Sabtu, 02 Juli 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 13



BAGIAN TIGA BELAS

* * *

-=2016=-

“Halo? Apa Anda sudah menemukannya?” tanya Pak Hermawan lewat telepon.

Uhh, maaf sekali ini, Pak. Kami sudah menemukannya, namun sayang sekali, Pak. Dian Hermawan sudah ditemukan dalam keadaan mati,” ucapnya sedikit mendesah di telepon.

“A--Apa? Maksud Anda itu apa?” Pak Hermawan menyuruh mereka untuk mengulanginya.

Kami udah dari tadi menemukannya, begitu pula dengan Sersan Irdan. Dia juga mati, sama seperti Dian.

“Jadi, rencananya apa? Apa jenazah anak saya akan dibawa ke Indonesia?” tanya Pak Hermawan sedikit lantang.

Tidak, Pak. Justru Pak Hermawan dan Ibu Widya harus pergi ke Suriah untuk menjemput jenazah anak Bapak. Sekalian Bapak harus memberi hormat pada anak Bapak.

“Terus, saya harus naik apa?”

Uhh, nanti pesawat khusus akan membawa Bapak dan Ibu untuk pergi ke Suriah. Bapak tinggal pergi ke Bandara Halim Perdanakusuma. Nanti Bapak akan dijemput di situ.

“Apa gratis itu?”

Iya, Pak. Itu khusus untuk Bapak dan Ibu. Jadi tak usah khawatir dengan biaya-nya. Karena kami yang tanggung.

“Jadi, kapan berangkatnya?”

Besok pagi, Bapak harus berangkat. Karena jam 8, pesawat sudah akan berangkat.

“Oh, baiklah.”

Ehh, Bapak yang sabar yah. Semoga Bapak bisa menerima semuanya.” ucap Pak Sersan yang juga turut ikut berbela sungkawa.

“Baik. Makasih, karena sudah menemukan anak saya.”

Iya, Pak. Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi.

Pak Hermawan yang tadinya agak baikan, sekarang menjadi lesu kembali. Pak Hermawan rupanya tidak menerima dengan kejadian ini, Dian Hermawan benar-benar mati saat operasi militer.

Pak Hermawan hanya bisa duduk menyamping sambil melamun tak jelas di rumah Dian. Ibu Widya tidak tahu kenapa Pak Hermawan melamun lagi. Ibu Widya mencoba menyajikan teh hangat lagi untuk Pak Hermawan, agar Pak Hermawan dapat kembali bersemangat.

“Kenapa lagi sih, Pak? Harusnya Bapak tak perlu mengeluh seperti itu. Dian pasti baik-baik saja. Tenang.”

“Bu, besok kita ke Suriah.”

“Kenapa, Pak?”

“Karena... Dian... ditemukan meninggal.”

“A--apa? Maksud Bapak apa?”

“Artinya, Dian udah meninggal. Dian udah mati,” ucap Pak Hermawan sedikit berkaca-kaca.

Sejenak, Ibu Widya menampakkan wajah tidak percaya. Ibu Widya tidak percaya bahwa anak lelaki kesayangannya itu sudah pergi untuk selama-lamanya. Ibu Widya pun akhirnya meneteskan air matanya dan menangis. Pak Hermawan hanya bisa memperhatikan istrinya menangis, dan juga sambil berkaca-kaca pula.

------------------------------

Keesokan harinya, Pak Hermawan dan Ibu Widya sudah berada di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menunggu pesawat khusus yang akan membawa mereka ke Suriah. Istri Dian, Farah juga ikut. Namun tidak ikut dalam pesawat khusus, melainkan ikut dalam pesawat reguler.

Pak Hermawan dan Ibu Widya masih menunggu kedatangan pesawat khusus. Dan hingga akhirnya, suara pesawat yang nyaring pun datang ke perlintasan bandara. Pak Hermawan pun bangkit dan melihat pesawat itu memarkirkan pesawatnya di perlintasan bandara, dan di dalam pesawat itu keluarlah Sersan Yanuar yang bertugas untuk menjemput keluarga dari korban ledakan.

“Ah, selamat pagi, Pak. Anda dari tadi menunggu?” sapanya sambil mengambil koper Pak Hermawan dan Ibu Widya.

“Iya, Pak Sersan.”

“Anda bisa langsung naik pesawat, biar saya yang bawa koper Anda.”

“Baiklah.”

Pak Hermawan dan Ibu Widya berjalan menuju pesawat dan langsung masuk ke dalam pesawat khusus.

Sementara Farah, sedang berada di bandara Soekarno-Hatta untuk naik pesawat menuju Suriah. Walaupun agak mahal tiketnya, tapi ini demi suaminya. Baru pertama kali Farah pergi ke luar negeri, apalagi ke Suriah. Dalam keadaan hamil pula. Farah pun langsung masuk ke dalam pintu keberangkatan sambil berkaca-kaca, menerima keadaan ini.

---------------------------------

Setelah beberapa jam mendarat dari Jakarta ke Suriah, akhirnya Pak Hermawan dan Ibu Widya pun sampai di bandara Suriah. Dengan kawalan ketat dari militer Indonesia, Pak Hermawan dan Ibu Widya berjalan menuju tenda yang disiapkan oleh tim dari Dian. Pak Hermawan pun disambut oleh beberapa prajurit yang menyambut kedatangan keluarga korban.

“Oh, Anda sudah datang? Kami akan membawa Anda ke kamp kami, karena di sanalah Dian bertugas.” sapa Sersan Ferdi yang menyambut Pak Hermawan.

“Bukannya suara Anda yang selalu menelepon? Sangat familiar dengan suaranya.” Pak Hermawan menebak suara yang selalu dia telepon saat ingin mendapat kabar.

“Ahh, iya. Saya itu yang menelepon. Oh, kalau begitu, Anda langsung masuk ke mobil. Anda akan dibawa ke kamp. Ayo, ayo,” ajak Sersan Ferdi menuju ke mobil.

Pak Hermawan dan Ibu Widya pun langsung masuk ke mobil untuk pergi ke kamp militer dari markas tempat Dian bertugas.

Lalu saat mereka pergi, Farah dan anaknya langsung juga disambut oleh teman Sersan Ferdi dan pergi juga ke kamp militer.

Sesampainya di kamp militer, suasana di sana masih seperti biasanya. Tujuan mereka pergi ke Suriah hanya ingin menjemput jenazah Dian yang rencananya akan datang 2 jam lagi. Pak Hermawan pun ditempatkan ke dalam kamp yang juga mirip penginapan. Dari kabar sementara, jenazah Dian sekarang ini baru ditemukan dan akan dibawa kembali kepada keluarga.

Di kamp militer, sudah dipasangi sebuah tenda untuk menyambut kedatangan jenazah Dian. Farah akhirnya sampai di kamp militer, di sela-sela pemasangan tenda. Dia tidak mengkhawatirkan anaknya yang berumur 3 tahun, karena anaknya dititipkan pada kakak Dian.

Saat Farah masuk di wilayah, Pak Hermawan terkejut melihat Farah pergi juga ke Suriah.

“Lho, Farah? Kenapa pergi juga ke Suriah? Apa kamu tahu juga bahwa Dian sudah meninggal?”

“Tahu, Ayah Mertua. Aku juga ingin menjemput jenazah Dian. Dalam 2 jam lagi akan sampai, bukan?”

“Iya. Nanti kalau ada mobil yang besar datang, kamu jangan menangis. Yang kuatlah melihat jenazah Dian.”

“I--iya, Ayah Mertua.”

Dan tak berapa lama, para prajurit bintara membawa masuk foto Dian dan menaruhnya di dalam suatu ruangan di mana itu adalah tempat untuk berziarah. Foto Dian ditaruh di tengah-tengah karangan bunga dan juga sebuah lilin dan jamuan untuk menghormati prajurit yang sudah meninggal, dan juga tak lupa ditaruh topi militer di samping foto Dian dan tanda pangkat 2 melati emas.

Pak Hermawan pun duluan masuk untuk menziarahi pusara anaknya. Pak Hermawan menaruh bunga krisan di pusara anaknya. Bunga krisan berwarna putih itupun menjadi lambang kehormatan bagi Pak Hermawan untuk anaknya. Pak Hermawan tentu sangat sedih harus kehilangan anak berharganya yang sangat gagah dan tangguh.

Pak Hermawan kemudian berdoa di depan pusara anaknya, lalu giliran Ibu Widya dan Farah yang menaruh bunga krisan di depan pusara Dian Hermawan.

---------------------------

Setelah berdoa, para prajurit bintara kemudian menyiapkan makan untuk mengurus tamu yang akan datang nantinya. Berhubung juga sudah 2 jam, sudah saatnya jenazah Dian akan datang. Pak Hermawan dan juga semuanya, sedang menantikan jenazah Dian. Farah sudah menyiapkan mentalnya untuk menantikan kedatangan jenazah Dian.

Farah kemudian sedikit mengecek ponselnya untuk sekadar melihat aplikasi pesan LINE dari suaminya. Terakhir kali, Farah mengirim pesan pada Dian pada bulan April lalu. Isi pesannya adalah

Tunggu oleh-oleh darimu, Mas. Belilah makanan buatku dan juga buat anak kita. Dan juga untuk Ayah Mertua.” Begitulah isi pesannya, namun tidak terbaca oleh Dian.

Farah kemudian berpikir apakah pesannya bisa dibaca, meskipun orang lain menemukan ponsel Dian? Untuk membuktikannya, Farah mengirim pesan pada Dian, walaupun dia tahu kalau Dian sudah meninggal dunia.

Mas, kapan pulang? Aku berada di Suriah sekarang. Menunggu kedatangan darimu. Aku bersama dengan Ayah Mertua. Tolong cepatlah pulang, Mas.” Farah fokus mengetik pesannya kemudian mengirimnya pada LINE Dian.

Farah hanya iseng saja mengirimnya, mungkin jika dibaca, pasti orang lain. Dan orang lain itu mungkin tidak berani untuk membalasnya karena takut pengirimnya akan terkejut. Dan tak berapa lama, terdengarlah bunyi ponsel pesan LINE dari ponsel Farah. Farah mendengar bunyi pesan itu sekaligus terkejut, mana mungkin Dian membalasnya padahal Dian sudah mati?

Farah pun melihat pesan itu, dan ternyata pesan itu dibaca oleh Dian. Farah berpikir kalau itu pasti orang lain yang ikut menyelamatkan Dian. Kemudian ada balasan dari pesan LINE Dian.

Iya, saya akan pulang, kok. Saya berada di radius yang tidak jauh dari lokasimu. Pergilah kesana.” Begitulah isi pesan dari pesan LINE Dian. Farah kemudian terkejut karena pesannya dibalas oleh Dian.

“Wah, gak mungkin. Kok bisa Dian membalasnya? Padahal dia ditemukan meninggal?” gumam Farah terkejut sekaligus tidak percaya.

Dan akhirnya, Farah mengikuti intruksi pesan itu. Sebelumnya, Farah memberitahu Pak Hermawan dan Ibu Widya soal pesan dari LINE Dian.

“Ayah Mertua, saya tidak percaya akan hal ini.”

“Kenapa?”

“Sepertinya Dian masih hidup.”

“Apa?! Kenapa bisa?”

“Tak tahu. Kita coba ikuti pesan dari LINE ini, Ayah,” ucap Farah sambil memperlihatkan pesan LINE pada Pak Hermawan.

“Bu, ayo kita pergi,” ajak Pak Hermawan pada Ibu Widya.

“Kemana?”

“Kita pergi saja. Dian masih hidup.”

“Apa?”

“Sebenarnya pesan itu dibikin tertipu, tapi siapa tahu ini benar? Kita kesana. Ayo.”

Pak Hermawan dan Ibu Widya pun mengikuti Farah ke tempat yang diintruksikan di pesan LINE Dian. Mereka berada di sebuah tempat terbuka di mana tidak ada gedung dan juga tidak ada rerumputan. Tak lama setelah mereka sampai, Farah mendapat pesan lagi di ponselnya.

Apa kau sudah sampai? Tunggu sebentar lagi, pesawat akan segera datang.

“Lihat, Ayah. Kata pesan ini, pesawat akan segera datang.”

“Terus kita menunggu di sini? Dian bagaimana?”

“Tunggu saja, Ayah.”

Farah, Pak Hermawan, dan Ibu Widya sekarang sedang menunggu kedatangan pesawat yang akan segera datang. Tak lama, mereka mendengar suara pesawat muncul. Namun mereka tidak lihat karena mereka sedang berada di tempat yang sangat terbuka. Hanya berbentuk lapangan saja dan ada jalan raya juga.

“I--itu mungkin suara pesawatnya, tapi kami tidak tahu letaknya di mana. Mana Dian, ya?” ujar Farah diselimuti rasa panik.

Farah masih berkeliling di sekitarnya, mencari keberadaan pesawat itu. Ternyata Farah masih belum menemukannya.

“Hah? Apakah ini semua adalah kebohongan? Kulihat pesan ini, yang diketiknya adalah Dian. Gak mungkin bahasa sebaik ini adalah orang lain, sudah pasti ini adalah Dian.” Farah kembali bergumam.

Pesan LINE masuk lagi di ponsel Farah.

Sayang, tunggu sebentar lagi. Dian akan segera turun dari pesawat.

Farah kembali mengelilingi di sekitarnya, lalu mencari keberadaan pesawat itu. Namun Farah masih belum menemukannya juga.

“Apa mungkin, ini adalah arwah-nya Dian? Kok bisa begini?” Farah bergumam tidak percaya.

Dan tak berapa lama, pesan LINE berbunyi lagi.

Sayang, Ayah, dan Ibu. Silakan berbalik. Aku sudah sampai.

“Ehh, Ayah Mertua. Dian menyuruh kita untuk berbalik.”

“Oh ya? Di mana Dian sekarang?”

Farah, Pak Hermawan, dan Ibu Widya pun berbalik ke belakang, dan melihat di depan. Farah deg-degan, menunggu apakah benar kalau dia adalah Dian. Dan ternyata yang muncul adalah...

Seorang prajurit yang terluka, memakai kursi roda. Rupanya prajurit itu adalah seorang Dian Hermawan. Dian masih hidup, cuman dia memakai kursi roda. Dian kini penuh dengan luka, tangan di-gips, kaki di-gips, dan wajah penuh dengan plester. Dian berusaha untuk mengayuh kursi roda-nya menuju pada orang-orang tersayangnya.

“Benar, ini adalah Dian?” Pak Hermawan tidak percaya melihat Dian sekarang duduk memakai kursi roda.

“Apa Mas Dian--- masih hidup?” Farah kemudian berkaca-kaca melihat Dian yang sekarang sudah muncul di hadapannya.

“Maaf. Maafkan Dian.” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Dian, sambil berkaca-kaca melihat orang-orang tersayangnya sedang menunggu.

Kita bisa lihat bahwa Dian sedang memakai kursi roda dengan tangan dan kaki di-gips serta wajah yang di-plester. Dian yang memakai baju dinas tentara, mulai meneteskan air mata-nya melihat orang-orang tersayangnya juga mulai meneteskan air matanya. Dian rupanya masih hidup, cuman Dian kembali dengan penuh luka di sekujur tubuhnya.

BERSAMBUNG












Tidak ada komentar:

Posting Komentar