BAGIAN DUA BELAS
*
* *
-=2013=-
Dian dan Farah pindah ke rumah yang
baru, rumah yang sangat elit. Rumah yang dulu mereka tinggali tidak ingin
dijual, tapi sebagai hadiah untuk orang tersayangnya. Entah kenapa Dian ingin
menghadiahi rumahnya yang dulu kepada orang tersayangnya, yang jelas itu
sebagai permohonan maaf baginya.
Karena Farah sedang hamil, maka Dian-lah
yang mengurus semua barang-barang rumahan dan juga barang konsumsi mereka. Dian
sangat gagah jika mengangkat barang-barang. Bahkan keringat yang bercucuran
pun, Dian masih nampak gagah. Karena Dian adalah seorang prajurit, jadi tentu
dia akan kuat dalam segala hal.
Saat sudah mengangkat barang, Dian dan
Farah sedang makan mie kuah. Mereka sangat menikmati makanan mie kuah itu,
bahkan tak peduli capeknya, Dian tetap makan.
Farah pun tiba-tiba membuka obrolan, dan
membahas tentang kehamilannya sekarang ini.
“Eh, Mas Dian. Karena perutku sudah
hampir membesar, harusnya Mas menjagaku di sela-sela kehamilanku ini. Jadilah
suami siaga untukku. Ya?”
“Tapi... aku punya banyak sekali tugas
militer yang harus aku lakukan. Dan aku tidak bisa minta cuti begitu saja oleh
pak Komandan. Nanti aku dikira tentara lemah yang hanya mementingkan
keluarganya.”
“Tapi, kalau misal anak kita akan lahir,
dan Mas sedang melakukan tugas, apa yang harus aku lakukan?”
“Aku akan usahakan untuk datang
menemanimu bersalin. Kalau bisa, aku akan panggil Ayahku untuk meng-adzani
bayiku jika aku tidak bisa datang. Kalau bukan aku, Ayahku yang menemanimu bersalin.”
“Ohh, baiklah. Aku juga tidak bisa
marah-marah karena aku mungkin melanggar aturan. Masa aku harus marah di depan
seorang prajurit Mayor?”
“Iya juga. Sekarang, kau minum saja.
Semoga kelahiran bayi kita lancar nantinya. Oke?” Dian menyodorkan gelasnya
pada Farah.
“Oke!” Farah membalas sodoran gelas
Dian.
Dian dan Farah pun melanjutkan kembali
makan mie kuahnya, dan mereka saling tersenyum satu sama lain.
---------------------------
-=2016=-
Pak Hermawan, Ayah Dian, sudah sampai di
Jakarta dan langsung menginap di rumah elit Dian dan Farah. Bersama dengan Ibu
Dian yang bernama Ibu Widya Irawati, mereka pun masuk ke rumah elit Dian. Rumah
ini sedang kosong sekarang karena Farah sedang ada tugas di rumah sakit. Kunci
cadangan rumah ini sengaja diberikan kepada Pak Hermawan supaya kalau
berkunjung lalu tidak ada orang, maka kunci cadangan ini bisa dipakai oleh Pak
Hermawan.
Pak Hermawan pun duduk di ruang utama
sambil meminum air dingin yang ada di depannya. Pak Hermawan pun mengingat lagi
tentang kenangan berharga yang dimilikinya bersama anak tercintanya, Dian
Hermawan.
---------------------------
-=2013=-
Saat Farah sedang menjalani yoga khusus
ibu hamil di sebuah gym tempat pusat perbelanjaan, Dian sedang menunggu di luar
sambil melamun. Berhubung pula Dian sedang memakai baju dinas tentara-nya. Dian
sangat bosan di luar, dan yang dilakukannya hanyalah memegang topi tentaranya
lalu dipukulnya dengan tangannya.
Sesaat setelah itu, Pak Hermawan yang
kebetulan membeli makanan nasi campur, melihat anaknya sedang melamun tidak
jelas di halaman depan pusat perbelanjaan. Pak Hermawan pun menghampiri anaknya
dan langsung mengagetin anaknya yang sedang melamun.
“Hei, Nak! Sedang apa di situ? Nanti
kalau melamun, kerasukan setan lagi.”
“Ahh, Ayah. Malah ngagetin Dian segala.”
“Istrimu di mana?”
“Oh, Farah sedang menjalani yoga di
dalam. Dan para suami ibu-ibu hamil sedang memperhatikan istrinya di dalam.”
“Terus kenapa Dian tidak masuk saja di
dalam?”
“Malu, Ayah. Masa aku harus pakai baju dinas
untuk menemani Farah?” katanya sambil memonyongkan bibirnya.
“Masa tentara gagah harus malu? Sebagai
suami itu harusnya menemani istrinya melakukan sesuatu. Masa harus diluar
melamun tidak jelas?”
“Ehh? Memangnya Dian melamun, Ayah?”
tanya Dian menghadapkan wajahnya pada Ayahnya, tidak sadar.
“Aduh, anak Ayah ini tidak sadar, ya?
Tadi Dian melamun lho. Ah, dasar anak Ayah. Masih sama seperti dulu.”
“Oh ya? Sepertinya sifat Dian belum
ber-metamorfosis. Tapi, Ayah bawa apa apa itu?” Dian melihat kotak makan yang
dibawa oleh Ayahnya.
“Oh, yang ini? Ayah sengaja beli nasi
campur pedas 2 porsi, nasi campur biasa 1 porsi.”
“Terus, yang pedas itu?”
“Ini punya Ayah, dan ini punya Dian. Kita
makannya sekarang, takut basi nanti,” ucap Pak Hermawan sambil memberikan
sekotak nasi campur pada Dian.
“Wah, kayaknya enak nih, Ayah.”
“Eitt, jangan lupa juga. Minumannya,
Ayah berikan untukmu.” Pak Hermawan tak lupa memberikan minuman teh dingin pada
Dian.
“Ah, makasih, Ayah. Ini ada sendoknya di
dalam?”
“Ada dong, ada. Coba buka.”
Dian pun membuka kotak makan itu, begitupun
dengan Pak Hermawan, juga membuka kotak makannya. Di kotak makan itu sudah
tersedia nasi, ayam goreng, daging, sayuran, lauk pauk, dan tentu saja ayamnya
adalah ayam rica-rica, yang membuat orang-orang yang memakannya menjadi
kepedasan.
“Yuk, kita makan. Ayah beli ini khusus
untukmu.”
“Tapi, tak apa kalau kita makan di
sini?”
“Tentu dong. Ayah juga kelaparan, jadi kita
makan di sini. Khusus untuk Dian, ayamnya yang paling pedas. Ini Ayah pilih lho
untukmu.”
“Hahaha, iya, Ayah. Ini makanan kesukaan
Dian. Baik, Dian akan memakannya. Rasanya sangat enak ini.”
Dian pun akhirnya memakan nasi campur
itu dengan senang hati. Dian makan bersama dengan Ayahnya. Dian kembali seperti
dulu lagi, menjadi seorang kanak-kanak. Tanpa memikirkan kesalahannya pada
Ayahnya, Dian tetap gembira bersama dengan Ayahnya.
-------------------------
-=2016=-
Kini tinggal menyisakan sebuah kenangan.
Pak Hermawan masih terus mengingat kenangan berharganya dengan Dian. Pak
Hermawan juga belum mendapatkan kabar tentang Dian, apakah dia ditemukan dalam
keadaan hidup atau ditemukan dalam keadaan mati?
Dan tiba-tiba, terdengar bunyi ponsel
Pak Hermawan. Mungkin itu dari kabar orang-orang yang ada di Suriah. Mereka adalah
orang-orang yang terlibat dalam pencarian Dian dan Sersan Irdan. Pak Hermawan
pun mengangkat telepon itu dan langsung menyapa.
“Halo? Apa kalian sudah menemukannya?
Bagaimana keadaan Dian? Apa dia baik-baik sajakah?” Pak Hermawan langsung saja
buru-buru mengatakan tentang keadaan Dian.
“Ah,
mohon maaf ini, Pak. Sebenarnya kami belum menemukannya, tapi nomor teleponnya
dilacak oleh GPS.”
“Apa? Maksudnya apa ini, GPS?” Pak
Hermawan tidak mengerti tentang yang dibilang oleh orang-orang di Suriah.
“Maksudnya
GPS itu, Pak, sistem navigasi untuk melacak seseorang. Biasanya di monitor akan
terlacak seseorang yang akan kita cari di suatu tempat dan akan ditemukan
seseorang itu lewat monitor. Dan sekarang kami sudah menemukannya.”
“Di mana dia?”
“Oh
sekarang dia...” Tiba-tiba orang itu berhenti bicara dan berpindah bahas
yang lain.
“Ehh, apa?”
“Oh,
maaf Pak. Saya sedang ada urusan. Nanti saya telepon balik. Oke? Dah!”
Pak Hermawan pun menaruh kembali
ponselnya sambil mengeluh resah menanti kabar dari anaknya, Dian.
-------------------------
Sementara itu tiba-tiba saja ada seorang
prajurit yang muncul dari rawa-rawa, yang jelas bukan Dian yang dicari
orang-orang, bukan juga Sersan Irdan. Prajurit ini tiba-tiba saja datang dan
langsung pergi ke kamp dengan jalan yang pincang-pincang. Prajurit terluka ini
orangnya sangat tampan melebihi Dian dan Sersan Irdan. Mungkinkah prajurit ini
juga menjadi korban ledakan dari operasi militer yang dilakukan Dian dan Sersan
Irdan?
Sersan Raka melihat prajurit itu berjalan
dalam keadaan pincang-pincang. Sersan Raka pun langsung menanyakan keadaan
prajurit itu.
“Hei, kau baik-baik saja? Kenapa terluka
begini?”
“Tadi saat ledakan terjadi, aku
terlempar dan kakiku jadi terpincang-pincang. Lalu dadaku hampir saja terluka
karena tembakan tadi, yah jadinya aku sembunyi di rawa-rawa. Supaya aku bisa
sedikit menenangkan diriku.”
“Lho, kok bisa gitu?”
“Tak tahu, tadi aku bersandar di mobil
itu. Tak lama ada Sersan Irdan yang menolongku. Aku setengah sadar juga.”
“Terus, Sersan Irdan gimana?”
“Tak tahulah. Ehh, cepat bawa aku ke
Medicube. Aku ingin diobati di sana.” Prajurit itu menyuruh Sersan Raka untuk
dibawa ke Medicube untuk dirawat di sana, karena kakinya yang penuh luka.
Sesampainya di Medicube, prajurit itu
langsung mendapatkan perawatan dengan kakinya. Lalu Sersan Raka pun menunggu
sampai prajurit itu selesai diobati.
------------------------
Pak Hermawan masih saja melamun seperti
biasanya. Ibu Widya yang melihat ekspresi Pak Hermawan pun langsung saja
menyajikan teh hangat untuk Pak Hermawan dan langsung duduk di samping
suaminya.
“Pak, sudahlah. Jangan selalu mikirkan
Dian. Mereka sedang berusaha untuk mencarinya. Jadi tunggulah sebentar lagi
kabar selanjutnya. Oke, Pak?”
“Hahh, baiklah, Bu.”
Pak Hermawan pun kembali melamun seperti
biasanya, dan ponsel Pak Hermawan kembali berbunyi. Mungkin mereka sudah
menemukannya. Langsung saja, Pak Hermawan mengangkat ponselnya dan menyapa
mereka lagi.
“Halo? Apa Anda sudah menemukannya?”
tanya Pak Hermawan lewat telepon. Mereka menjawabnya, dan Pak Hermawan hanya
mengangguk mengerti.
------------------------
Sementara itu, prajurit yang sudah
diobati kakinya langsung mengeluarkan sebuah foto yang menggambarkan dirinya
bersama dengan sang Ayah. Prajurit itu bukan Dian, melainkan seorang prajurit
yang kebetulan ditugaskan di Suriah.
“Aku merindukanmu, Ayah.” Hanya itu yang
bisa diucapkan oleh prajurit itu.
Prajurit itu hanya bisa mengelus-elus
foto itu sambil sedikit berkaca-kaca, dan kita bisa lihat kaki prajurit itu
di-gips karena luka tembakan dan luka ledakan.
Sementara itu, Pak Hermawan hanya bisa
terdiam setelah mendengar kabar dari telepon yang diterimanya. Akankah kabar
yang diterima Pak Hermawan adalah kabar yang baik? Atau justru mendapatkan
kabar yang tidak diinginkan Pak Hermawan?
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar