Jumat, 01 Juli 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 12



BAGIAN DUA BELAS

* * *

-=2013=-

Dian dan Farah pindah ke rumah yang baru, rumah yang sangat elit. Rumah yang dulu mereka tinggali tidak ingin dijual, tapi sebagai hadiah untuk orang tersayangnya. Entah kenapa Dian ingin menghadiahi rumahnya yang dulu kepada orang tersayangnya, yang jelas itu sebagai permohonan maaf baginya.

Karena Farah sedang hamil, maka Dian-lah yang mengurus semua barang-barang rumahan dan juga barang konsumsi mereka. Dian sangat gagah jika mengangkat barang-barang. Bahkan keringat yang bercucuran pun, Dian masih nampak gagah. Karena Dian adalah seorang prajurit, jadi tentu dia akan kuat dalam segala hal.

Saat sudah mengangkat barang, Dian dan Farah sedang makan mie kuah. Mereka sangat menikmati makanan mie kuah itu, bahkan tak peduli capeknya, Dian tetap makan.

Farah pun tiba-tiba membuka obrolan, dan membahas tentang kehamilannya sekarang ini.

“Eh, Mas Dian. Karena perutku sudah hampir membesar, harusnya Mas menjagaku di sela-sela kehamilanku ini. Jadilah suami siaga untukku. Ya?”

“Tapi... aku punya banyak sekali tugas militer yang harus aku lakukan. Dan aku tidak bisa minta cuti begitu saja oleh pak Komandan. Nanti aku dikira tentara lemah yang hanya mementingkan keluarganya.”

“Tapi, kalau misal anak kita akan lahir, dan Mas sedang melakukan tugas, apa yang harus aku lakukan?”

“Aku akan usahakan untuk datang menemanimu bersalin. Kalau bisa, aku akan panggil Ayahku untuk meng-adzani bayiku jika aku tidak bisa datang. Kalau bukan aku, Ayahku yang menemanimu bersalin.”

“Ohh, baiklah. Aku juga tidak bisa marah-marah karena aku mungkin melanggar aturan. Masa aku harus marah di depan seorang prajurit Mayor?”

“Iya juga. Sekarang, kau minum saja. Semoga kelahiran bayi kita lancar nantinya. Oke?” Dian menyodorkan gelasnya pada Farah.

“Oke!” Farah membalas sodoran gelas Dian.

Dian dan Farah pun melanjutkan kembali makan mie kuahnya, dan mereka saling tersenyum satu sama lain.

---------------------------

-=2016=-

Pak Hermawan, Ayah Dian, sudah sampai di Jakarta dan langsung menginap di rumah elit Dian dan Farah. Bersama dengan Ibu Dian yang bernama Ibu Widya Irawati, mereka pun masuk ke rumah elit Dian. Rumah ini sedang kosong sekarang karena Farah sedang ada tugas di rumah sakit. Kunci cadangan rumah ini sengaja diberikan kepada Pak Hermawan supaya kalau berkunjung lalu tidak ada orang, maka kunci cadangan ini bisa dipakai oleh Pak Hermawan.

Pak Hermawan pun duduk di ruang utama sambil meminum air dingin yang ada di depannya. Pak Hermawan pun mengingat lagi tentang kenangan berharga yang dimilikinya bersama anak tercintanya, Dian Hermawan.

---------------------------

-=2013=-

Saat Farah sedang menjalani yoga khusus ibu hamil di sebuah gym tempat pusat perbelanjaan, Dian sedang menunggu di luar sambil melamun. Berhubung pula Dian sedang memakai baju dinas tentara-nya. Dian sangat bosan di luar, dan yang dilakukannya hanyalah memegang topi tentaranya lalu dipukulnya dengan tangannya.

Sesaat setelah itu, Pak Hermawan yang kebetulan membeli makanan nasi campur, melihat anaknya sedang melamun tidak jelas di halaman depan pusat perbelanjaan. Pak Hermawan pun menghampiri anaknya dan langsung mengagetin anaknya yang sedang melamun.

“Hei, Nak! Sedang apa di situ? Nanti kalau melamun, kerasukan setan lagi.”

“Ahh, Ayah. Malah ngagetin Dian segala.”

“Istrimu di mana?”

“Oh, Farah sedang menjalani yoga di dalam. Dan para suami ibu-ibu hamil sedang memperhatikan istrinya di dalam.”

“Terus kenapa Dian tidak masuk saja di dalam?”

“Malu, Ayah. Masa aku harus pakai baju dinas untuk menemani Farah?” katanya sambil memonyongkan bibirnya.

“Masa tentara gagah harus malu? Sebagai suami itu harusnya menemani istrinya melakukan sesuatu. Masa harus diluar melamun tidak jelas?”

“Ehh? Memangnya Dian melamun, Ayah?” tanya Dian menghadapkan wajahnya pada Ayahnya, tidak sadar.

“Aduh, anak Ayah ini tidak sadar, ya? Tadi Dian melamun lho. Ah, dasar anak Ayah. Masih sama seperti dulu.”

“Oh ya? Sepertinya sifat Dian belum ber-metamorfosis. Tapi, Ayah bawa apa apa itu?” Dian melihat kotak makan yang dibawa oleh Ayahnya.

“Oh, yang ini? Ayah sengaja beli nasi campur pedas 2 porsi, nasi campur biasa 1 porsi.”

“Terus, yang pedas itu?”

“Ini punya Ayah, dan ini punya Dian. Kita makannya sekarang, takut basi nanti,” ucap Pak Hermawan sambil memberikan sekotak nasi campur pada Dian.

“Wah, kayaknya enak nih, Ayah.”

“Eitt, jangan lupa juga. Minumannya, Ayah berikan untukmu.” Pak Hermawan tak lupa memberikan minuman teh dingin pada Dian.

“Ah, makasih, Ayah. Ini ada sendoknya di dalam?”

“Ada dong, ada. Coba buka.”

Dian pun membuka kotak makan itu, begitupun dengan Pak Hermawan, juga membuka kotak makannya. Di kotak makan itu sudah tersedia nasi, ayam goreng, daging, sayuran, lauk pauk, dan tentu saja ayamnya adalah ayam rica-rica, yang membuat orang-orang yang memakannya menjadi kepedasan.

“Yuk, kita makan. Ayah beli ini khusus untukmu.”

“Tapi, tak apa kalau kita makan di sini?”

“Tentu dong. Ayah juga kelaparan, jadi kita makan di sini. Khusus untuk Dian, ayamnya yang paling pedas. Ini Ayah pilih lho untukmu.”

“Hahaha, iya, Ayah. Ini makanan kesukaan Dian. Baik, Dian akan memakannya. Rasanya sangat enak ini.”

Dian pun akhirnya memakan nasi campur itu dengan senang hati. Dian makan bersama dengan Ayahnya. Dian kembali seperti dulu lagi, menjadi seorang kanak-kanak. Tanpa memikirkan kesalahannya pada Ayahnya, Dian tetap gembira bersama dengan Ayahnya.

-------------------------

-=2016=-

Kini tinggal menyisakan sebuah kenangan. Pak Hermawan masih terus mengingat kenangan berharganya dengan Dian. Pak Hermawan juga belum mendapatkan kabar tentang Dian, apakah dia ditemukan dalam keadaan hidup atau ditemukan dalam keadaan mati?

Dan tiba-tiba, terdengar bunyi ponsel Pak Hermawan. Mungkin itu dari kabar orang-orang yang ada di Suriah. Mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam pencarian Dian dan Sersan Irdan. Pak Hermawan pun mengangkat telepon itu dan langsung menyapa.

“Halo? Apa kalian sudah menemukannya? Bagaimana keadaan Dian? Apa dia baik-baik sajakah?” Pak Hermawan langsung saja buru-buru mengatakan tentang keadaan Dian.

Ah, mohon maaf ini, Pak. Sebenarnya kami belum menemukannya, tapi nomor teleponnya dilacak oleh GPS.”

“Apa? Maksudnya apa ini, GPS?” Pak Hermawan tidak mengerti tentang yang dibilang oleh orang-orang di Suriah.

Maksudnya GPS itu, Pak, sistem navigasi untuk melacak seseorang. Biasanya di monitor akan terlacak seseorang yang akan kita cari di suatu tempat dan akan ditemukan seseorang itu lewat monitor. Dan sekarang kami sudah menemukannya.”

“Di mana dia?”

Oh sekarang dia...” Tiba-tiba orang itu berhenti bicara dan berpindah bahas yang lain.

“Ehh, apa?”

Oh, maaf Pak. Saya sedang ada urusan. Nanti saya telepon balik. Oke? Dah!

Pak Hermawan pun menaruh kembali ponselnya sambil mengeluh resah menanti kabar dari anaknya, Dian.

-------------------------

Sementara itu tiba-tiba saja ada seorang prajurit yang muncul dari rawa-rawa, yang jelas bukan Dian yang dicari orang-orang, bukan juga Sersan Irdan. Prajurit ini tiba-tiba saja datang dan langsung pergi ke kamp dengan jalan yang pincang-pincang. Prajurit terluka ini orangnya sangat tampan melebihi Dian dan Sersan Irdan. Mungkinkah prajurit ini juga menjadi korban ledakan dari operasi militer yang dilakukan Dian dan Sersan Irdan?

Sersan Raka melihat prajurit itu berjalan dalam keadaan pincang-pincang. Sersan Raka pun langsung menanyakan keadaan prajurit itu.

“Hei, kau baik-baik saja? Kenapa terluka begini?”

“Tadi saat ledakan terjadi, aku terlempar dan kakiku jadi terpincang-pincang. Lalu dadaku hampir saja terluka karena tembakan tadi, yah jadinya aku sembunyi di rawa-rawa. Supaya aku bisa sedikit menenangkan diriku.”

“Lho, kok bisa gitu?”

“Tak tahu, tadi aku bersandar di mobil itu. Tak lama ada Sersan Irdan yang menolongku. Aku setengah sadar juga.”

“Terus, Sersan Irdan gimana?”

“Tak tahulah. Ehh, cepat bawa aku ke Medicube. Aku ingin diobati di sana.” Prajurit itu menyuruh Sersan Raka untuk dibawa ke Medicube untuk dirawat di sana, karena kakinya yang penuh luka.

Sesampainya di Medicube, prajurit itu langsung mendapatkan perawatan dengan kakinya. Lalu Sersan Raka pun menunggu sampai prajurit itu selesai diobati.

------------------------

Pak Hermawan masih saja melamun seperti biasanya. Ibu Widya yang melihat ekspresi Pak Hermawan pun langsung saja menyajikan teh hangat untuk Pak Hermawan dan langsung duduk di samping suaminya.

“Pak, sudahlah. Jangan selalu mikirkan Dian. Mereka sedang berusaha untuk mencarinya. Jadi tunggulah sebentar lagi kabar selanjutnya. Oke, Pak?”

“Hahh, baiklah, Bu.”

Pak Hermawan pun kembali melamun seperti biasanya, dan ponsel Pak Hermawan kembali berbunyi. Mungkin mereka sudah menemukannya. Langsung saja, Pak Hermawan mengangkat ponselnya dan menyapa mereka lagi.

“Halo? Apa Anda sudah menemukannya?” tanya Pak Hermawan lewat telepon. Mereka menjawabnya, dan Pak Hermawan hanya mengangguk mengerti.

------------------------

Sementara itu, prajurit yang sudah diobati kakinya langsung mengeluarkan sebuah foto yang menggambarkan dirinya bersama dengan sang Ayah. Prajurit itu bukan Dian, melainkan seorang prajurit yang kebetulan ditugaskan di Suriah.

“Aku merindukanmu, Ayah.” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh prajurit itu.

Prajurit itu hanya bisa mengelus-elus foto itu sambil sedikit berkaca-kaca, dan kita bisa lihat kaki prajurit itu di-gips karena luka tembakan dan luka ledakan.

Sementara itu, Pak Hermawan hanya bisa terdiam setelah mendengar kabar dari telepon yang diterimanya. Akankah kabar yang diterima Pak Hermawan adalah kabar yang baik? Atau justru mendapatkan kabar yang tidak diinginkan Pak Hermawan?

BERSAMBUNG






Tidak ada komentar:

Posting Komentar