naik darah mendengar
laporan dua tentara tersebut.
“Tapi, Pak. Kami sudah menghentikan
mereka, Pak. Tapi mereka malah bersikeras untuk lari, Pak. Apa yang harus kami
lakukan?”
“Tangkap mereka segera, dan bawa mereka
kesini. Saya akan marahi mereka yang sudah lari. Cepat! Ini perintah!”
“Baik. Siap, Pak Letnan!”
Dua tentara itu langsung cepat keluar
dari markas dan Dian menghela nafas karena sudah marah tadi dan langsung pergi
duduk kembali di tempat duduknya.
Di luar dekat pintu, tiba-tiba Dian
melihat orang tua renta sedang berdiri di jalanan. Entah apa yang diinginkan
orang tua itu, yang jelas orang tua itu kebingungan mencari sesuatu. Dengan
segera, Dian pun keluar dari markas dan keluar dari tempat itu dan segera
menghampiri orang tua itu. Karena Dian memakai baju tentara lengkap dengan
pangkat-pangkat di bahu dan sepatu tentara, orang tua itu tiba-tiba terkejut
dengan kedatangan tentara yang menghampirinya.
“Pak, boleh saya bantu? Kenapa Anda
kebingungan?” Dian merasa kasihan melihat orang tua yang renta itu sangat
kebingungan.
“Aduh, tak perlu, Nak. Bapak tak mau
dibantu oleh seorang tentara. Bapak tak mau,” orang tua itu memang sangat renta
bahkan cara bicaranya sedikit lambat.
“Tidak, Pak. Saya tidak menyakiti bapak,
kok. Cuman saya ingin membantu bapak. Tugas saya sebagai tentara juga menolong
orang lain. Tidak apa-apa, Pak.”
“Ooh, Bapak mau cari penjual nasi
bungkus, Nak. Tapi Bapak tak menemukannya. Boleh bantu bapak ini?”
“Tentu bisa, Pak. Saya akan carikan
penjual nasi bungkus. Boleh saya bantu bapak berjalan?”
Dian pun membantu orang tua renta itu
berjalan menuju warteg yang jaraknya dekat dari markas. Dian akhirnya menemukan
warteg yang menjual nasi bungkus. Segera, dia membelinya untuk bapak tua itu.
“Bu, saya ingin beli nasi bungkus itu.”
“Harganya 10 ribu, Dek.”
“Ini, Bu.” Segera, Dian menyodorkan uang
100 ribu pada Ibu penjual nasi bungkus.
“Tapi, uangnya banyak sekali. Apa tak
apa-apa kalau aku beri uang yang sedikit lusuh?”
“Tak apa, yang penting saya akan beli
nasi bungkus.”
“Baiklah.”
Dian pun duduk di samping bapak tua itu
dan menunggu nasi bungkus itu. Dan tak berapa lama, nasi bungkus pun datang dan
memberinya pada Dian. Dan selanjutnya, Dian memberikan nasi bungkus itu kepada
bapak tua renta.
“Makasih, Pak Tentara. Sudah menolong
Bapak. Semoga kamu bisa mengabdi Negara lebih baik lagi yah, Nak,” bapak tua
itu tiba-tiba terharu karena ditolong oleh tentara.
“Iya, Pak. Sama-sama. Anda tak perlu
hormat pada saya, karena itu keinginan saya untuk menolong.”
“Iya, Nak. Sekali lagi makasih Pak
Tentara.”
“Oh ya, dan juga...,” Dian memberikan
uang kembalian nasi bungkus kepada bapak tua itu.
“Aduh, tak usah, Nak. Tak apa.”
“Eey, ambil saja, Pak. Gak apa-apa.”
“Ohh, kalau begitu... Makasih ya Nak.”
“Iya, Pak. Sama-sama.”
Dian pun berlari pergi kembali ke markas
dengan sepatu tentara-nya yang sangat khas. Setelah kembali ke markas dan
kembali duduk di tempat duduknya, Dian sejenak memikirkan sesuatu. Si Bapak Tua
yang tadi ditolongnya, tiba-tiba teringat akan Ayahnya yang juga renta dan
kebingungan. Dan tiba-tiba dia menunduk menangis. Menangis teringat akan
Ayahnya di Bandung.
Tiba-tiba, dua tentara yang tadi itu
membawa dua tentara yang melarikan diri ke markas. Dian pun segera menghapus
air matanya.
“Hormat, Pak Letnan! Ini, kami sudah
menemukan tentara yang lari itu. Kalau begitu, kami pamit! Hormat!” Laporan
singkat dua tentara itu membuat Dian mengerti dan langsung bicara pada dua
tentara bermasalah itu.
“Baik, kalian duduk. Duduk! Ini perintah
Letnan!” seru Dian sambil menaruh kedua tangannya di belakang.
“Ahh, iya, Pak.”
“Aish, kalian ini. Kenapa kalian lari
seperti ini sih? Saya dengar lewat laporan kalau kalian merengek minta pulang.
Memang di sini Taman Kanak-Kanak? Kalian merengek kayak anak kecil? Di sini,
kami membutuhkan orang yang kuat, gagah, dan berani. Kalian memang tak pantas
jadi tentara seperti ini. Kalau kalian disuruh untuk bertugas ke Negara Konflik,
kalian mau kena tembak, lalu psikis kalian lemah?”
“Ti--tidak kok, Pak. Kami hanya ingin
beli rokok. Karena kami ingin beli rokok.”
“Apa? Kalian bilang rokok? Kalian masuk
tentara lalu kalian merokok? Wah, aku tak tahan melihat tentara seperti kalian
merokok. Apa kalian lolos tes kesehatan?”
“Maafkan kami, Pak. Kami pantas dihukum.”
“Oh, jadi kalian mau dihukum? Oke. Kalau
begitu, kalian lari keliling lapangan 100 kali. Ah tidak. Kalian lari 200 kali
karena melanggaar aturan umum markas tentara ini. Cepat!!”
“Ah, baiklah, Pak. Kami permisi,” dengan
buru-buru, tentara masalah itu langsung keluar dari markas, namun dihentikan
oleh Dian.
“Kalian mau kemana sih? Kalian tak punya
kehormatan sebagai tentara? Harusnya sebelum pergi, kalian harus hormat pada
pangkat yang lebih tinggi dari kalian.”
“Ah, maaf, Pak. Kalau begitu, kami
permisi. Hormat, Pak Letnan!” Setelah hormat, tentara-tentara itu kembali
keluar dari markas.
Dian kembali duduk di tempat duduknya
dan menadahkan kepalanya di meja. Lalu ada lagi tentara yang masuk di markas
tentara Dian. Kira-kira dia akan melaporkan sesuatu lagi pada Dian.
“Hormat, Pak Letnan! Ada sesuatu yang
ingin saya kasih ke Pak Letnan.”
“Apaan itu?”
“Ini, Pak,” sambil memberikan map hitam
pada Dian.
Dian pun membuka map hitam itu dan
melihat ada laporan bahwa dia akan menjalani tugas untuk pergi ke luar negeri.
Bukan liburan, tapi menjalankan tugas. Dia disuruh pergi ke Negara Berkonflik
untuk menuntaskan masalah di sana. Sebagai tentara berpangkat letnan kolonel,
dia harus ke sana bersama tentara lainnya.
------------------------
-=1995=-
Saat Dian pulang dari ekskul basket di
sekolahnya, dia tiba-tiba jatuh dari motornya saat dia mengendarai motor di
jalan. Dian sangat kesakitan karena jatuh dari motor. Tiba-tiba, seorang
tentara yang kebetulan lewat, langsung menolong Dian yang terluka.
“Kau tak apa-apa, dek?” tanya tentara
itu sambil mengeluarkan kotak P3K-nya dan langsung mengeluarkan betadine.
“Iya, pak tentara. Saya tak apa-apa.”
“Jangan banyak bergerak. Nanti lukamu
tambah banyak. Tunggu sebentar saja.”
Tentara itu sangat handal dalam
mengobati. Sampai-sampai, Dian terkagum melihat kelihaian tentara itu.
“Oke, sudah selesai. Sekarang, kamu
sudah diobati.”
“Makasih, pak tentara. Ehh, memangnya
itu keahlian Anda? Menolong orang lain?”
“Tugas kami sebagai tentara itu, tidak
hanya mengabdi Negara. Melainkan menolong orang lain. Tidak semua tentara itu
keras atau galak seperti yang Adek pikirkan. Tentara itu punya hati yang
lembut, dan selain itu, dia merelakan nyawa-nya untuk melindungi Negara.”
“Merelakan nyawa? Maksudnya?”
“Biasanya para tentara itu ditugaskan
untuk pergi ke Negara Berkonflik. Dan biasanya ada perang perlawanan. Biasanya
masalah muncul karena konflik perdamaian yang belum selesai. Jadi para tentara
di Indonesia ditugaskan untuk kesana supaya ada perjanjian perdamaian.”
“Jadi, tentara itu harus terluka?”
“Hmm, bisa harus bisa juga tidak. Karena
tentara lainnya juga melawan dan butuh senjata yang lengkap untuk menggugurkan
sesuatu. Jadi, tentara Indonesia biasanya gugur di medan perang. Dan
negara-negara konflik lainnya mungkin masih banyak. Tentara Indonesia pasti ada
yang gugur lagi. Yah, seperti itu.”
“Ohh, begitu. Terus, itu tangannya
kenapa? Kok terluka?”
“Ah, ini saat aku pergi ke Negara
Konflik Lebanon dan aku terluka. Tapi aku tak merasakan apa-apa. Meskipun aku
dibalut perban, tapi sebagai tentara, badan adalah perisai. Tapi kalau kamu cita-cita
menjadi tentara, kamu harus punya fisik yang kuat untuk itu. Dan siap siaga
jika kamu kena luka tembak atau jika kamu mati di tengah perang.”
“Semoga saja. Sekali lagi, makasih ya
pak tentara sudah menolongku.”
“Iya, sama-sama. Tapi kamu tak perlu
menghormatiku, karena itu khusus bagi yang sudah masuk tentara saja.”
“Tak mau, karena aku tak enak ditolong
oleh tentara lalu aku tak hormat. Tapi, pangkat Anda apa ya?”
“Pangkatku adalah Letnan Kolonel.”
“Hehe, kalau begitu, hormat pada pak
Letnan!” seru Dian sambil hormat pada tentara itu.
“Hehehe, makasih yah. Namamu siapa?”
“Namaku Dian Hermawan. Hormat!” Dian
sekali lagi hormat pada tentara itu.
“Hormat!” Pak tentara pun berbalik
hormat pada Dian.
-----------------------
-=2016=-
Dian teringat akan pesan tentara yang
sudah menolongnya 21 tahun yang lalu. Dia harus siap siaga dalam menjalani hal
apapun, karena dia adalah tentara berpangkat Letnan Kolonel.
“Itu adalah laporan untuk operasi
gabungan tentara, dan Anda sebagai Letnan Kolonel harus mengontrol dan juga
mempersiapkan banyak senjata untuk kita nanti.”
“Baik, aku akan melakukannya.”
“Kalau begitu, laporan selesai. Hormat,
Pak Letnan!” Kemudian tentara itu pun pergi.
Dian awalnya ragu-ragu untuk pergi.
Namun, dia tidak boleh menundanya begitu saja. Karena itulah tugas sebagai
seorang tentara. Dia harus melakukan ini demi orang tuanya di Bandung.
Dian harus rela meninggalkan istri dan
anaknya di Indonesia demi menjalankan misi, dan juga orang tuanya yang renta di
Bandung. Mampukah Dian bisa kembali ke Indonesia tanpa ada luka sekalipun?
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar