BAGIAN TIGA BELAS
*
* *
-=2016=-
“Halo? Apa Anda sudah menemukannya?”
tanya Pak Hermawan lewat telepon.
“Uhh,
maaf sekali ini, Pak. Kami sudah menemukannya, namun sayang sekali, Pak. Dian
Hermawan sudah ditemukan dalam keadaan mati,” ucapnya sedikit mendesah di
telepon.
“A--Apa? Maksud Anda itu apa?” Pak
Hermawan menyuruh mereka untuk mengulanginya.
“Kami
udah dari tadi menemukannya, begitu pula dengan Sersan Irdan. Dia juga mati,
sama seperti Dian.”
“Jadi, rencananya apa? Apa jenazah anak
saya akan dibawa ke Indonesia?” tanya Pak Hermawan sedikit lantang.
“Tidak,
Pak. Justru Pak Hermawan dan Ibu Widya harus pergi ke Suriah untuk menjemput
jenazah anak Bapak. Sekalian Bapak harus memberi hormat pada anak Bapak.”
“Terus, saya harus naik apa?”
“Uhh,
nanti pesawat khusus akan membawa Bapak dan Ibu untuk pergi ke Suriah. Bapak
tinggal pergi ke Bandara Halim Perdanakusuma. Nanti Bapak akan dijemput di
situ.”
“Apa gratis itu?”
“Iya,
Pak. Itu khusus untuk Bapak dan Ibu. Jadi tak usah khawatir dengan biaya-nya.
Karena kami yang tanggung.”
“Jadi, kapan berangkatnya?”
“Besok
pagi, Bapak harus berangkat. Karena jam 8, pesawat sudah akan berangkat.”
“Oh, baiklah.”
“Ehh,
Bapak yang sabar yah. Semoga Bapak bisa menerima semuanya.” ucap Pak Sersan
yang juga turut ikut berbela sungkawa.
“Baik. Makasih, karena sudah menemukan
anak saya.”
“Iya,
Pak. Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi.”
Pak Hermawan yang tadinya agak baikan,
sekarang menjadi lesu kembali. Pak Hermawan rupanya tidak menerima dengan
kejadian ini, Dian Hermawan benar-benar mati saat operasi militer.
Pak Hermawan hanya bisa duduk menyamping
sambil melamun tak jelas di rumah Dian. Ibu Widya tidak tahu kenapa Pak
Hermawan melamun lagi. Ibu Widya mencoba menyajikan teh hangat lagi untuk Pak
Hermawan, agar Pak Hermawan dapat kembali bersemangat.
“Kenapa lagi sih, Pak? Harusnya Bapak
tak perlu mengeluh seperti itu. Dian pasti baik-baik saja. Tenang.”
“Bu, besok kita ke Suriah.”
“Kenapa, Pak?”
“Karena... Dian... ditemukan meninggal.”
“A--apa? Maksud Bapak apa?”
“Artinya, Dian udah meninggal. Dian udah
mati,” ucap Pak Hermawan sedikit berkaca-kaca.
Sejenak, Ibu Widya menampakkan wajah
tidak percaya. Ibu Widya tidak percaya bahwa anak lelaki kesayangannya itu
sudah pergi untuk selama-lamanya. Ibu Widya pun akhirnya meneteskan air matanya
dan menangis. Pak Hermawan hanya bisa memperhatikan istrinya menangis, dan juga
sambil berkaca-kaca pula.
------------------------------
Keesokan harinya, Pak Hermawan dan Ibu
Widya sudah berada di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menunggu pesawat khusus
yang akan membawa mereka ke Suriah. Istri Dian, Farah juga ikut. Namun tidak
ikut dalam pesawat khusus, melainkan ikut dalam pesawat reguler.
Pak Hermawan dan Ibu Widya masih
menunggu kedatangan pesawat khusus. Dan hingga akhirnya, suara pesawat yang
nyaring pun datang ke perlintasan bandara. Pak Hermawan pun bangkit dan melihat
pesawat itu memarkirkan pesawatnya di perlintasan bandara, dan di dalam pesawat
itu keluarlah Sersan Yanuar yang bertugas untuk menjemput keluarga dari korban
ledakan.
“Ah, selamat pagi, Pak. Anda dari tadi
menunggu?” sapanya sambil mengambil koper Pak Hermawan dan Ibu Widya.
“Iya, Pak Sersan.”
“Anda bisa langsung naik pesawat, biar
saya yang bawa koper Anda.”
“Baiklah.”
Pak Hermawan dan Ibu Widya berjalan
menuju pesawat dan langsung masuk ke dalam pesawat khusus.
Sementara Farah, sedang berada di
bandara Soekarno-Hatta untuk naik pesawat menuju Suriah. Walaupun agak mahal
tiketnya, tapi ini demi suaminya. Baru pertama kali Farah pergi ke luar negeri,
apalagi ke Suriah. Dalam keadaan hamil pula. Farah pun langsung masuk ke dalam
pintu keberangkatan sambil berkaca-kaca, menerima keadaan ini.
---------------------------------
Setelah beberapa jam mendarat dari
Jakarta ke Suriah, akhirnya Pak Hermawan dan Ibu Widya pun sampai di bandara
Suriah. Dengan kawalan ketat dari militer Indonesia, Pak Hermawan dan Ibu Widya
berjalan menuju tenda yang disiapkan oleh tim dari Dian. Pak Hermawan pun
disambut oleh beberapa prajurit yang menyambut kedatangan keluarga korban.
“Oh, Anda sudah datang? Kami akan
membawa Anda ke kamp kami, karena di sanalah Dian bertugas.” sapa Sersan Ferdi
yang menyambut Pak Hermawan.
“Bukannya suara Anda yang selalu
menelepon? Sangat familiar dengan suaranya.” Pak Hermawan menebak suara yang
selalu dia telepon saat ingin mendapat kabar.
“Ahh, iya. Saya itu yang menelepon. Oh,
kalau begitu, Anda langsung masuk ke mobil. Anda akan dibawa ke kamp. Ayo, ayo,”
ajak Sersan Ferdi menuju ke mobil.
Pak Hermawan dan Ibu Widya pun langsung
masuk ke mobil untuk pergi ke kamp militer dari markas tempat Dian bertugas.
Lalu saat mereka pergi, Farah dan
anaknya langsung juga disambut oleh teman Sersan Ferdi dan pergi juga ke kamp
militer.
Sesampainya di kamp militer, suasana di
sana masih seperti biasanya. Tujuan mereka pergi ke Suriah hanya ingin
menjemput jenazah Dian yang rencananya akan datang 2 jam lagi. Pak Hermawan pun
ditempatkan ke dalam kamp yang juga mirip penginapan. Dari kabar sementara,
jenazah Dian sekarang ini baru ditemukan dan akan dibawa kembali kepada
keluarga.
Di kamp militer, sudah dipasangi sebuah
tenda untuk menyambut kedatangan jenazah Dian. Farah akhirnya sampai di kamp
militer, di sela-sela pemasangan tenda. Dia tidak mengkhawatirkan anaknya yang
berumur 3 tahun, karena anaknya dititipkan pada kakak Dian.
Saat Farah masuk di wilayah, Pak
Hermawan terkejut melihat Farah pergi juga ke Suriah.
“Lho, Farah? Kenapa pergi juga ke
Suriah? Apa kamu tahu juga bahwa Dian sudah meninggal?”
“Tahu, Ayah Mertua. Aku juga ingin
menjemput jenazah Dian. Dalam 2 jam lagi akan sampai, bukan?”
“Iya. Nanti kalau ada mobil yang besar
datang, kamu jangan menangis. Yang kuatlah melihat jenazah Dian.”
“I--iya, Ayah Mertua.”
Dan tak berapa lama, para prajurit
bintara membawa masuk foto Dian dan menaruhnya di dalam suatu ruangan di mana
itu adalah tempat untuk berziarah. Foto Dian ditaruh di tengah-tengah karangan
bunga dan juga sebuah lilin dan jamuan untuk menghormati prajurit yang sudah
meninggal, dan juga tak lupa ditaruh topi militer di samping foto Dian dan
tanda pangkat 2 melati emas.
