Selasa, 05 Juli 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 15 END

  


BAGIAN LIMA BELAS

* * *

-=2016=-

Akhirnya, kesenangan itupun kembali lagi. Pak Hermawan bisa melihat Dian lagi. Tadi, Pak Hermawan sudah mengetahui bahwa Dian sudah meninggal. Tapi setelah melihat Dian hidup lagi, hati Pak Hermawan lega kembali.

Dian juga sangat senang bisa kembali hidup dan bisa melihat orang-orang tersayang-nya. Dian kini penuh dengan luka. Tangan dan kaki Dian di-gips. Wajah Dian penuh dengan luka. Dian juga memakai kursi roda karena kaki yang di-gips. Dian pun berusaha untuk mengayuh kursi roda-nya untuk menghampiri Pak Hermawan, Ibu Widya, dan tentu saja orang yang paling disayangnya, Farah.

“Nak, kenapa kau penuh dengan luka seperti ini? Kenapa pakai kursi roda?” Pak Hermawan berkaca-kaca melihat Dian yang penuh luka.

“Tidak, Ayah. Dian penuh luka begini, karena tugas Negara. Kaki di-gips juga, sehingga tidak bisa berjalan. Jadi Dian pakai kursi roda,” ucap Dian yang juga berkaca-kaca.

“Kenapa Dian harus kembali dengan penuh luka begini, Nak? Kenapa?” Kemudian Pak Hermawan memeluk anaknya yang penuh luka tersebut, karena Pak Hermawan sangat merindukan anaknya.

Kini, mereka berdua menangis terharu. Terlebih pada Dian, yang selama ini memiliki kesalahan pada Ayahnya.

“Maafkan Dian, Ayah. Maafkan Dian. Maafkan Dian yang selama ini menyakiti hati Ayah.” Dian tak kuasa menahan tangis karena melihat Pak Hermawan juga menangis.

“Tak perlu minta maaf, Nak. Ayah sudah memaafkan Dian sedari dulu. Tentang makanan itu, jangan dipikirkan lagi. Ayah tidak akan jahat pada Dian. Jangan yah, Nak,” ujar Pak Hermawan sambil menghapus air mata anaknya.

“Tapi Dian sudah menyakiti hati Ayah dan Ibu. Dian selama ini salah, Yah. Dian salah.”

“Jangan pikirkan kesalahanmu yang telah lalu, Nak. Biarlah itu menjadi masa lalu. Sekarang lebih baik pikirkan tentang pekerjaanmu, Nak. Dian yang menjadi tentara ini, Ayah dan Ibu bangga, Nak. Bahkan Ayah juga sudah punya cucu.”

“Jadi, Ayah sudah memaafkan Dian?”

“Kan sudah Ayah bilang, tak perlu minta maaf. Ayah sudah memaafkanmu, Nak.”

Dian pun menangis lagi dan kembali memeluk Ayahnya. Walaupun sebenarnya Dian memiliki jarum infus yang tertancap di tangannya, tapi Dian tidak peduli. Dian tetap memeluk Ayahnya meskipun jarum infus itu membuat tangannya terluka.

--------------------

Dian pun diinterogasi Ayahnya di saat Dian masih memakai kursi roda, di kamp militer Suriah.

“Nak, bagaimana kau bisa hidup? Bukannya kau sudah dinyatakan meninggal?”

“Aku, mempertaruhkan hidupku saat ledakan itu terjadi.”

“Bagaimana ceritanya?”

Dian pun memikirkan tentang apa yang terjadi waktu ledakan itu terjadi.

--------------------

-=Flashback=-

Saat penembakan terjadi, Dian masih terus memegang dadanya. Hingga akhirnya saat Dian menyandarkan tubuhnya di mobil yang kebetulan ada di sampingnya, ledakan itupun terjadi dan membuat Dian dan Sersan Irdan terlempar ke radius 1 km dari lokasi. Dengan dada penuh luka, Dian tetap sadar meskipun luka di dada sangatlah sakit.

“Arrgggh, sakitnya dadaku!” Dian masih saja memegang dadanya yang sangat sakit karena luka tembakan.

Karena ledakan yang terjadi pada mobil itu, membuat tangannya juga terluka. Begitupun dengan kakinya, juga terluka. Semua tubuh Dian penuh dengan darah. Namun Dian tidak menyerah begitu saja, Dian pun langsung bangkit menuju Sersan Irdan yang juga terluka.

“Sersan! Bangun, Sersan! Ayo, bangkit! Ini perintah!” Dian berseru sambil mengguncangkan tubuh Sersan Irdan.

“Sa--saya tidak apa-apa, Pak Letnan! Saya bisa bangun! Saya bisa bangun!” Sersan Irdan juga penuh dengan luka, menganggap bahwa dirinya baik-baik saja, padahal sebenarnya Sersan Irdan juga sangat parah lukanya. Sehingga Sersan Irdan tidak bisa bangun.

Karena Dian juga sangat parah lukanya, sehingga Dian pun langsung jatuh tersungkur sambil memegang dadanya yang darahnya semakin mengalir. Dian masih bisa menyadarkan dirinya. Mereka berdua jatuh tersungkur dengan luka yang amat banyak.

-----------------------

Di kamp markas, semua tentara yang terlibat dalam operasi militer, sudah kembali ke kamp. Namun tanpa Dian dan Sersan Irdan. Mereka mengira bahwa Dian dan Sersan Irdan sudah meninggal, karena betapa kerasnya ledakan itu sehingga membuat orang menjadi mati.

Sersan Raka ditugaskan untuk mencari jenazah Dian dan Sersan Irdan, sementara Sersan Yanuar ditugaskan pulang ke Indonesia untuk meng-informasikan ini kepada keluarga masing-masing.

Semua tim dikerahkan untuk mencari keberadaan Dian dan Sersan Irdan sekarang. Selama 2 jam mereka mencari keberadaan Dian dan Sersan Irdan. Namun tak ada hasilnya juga. Dan akhirnya, mereka pun memutuskan bahwa Dian dan Sersan Irdan meninggal dunia. Tak ada hasilnya juga, mungkin Dian dan Sersan Irdan sudah gosong dilalap api karena ledakan itu.

Akhirnya semua tim kembali lagi ke kamp militer. Namun ada salah seorang tim yang masih saja berusaha mencari keberadaan Dian dan Sersan Irdan. Karena menurutnya, Dian dan Sersan Irdan masih hidup, jadi dia harus mencari keberadaan mereka. 1 jam dia mencari keberadaan Dian dan Sersan Irdan. Hingga akhirnya pencariannya pun membuahkan hasil.

Prajurit itu pun menemukan Dian dan Sersan Irdan jatuh tersungkur karena terluka. Prajurit itu terkejut melihat mereka yang penuh luka. Untung saja Dian masih bisa sadar.

“Hei--- bisa bawa kami ke Medicube? Luka kami sangat parah. Bawa kami sebelum kami mati di sini. Lukaku sangat banyak dan darah mengalir banyak,” ucap Dian dengan sangat lemah karena darah sudah menipis.

“Oh? Ohh, baiklah. Saya bawa kalau begitu. Tapi, saya panggil anggota-ku dulu.”

Prajurit itupun memanggil anggota-nya untuk membawa Dian dan Sersan Irdan ke Medicube.

“Halo, halo? Ada 2 prajurit yang terluka di sini. Tolong cepat bawa mereka ke Medicube.”

Posisi di mana?

“Ada di tempat ledakan, radius 1 km.”

Oh, baiklah, kami akan segera kesana.

“Tunggu sebentar, para prajurit. Kalian akan dibawa segera ke Medicube, bertahanlah sebentar.”

“Eey, cepatlah dibawa. Saya tidak tahan lagi.” Dian kembali bercakap dengan sangat lemah.

Setelah kurang 15 menit mereka menunggu, akhirnya mobil besar pun datang. Mereka adalah anggota yang dipanggil prajurit itu.

“Kami sudah datang!”

“Hei, cepat kalian bawa mereka. Ke Medicube. Oke?”

“Siap!”

“Tenang saja, kalian. Perkenalkan nama saya Sersan Ferdi. Saya adalah prajurit yang menemukan kalian. Maaf karena belum tahu nama kalian. Nama kalian siapa, dan pangkat apa kalian?”

“Saya--- saya, Letkol Dian. Dan satunya-- Sersan Irdan.”

“Oh? Anda Letkol? Maafkan saya, maaf. Karena tak spoan pada pak Letkol.” Sersan Ferdi segera mnta maaf karena tahu bahwa pangkat Dian adalah Letkol.

“Iya-- tak apa-apa. Cepat bawa kami, sebelum darah kami habis.”

Dengan sigap, Sersan Ferdi beserta anggotanya langsung membawa Dian dan Sersan Irdan ke Medicube untuk mendapatkan perawatan.

-------------------

Setelah sampai di Medicube, Dian dan Sersan Irdan pun mendapatkan perawatan. Karena luka yang sangat parah, jadinya tubuh Dian penuh dengan perban. Sementara Sersan Irdan juga penuh dengan luka namun tak terlalu parah.

Setelah mendapatkan perawatan, Dian tidak boleh berjalan dulu, maka Dian pun harus memakai kursi roda.

“Anda tidak boleh jalan dulu, karena kaki Anda di-gips. Jadi, Anda hanya bisa mengayuh kursi roda. Apa tidak apa-apa?”

“Iya, dong. Saya tidak apa-apa. Lagian, saya adalah seorang prajurit kuat. Tak apa kok.”

“Baiklah. Tadi yang menolong Anda itu, Sersan Ferdi. Katakan terima kasih, karena dia sudah menolongmu.”

“Oh, bolehkah? Terus Sersan Irdan?”

“Dia baik-baik saja kok. Jangan khawatir. Temui saja dia.”

“Baiklah.”

Dengan mengayuhkan kursi rodanya ke depan pintu Medicube, Dian pun menemui Sersan Ferdi yang sedang berdiri sendirian.

“Maaf... Sersan Ferdi?”

“Oh? Pak Letkol? Oh maaf. Maaf.”

“Eey, tak perlu minta maaf padaku. Justru aku berterima kasih padamu karena kau sudah menyelamatkan hidupku dan Sersan Irdan. Jika saja kalian tidak ada, mungkin kami sudah mati 30 menit kemudian karena kehabisan darah. Sekali lagi makasih.”

“Iya, sama-sama. Sebagai tentara, sesama prajurit harus saling menolong.”

“Iya, makasih kalau begitu.”

“Sama-sama.”

-=Flashback End=-

----------------------

Dian masih melanjutkan ceritanya pada Pak Hermawan. Berdasarkan cerita Dian, rupanya semua orang yang ada di kamp militer tahu jika Dian dan Sersan Irdan masih hidup. Namun mereka harus mengikuti aturan, jika ada keluarga yang menelepon, mereka harus merahasiakannya bahwa Dian dan Sersan Irdan ditemukan meninggal. Itupun surat yang dibawa oleh Sersan Herman, hanyalah sebuah kebohongan saja. Itu dilakukan supaya keluarga terkejut sekaligus tidak percaya kalau ternyata prajurit yang ditemukan meninggal itu ternyata masih hidup.

“Ah, sudahlah yang penting kau dapat hidup lagi, Nak. Jangan diceritakan lagi. Sudahlah, Dian membuat Ayah menjadi merinding. Sudahlah.” Pak Hermawan kembali memeluk anaknya sembari menghentikan cerita anaknya yang terkesan merinding bagi Pak Hermawan.

----------------------

Keesokan harinya, Dian memakai baju dinas tentara bersama Sersan Irdan karena mereka sudah kembali ke Indonesia. Mereka disambut oleh beberapa tentara lainnya karena Dian dan Sersan Irdan sudah kembali hidup-hidup. Dian sangat senang karena disambut dengan baik, terlebih lagi pada Pak Komandan.

Setelah mereka disambut dan membuat laporan, Dian berada di tengah-tengah pohon sejuk, sambil duduk di kursi roda. Dian sedang memikirkan sesuatu, tapi entah Dian sedang memikirkan apa. Sementara itu, Sersan Irdan berjalan menuju Dian yang sedang melamun.

“Hei, sedang apa, Pak Letnan?”

“Aduh, kau membuatku kaget.”

“Sepertinya, kita sudah selamat yah. Bukan begitu, Pak Letnan?”

“Iya. Ngomong-ngomong, kakimu tak apa? Sepertinya kau sudah bisa jalan.” Dian melihat kaki Sersan Irdan sudah baikan, walaupun sebenarnya kaki dan tangan Sersan Irdan juga di-gips.

“Iya, karena aku sudah berusaha untuk berjalan. Setidaknya, Pak Letnan juga harus berusaha untuk jalan. Oke?”

“Iya deh. Aku akan berusaha.”

“Baiklah, kalau begitu, saya permisi dulu. Saya ingin membeli sesuatu di supermarket.” Sersan Irdan pun berjalan kembali meninggalkan Dian yang sendirian sambil duduk di kursi roda karena tidak bisa berjalan.

Dengan melihat keadaan dirinya, Dian sudah merasa kasihan pada dirinya sendiri. Melihat tangan di-gips dan kaki juga di-gips, lalu memakai kursi roda. Dian pun kembali memikirkan sesuatu sambil menikmati angin yang segar di tengah-tengah pohon hijau segar di dekat markas.

------------------------

-=1 Tahun Kemudian=-

1 tahun kemudian, tepatnya bulan April tahun 2017. Dian menghadap pada Pak Komandan. Sepertinya Dian akan naik pangkat lagi. Dan benar saja, Dian naik pangkat dari Letkol ke Kolonel. Dian pun membacakan janji-nya lagi di hadapan Pak Komandan.

“Hormat, Pak Komandan! Saya, Letkol Dian Hermawan, berjanji akan saya pergunakan pangkat baru saya dengan baik! Saya, Letkol Dian Hermawan, berjanji jika saya melanggar aturan militer, maka pangkat baru saya akan dicabut!”

“Baik! Janji sudah saya ambil! Pangkat Letkol yang Anda semat, saya naikkan menjadi Kolonel!”

“Maka kalau begitu, saya Letkol Dian Hermawan, kini berganti menjadi Kolonel Dian Hermawan! Dan saya siap dengan janji-janji yang harus saya tepati! Hormat!”

“Hormat!”

Setelah membaca janji, baju dinas Dian pun dipasangkan tanda pangkat berupa tanda melati 3. Awalnya tanda pangkat 2 melati, sekarang menjadi Kolonel, berarti menjadi 3 melati.

Setelah acara kenaikan pangkat itu, Dian seperti waktu naik pangkat dulu, tidak bisa berlama-lama di dalam gedung. Karena Dian akan menjemput istrinya yang sedang bertugas menjadi panitia donor darah di alun-alun kota.

Dengan memakai baju dinas, Dian menunggu di tengah alun-alun, untuk menjemput Farah. Setelah lama menunggu, akhirnya Farah datang dan langsung menghampiri suaminya yang sedang menunggu.

“Oh, Dian? Lama ya menunggu?” Farah pun memberikan tisu pada Dian karena melihat kening Dian penuh dengan keringat.

“Oh, makasih. Iya dong. Lama sekali nunggunya.”

“Oh ya ngomong-ngomong, pangkatmu sudah berubah ya?” tanya Farah dengan nada bercanda.

“Iya dong. Pangkatku sekarang sudah 3 melati. Berarti aku jadi apa? Coba tebak.”

“Hmm, Jenderal?”

“Bukan.”

“Letnan?”

“Bukan juga.”

“Terus apa, dong?”

“Pangkatku sekarang Kolonel. Masa tidak tahu?”

“Hahahaha, mana saya tahu, Mas? Ayo kita masuk ke mobil, aku bawa makanan yang enak ini.”

“Oh boleh silakan.”

Seperti masa pacaran dulu, Dian dan Farah masih lengket layaknya masih pacaran, padahal mereka sudah suami-istri dan punya anak dua. Di dalam mobil, mereka masih mengobrol.

“Apa kau masih senang menjadi istri seorang prajurit?”

“Senang dong. Masa tidak senang? Meskipun Mas Dian selalu pergi tugas, aku tetap melakukan tugasku sebagai Dokter. Kalau aku cuti, mungkin sesekali aku ikut kegiatan ibu-ibu Persit.”

“Kalau aku ingin nambah anak lagi, senang tidak?”

“Ihh dasar Mas Dian! Jangan bawel, ah! Jangan!” Farah tak henti-hentinya memukul lengan Dian, sehingga lengannya agak sakit.

“Ahh, sakit, Farah!”

“Oh, maaf! Maaf, Dian!”

“Ah, tak apa-apa kok. Tenang saja. Walau agak sakit, tapi saya adalah orang yang kuat. Tenang.”

Dian dan Farah masih bercanda sepanjang perjalanan, hingga akhirnya mereka pun sampai di rumahnya yang sangat elit. Sepertinya Dian pindah rumah lagi. Rumahnya berlantai 2. Lantai 1 untuk dirinya, dan lantai 2 untuk orang tua-nya. Rupanya Pak Hermawan dan Ibu Widya tinggal di rumah Dian, namun mereka di lantai 2.

Dian dan Farah merasa ada yang aneh dengan rumahnya karena rumahnya tiba-tiba hening.

“Ayah? Apa Ayah ada di dalam?” Dian mencoba memanggil Ayahnya.

“Ayah Mertua? Ada di dalam tidak?” Farah pun mencoba memanggil Ayah Dian.

Dan tak berapa lama, Pak Hermawan dan Ibu Widya keluar dari lantai 2 menuju lantai 1 dengan membawa kue tart. Rupanya Dian hari ini ulang tahun ke 38 tahun.

“Selamat ultah, Nak Dian!”

“Lho, Ayah? Memang Dian ultah hari ini? Kurasa Dian lupa deh.”

“Aduh, masa ultah sendiri lupa? Nih, Ayah bawa kue tart cokelat untukmu.”

Semua keluarga pun duduk dan merayakan ulang tahun Dian di meja makan. Pak Hermawan menyiapkan lilin dan menyuruh Dian untuk meniupnya sekarang.

“Nah, sebelum kau tiup, apa harapanmu di ulang tahunmu ke 38 tahun, Nak?”

“Hmm, Dian berharap semoga bisa lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan semoga bisa lebih baik lagi dalam melayani Negara lewat tugas-tugas militer.”

“Iya, amin. Baik, sekarang Dian tiup lilinnya.”

Dian pun meniup lilinnya, dan semuanya bersorak gembira. Semua keluarga memberinya kado termasuk Pak Hermawan memberikan kado yang paling sederhana untuk Dian. Dian sangat gembira karena ulang tahunnya kali ini, kadonya sangat banyak.

“Makasih semuanya, sudah memberikan kado buat saya. Terutama anak-anakku yang masih kecil aja sudah mengembirakan Ayah. Ugh, lucunya,” ucap Dian sambil mencubit pipi anak keduanya yang paling lucu.

“Ah, Mas Dian ini. Kalau masalah mengembirakan anak, dia paling ahli, yah.”

“Ah, Farah ini bisa aja deh.”

“Wah, kalian memang suami-istri ya? Kok kalian kayak pasangan yang masih pacaran?” Pak Hermawan juga ikutan menggoda Dian dan Farah.

“Aduh, Ayah, jangan menggoda kami. Memang beginilah kami dari dulu,” ujar Dian sambil tertawa cekikikan.

Mereka saling bercanda satu sama lain. Namun tiba-tiba, percandaan mereka terhenti di saat ponsel Dian berbunyi. Sepertinya itu dari orang-orang di markas. Dian pun mengangkat teleponnya dengan terburu-buru.

“Halo? Ya, hormat! Ohh... iya. Iya, iya. Baiklah, saya akan segera kesana. Ya!” Dian mengangguk paham dengan apa yang didengarnya di telepon.

“Siapa itu, Nak?”Pak Hermawan sepertinya tidak tahu siapa yang ditelepon Dian.

“Oh, orang dari markas. Dian sepertinya ada tugas militer lagi.”

“Di mana?”

“Di dekat alun-alun kota. Dian disuruh untuk menjaga wilayah sekitar situ, katanya ada seorang radikal yang berkeliaran di sekitar alun-alun. Jadi Dian disuruh menjaga di sana.”

“Ohh. Mau Ayah antar? Sekalian semuanya ikut mengantarmu.”

“Aduh, tidak usah mengantar. Memang Dian ingin pergi ke tempat sesuatu?”

“Ah, sekali-kali tidak apa-apa kok. Ayah antar yah?”

“Hmm, tak apa-apa deh. Ayah bersiap-siap saja, Dian juga ingin ganti baju.”

--------------------

Di dalam kamar, Dian bersiap ganti baju. Baju-nya adalah baju dinas tentara. Dian memakai baju dinas terlebih dulu karena Dian dan para tentara lainnya akan melakukan apel pagi. Dian menatap cermin, rupanya Dian sudah mengganti bajunya. Dian nampak gagah, terlebih lagi jika dia memakai topi tentara yang menambah kegantengan Dian. Walaupun sudah di usia 38 tahun, Dian masih ganteng seperti dulu. Dian pun bersiap keluar sambil membawa walkman yang ada di tangannya.

“Ayo, Ayah. Dian sudah siap.”

“Ayo!”

Semua keluarga pun masuk dalam mobil, dan Dian yang mengemudi. Begitu saat pulang, giliran Pak Hermawan yang mengemudi.

--------------------

Saat sudah sampai di wilayah alun-alun kota, Dian pun menyampaikan ucapan selamat tinggal pada Pak Hermawan, Ibu Widya, dan semua keluarga yang mengantarnya, termasuk keluarga kecil yang Dian bentuk sendiri dari seorang istri bernama Farah.

“Ayah, doakan semoga segalanya lancar. Ayah jangan khawatir, Dian baik-baik saja kok. Dian akan pulang dalam keadaan sehat-sehat.”

“Iya, amin. Dian baik-baik yah selama tugas. Ayah akan selalu mengirimimu pesan. Jangan lupa sms Ayah nanti dalam 2 jam, yah.”

“Iya, Ayah. Kalau begitu, Dian pergi dulu. Dah, semuanya!”

“Dah!”

Dian dengan gagahnya berjalan ke markas dengan baju dinas tentaranya. Dian yang masih berjalan, tersenyum melihat mereka yang sudah mengantarnya. Ya, Dian sudah mengumpulkan kesenangan lagi. Terlebih pada Ayahnya, yang menjadi penyemangat Dian untuk melakukan tugas militer ini. Dian sangat senang bisa bertemu dengan Ayahnya dan memberikan kesempatan untuk Ayah dan Ibunya untuk tinggal di Jakarta. Lengkaplah sudah hidup Dian, terlebih lagi Dian sudah membentuk keluarga kecilnya yang juga bahagia. Sama seperti bahagia yang terpancar dari Ayah dan Ibunya.

===============

EPILOUGE

Di kamar, Dian sedang berganti baju. Bajunya adalah baju dinas tentara. Saat Dian sedang memakai pakaian kaos oblong polos berwarna putih, Dian sempat mengambil hadiah dari Ayahnya. Dian melihat hadiah itu sangat sederhana sekali dan kecil. Dian pun membuka hadiah itu, rupanya hadiah itu berisi walkman yang masih berfungsi. Di walkman tersebut, terdapat sebuah kertas yang terselip di dalamnya. Dian mencoba membuka kertas itu, dan rupanya itu adalah surat. Dian pun membacanya dan sedikit terharu melihat surat itu adalah dari Ayahnya.

Nak, suka dengan walkman yang Ayah kasih? Itu adalah hadiah ultahmu yang ke 17 tahun. Tapi Ayah tidak berani memberikannya padamu, karena mungkin kau tahu kalau kau masih membenci Ayah. Jadi hadiah itu Ayah endapkan selama 21 tahun, dan Ayah coba menyalakannya setelah Ayah simpan, ternyata walkman itu masih berfungsi. Nak, kalau kau sedang tidak berbuat sesuatu, cobalah dengarkan lagu dari walkman itu. Itu adalah hadiah ulang tahunmu, Nak. Dan juga... Ayah minta maaf karena Ayah masih belum mampu menjadi Ayah yang baik bagimu, Nak. Ayah sudah berusaha menjadikanmu anak yang baik, Nak. Tapi itulah yang terjadi. Semoga saja kau bisa lebih baik lagi yah, Nak. Ayah juga sudah tua. Jadilah kepala keluarga yang baik bagi Farah. Jadilah Ayah yang baik bagi kedua anak-anakmu. Kalau bisa lebih baik dari Ayah. Nak, selamat ulang tahun ke 38 tahun. Semoga Dian bisa menjadi Ayah yang baik dan bertanggung jawab kepada Negara. Salam hangat dan penuh cinta dari Ayah, Pak Hermawan.

Dian menangis membaca surat itu. Rupanya Dian tidak tahu ternyata ada hadiah ulang tahun berupa walkman. Waktu dulu juga rupanya Dian sangat ingin sekali mendapatkan sebuah walkman, namun Dian mungkin tidak bisa mendapatkannya karena ekonomi Pak Hermawan sangat tidak memadai. Dian akhirnya bisa mendapatkan walkman  ini, sekaligus kasihan karena mungkin Ayahnya rela menghabiskan uang demi membeli walkman ini. Namun Dian sudah membalas semuanya, dengan menjadi seorang prajurit. Hidup Dian sudah lengkap semuanya. Semuanya bahagia.

Kini, Dian sudah memakai baju dinas tentara dan menatap ke cermin sambil bergumam sendiri.

“Dian, jangan kecewakan Ayah. Aku ingin membuat Ayah dan Ibu bangga dengan tugas militer kali ini. Dan kali ini harus berhasil!” Dian pun memakai topi tentara untuk melengkapi kegantengannya.

Dian pun akhirnya keluar dari kamar sambil membawa hadiah walkman yang dia idam-idamkan selama 21 tahun yang lalu.

Menjadi Ayah itu gampang bila dilihat, namun susah untuk dilakukan. Kita mungkin dihadapkan pada keinginan anak yang maunya itu-itu, ini-ini. Tapi Pak Hermawan tidak menyerah untuk membelikan walkman buat Dian. Dan akhirnya keinginan itu terwujud juga. Dian sangat senang karena walkman-nya sudah ada di genggaman tangannya.  Dan kini, Dian juga harus merasakan menjadi seorang Ayah. Membentuk keluarga kecil memang gampang gampang susah, tapi bagi Dian, membentuk keluarga kecil adalah hal yang terindah. Namun lebih indah jika Dian berbakti pada Ayah dan Ibunya, terutama pada Ayahnya, Pak Hermawan.

TAMAT

=============

CATATAN :

Terima kasih sudah membaca cerbung Remember Dad  dari episode awal sampai episode terakhir. Semoga kalian bisa nyaman dengan bagian-bagian cerita Remember Dad selama masa penayangan. Dan maaf jika ada bagian cerita yang membuat kalian tidak nyaman membacanya, dan harap maklum dengan kesalahan itu. Yang penting semoga kalian bisa nyaman dan terima kasih sekali lagi sudah membaca cerbung Remember Dad, karena kalian pembaca Blog MiniNoveling sudah tembus ribuan pembaca. Terima kasih semuanya ^^






Tidak ada komentar:

Posting Komentar