Pak Hermawan pun duluan masuk untuk
menziarahi pusara anaknya. Pak Hermawan menaruh bunga krisan di pusara anaknya.
Bunga krisan berwarna putih itupun menjadi lambang kehormatan bagi Pak Hermawan
untuk anaknya. Pak Hermawan tentu sangat sedih harus kehilangan anak
berharganya yang sangat gagah dan tangguh.
Pak Hermawan kemudian berdoa di depan
pusara anaknya, lalu giliran Ibu Widya dan Farah yang menaruh bunga krisan di
depan pusara Dian Hermawan.
---------------------------
Setelah berdoa, para prajurit bintara
kemudian menyiapkan makan untuk mengurus tamu yang akan datang nantinya.
Berhubung juga sudah 2 jam, sudah saatnya jenazah Dian akan datang. Pak
Hermawan dan juga semuanya, sedang menantikan jenazah Dian. Farah sudah
menyiapkan mentalnya untuk menantikan kedatangan jenazah Dian.
Farah kemudian sedikit mengecek
ponselnya untuk sekadar melihat aplikasi pesan LINE dari suaminya. Terakhir
kali, Farah mengirim pesan pada Dian pada bulan April lalu. Isi pesannya adalah
“Tunggu
oleh-oleh darimu, Mas. Belilah makanan buatku dan juga buat anak kita. Dan juga
untuk Ayah Mertua.” Begitulah isi pesannya, namun tidak terbaca oleh Dian.
Farah kemudian berpikir apakah pesannya
bisa dibaca, meskipun orang lain menemukan ponsel Dian? Untuk membuktikannya,
Farah mengirim pesan pada Dian, walaupun dia tahu kalau Dian sudah meninggal
dunia.
“Mas,
kapan pulang? Aku berada di Suriah sekarang. Menunggu kedatangan darimu. Aku bersama
dengan Ayah Mertua. Tolong cepatlah pulang, Mas.” Farah fokus mengetik
pesannya kemudian mengirimnya pada LINE Dian.
Farah hanya iseng saja mengirimnya,
mungkin jika dibaca, pasti orang lain. Dan orang lain itu mungkin tidak berani
untuk membalasnya karena takut pengirimnya akan terkejut. Dan tak berapa lama,
terdengarlah bunyi ponsel pesan LINE dari ponsel Farah. Farah mendengar bunyi
pesan itu sekaligus terkejut, mana mungkin Dian membalasnya padahal Dian sudah
mati?
Farah pun melihat pesan itu, dan
ternyata pesan itu dibaca oleh Dian. Farah berpikir kalau itu pasti orang lain
yang ikut menyelamatkan Dian. Kemudian ada balasan dari pesan LINE Dian.
“Iya,
saya akan pulang, kok. Saya berada di radius yang tidak jauh dari lokasimu.
Pergilah kesana.” Begitulah isi pesan dari pesan LINE Dian. Farah kemudian
terkejut karena pesannya dibalas oleh Dian.
“Wah, gak mungkin. Kok bisa Dian
membalasnya? Padahal dia ditemukan meninggal?” gumam Farah terkejut sekaligus
tidak percaya.
Dan akhirnya, Farah mengikuti intruksi
pesan itu. Sebelumnya, Farah memberitahu Pak Hermawan dan Ibu Widya soal pesan
dari LINE Dian.
“Ayah Mertua, saya tidak percaya akan
hal ini.”
“Kenapa?”
“Sepertinya Dian masih hidup.”
“Apa?! Kenapa bisa?”
“Tak tahu. Kita coba ikuti pesan dari
LINE ini, Ayah,” ucap Farah sambil memperlihatkan pesan LINE pada Pak Hermawan.
“Bu, ayo kita pergi,” ajak Pak Hermawan
pada Ibu Widya.
“Kemana?”
“Kita pergi saja. Dian masih hidup.”
“Apa?”
“Sebenarnya pesan itu dibikin tertipu,
tapi siapa tahu ini benar? Kita kesana. Ayo.”
Pak Hermawan dan Ibu Widya pun mengikuti
Farah ke tempat yang diintruksikan di pesan LINE Dian. Mereka berada di sebuah
tempat terbuka di mana tidak ada gedung dan juga tidak ada rerumputan. Tak lama
setelah mereka sampai, Farah mendapat pesan lagi di ponselnya.
“Apa
kau sudah sampai? Tunggu sebentar lagi, pesawat akan segera datang.”
“Lihat, Ayah. Kata pesan ini, pesawat
akan segera datang.”
“Terus kita menunggu di sini? Dian
bagaimana?”
“Tunggu saja, Ayah.”
Farah, Pak Hermawan, dan Ibu Widya
sekarang sedang menunggu kedatangan pesawat yang akan segera datang. Tak lama,
mereka mendengar suara pesawat muncul. Namun mereka tidak lihat karena mereka
sedang berada di tempat yang sangat terbuka. Hanya berbentuk lapangan saja dan
ada jalan raya juga.
“I--itu mungkin suara pesawatnya, tapi
kami tidak tahu letaknya di mana. Mana Dian, ya?” ujar Farah diselimuti rasa
panik.
Farah masih berkeliling di sekitarnya,
mencari keberadaan pesawat itu. Ternyata Farah masih belum menemukannya.
“Hah? Apakah ini semua adalah
kebohongan? Kulihat pesan ini, yang diketiknya adalah Dian. Gak mungkin bahasa
sebaik ini adalah orang lain, sudah pasti ini adalah Dian.” Farah kembali
bergumam.
Pesan LINE masuk lagi di ponsel Farah.
“Sayang,
tunggu sebentar lagi. Dian akan segera turun dari pesawat.”
Farah kembali mengelilingi di
sekitarnya, lalu mencari keberadaan pesawat itu. Namun Farah masih belum
menemukannya juga.
“Apa mungkin, ini adalah arwah-nya Dian?
Kok bisa begini?” Farah bergumam tidak percaya.
Dan tak berapa lama, pesan LINE berbunyi
lagi.
“Sayang,
Ayah, dan Ibu. Silakan berbalik. Aku sudah sampai.”
“Ehh, Ayah Mertua. Dian menyuruh kita
untuk berbalik.”
“Oh ya? Di mana Dian sekarang?”
Farah, Pak Hermawan, dan Ibu Widya pun
berbalik ke belakang, dan melihat di depan. Farah deg-degan, menunggu apakah
benar kalau dia adalah Dian. Dan ternyata yang muncul adalah...
Seorang prajurit yang terluka, memakai
kursi roda. Rupanya prajurit itu adalah seorang Dian Hermawan. Dian masih
hidup, cuman dia memakai kursi roda. Dian kini penuh dengan luka, tangan
di-gips, kaki di-gips, dan wajah penuh dengan plester. Dian berusaha untuk
mengayuh kursi roda-nya menuju pada orang-orang tersayangnya.
“Benar, ini adalah Dian?” Pak Hermawan
tidak percaya melihat Dian sekarang duduk memakai kursi roda.
“Apa Mas Dian--- masih hidup?” Farah
kemudian berkaca-kaca melihat Dian yang sekarang sudah muncul di hadapannya.
“Maaf. Maafkan Dian.” Hanya itu yang
bisa diucapkan oleh Dian, sambil berkaca-kaca melihat orang-orang tersayangnya
sedang menunggu.
Kita bisa lihat bahwa Dian sedang
memakai kursi roda dengan tangan dan kaki di-gips serta wajah yang di-plester. Dian
yang memakai baju dinas tentara, mulai meneteskan air mata-nya melihat
orang-orang tersayangnya juga mulai meneteskan air matanya. Dian rupanya masih
hidup, cuman Dian kembali dengan penuh luka di sekujur tubuhnya.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar