BAGIAN SEBELAS
*
* *
-=2012=-
Dian dan Farah pun akhirnya menikah.
Setelah melakukan resepsi pernikahan di siang hari, mereka berada di dalam
mobil dan mereka pun sudah berstatus pengantin baru. Nampaknya Dian dan Farah
sudah sangat lengket, terbukti dia terus-terusan memegang tangan masing-masing.
Sopirnya saja termewek-mewek melihat pasangan serasi ini. Apalagi Dian memakai
seragam tentara, sementara Farah memakai pakaian berwarna hijau muda.
“Dian, sepertinya sopir itu terus melihat
kita. Apa tak apa kita memegang tangan terus?” ujar Farah yang melihat sopirnya
terus memperhatikannya dan juga Dian.
“Tak apa, sayang. Jangan takut, selagi
aku berada di sampingmu.” Dian pun mulai memanggil Farah dengan sebutan sayang.
“Iya, yah. Tapi kita mau ke mana
sekarang?”
“Kita harus ke markas dulu, melakukan
tradisi penyambutan. Kamu boleh berinteraksi dengan orang-orang di sana.”
“Hmm, baiklah. Berapa lama lagi kita
sampai?”
“Kita akan sampai ¼ menit lagi. Tenang
saja, yah.”
“Baiklah.”
Sesuai dengan perkiraan Dian yang ¼
menit lagi mereka sampai, akhirnya mereka sampai sesuai yang diperkirakan Dian.
Pak sopir pun membuka pintu untuk Dian dan Farah dan mereka pun turun bersamaan
dan mereka disambut oleh semua orang yang ada di markas seperti layaknya diberi
kejutan ulang tahun kepada temannya.
Dian dan Farah diberi pelayanan yang
baik di markas. Mereka layaknya raja dan ratu, di mana banyak jamuan makanan di
depan mereka. Ya, seperti itulah Dian dan Farah. Mereka sedang berpesta bersama
kawanan Dian di markas. Seperti biasa, jika ada salah satu anggota yang
menikah, maka akan diberikan jamuan sebagai hadiah pernikahan mereka. Berhubung
Dian yang menikah, jadi mereka membuat pesta yang sangat meriah tergantung dari
seberapa kuatnya orang yang menikah itu untuk di sisi militer-nya.
Dian sangat senang mendapatkan istri
yang sangat cantik seperti Farah, begitu pula dengan Farah yang juga sangat
senang mendapatkan suami yang menjadi prajurit TNI yang gagah dan kuat seperti
Dian.
Setelah selesai berpesta, Dian dan Farah
pulang ke rumah baru mereka yang agak sedikit elit kelihatannya. Di sinilah
mereka tinggal. Semua tas koper Dian dan Farah dipindahkan ke rumah ini. Bahkan
barang-barang fisik pun dipindahkannya. Semua barang-barang makanan dan minuman
sudah ada di rumah mereka.
Karena Dian dan Farah merasa capek
karena sudah berpesta di markas dan mengangkat barang-barang mereka, kini
mereka pun tiduran di spring bed bersama.
Mereka tidur bersama di malam pertama mereka sebagai suami-istri. Karena Dian
mempunyai badan yang begitu bidang, maka Dian pun memeluk istrinya dengan
tangan kanannya.
“Gimana? Nyaman dipeluk olehku? Kau
bilang kau suka bukan dengan pelukanku?” tanya Dian dengan bisikan yang
menggoda.
“Iya, suka banget. Nyaman dipeluk oleh orang
yang berbadan gede. Hihihi,” ucap Farah sambil tertawa cekikikan.
“Yah, tapi kan tidak setiap hari kau
bisa rasakan yang seperti ini. Karena aku mungkin akan meninggalkanmu dalam
tugas militer. Aku hanya diizinkan cuti selama resepsi pernikahan.”
“Berarti kau hanya diizinkan selama 1
hari saja?”
“Hmm, bisa saja sih. Tergantung dari
situasinya. Aku tetap akan tugas nantinya. Itulah makanya aku selalu bilang
padamu, kau harus ikut kegiatan ibu-ibu Persit. Biasanya tuh ibu-ibu Persit melakukan
kegiatan yang bermanfaat, mereka juga adalah ibu-ibu yang ditinggalkan suaminya
untuk bertugas. Visi utamanya itu adalah mendukung suaminya dalam berkarir. Kau
juga harus seperti itu. Oke?”
“Hmm, baiklah, Dian. Tapi, kelihatannya Ayah
Mertua sudah sangat tua yah, beda dengan Ibu Mertua. Umur berapa mereka?” Farah
tiba-tiba bertanya tentang orang tua Dian, yang membuat Dian agak terkejut.
“Eumm, umur Ayahku kira-kira 58 tahun,
ibuku 54 tahun. Rumahnya ada di Bandung. Jadi wajarlah kalau mereka sudah tua.”
“Ooh, begitu. Kalau saya mah, orang
tuaku tidak tua-tua amat. Kenapa bisa tua begitu ya, Dian?”
“Lha, kan emang gitu orang tua. Biasanya
cepat tua, dan gak selamanya akan muda.”
“Iya juga sih. Ehh, Mas Dian, boleh
ambilkan aku air? Aku haus.”
“Iya. Tunggu sebentar yah, sayang,” kata
Dian sambil melepas pelukannya pada istrinya kemudian bangun untuk mengambil
air.
“Tunggu, Mas. Kalau bisa air-nya yang
dingin yah. Haus sekali aku ini.”
“Iya, iya. Jangan manja gitulah.” Dian
lalu mengelus kepala istrinya dengan lembut, lalu Dian pergi keluar untuk
mengambil air.
Di ruang utama, Dian mengambil sebotol
air dingin di kulkas dan kemudian mengambil camilan untuk mereka makan berdua.
Dian pun masuk kembali ke dalam kamar
dan Farah langsung saja meneguk air dingin itu karena merasa sudah sangat
kehausan.
“Gluk, gluk, gluk,” seteguk demi seteguk
Farah meminum air itu tanpa dituangkan ke dalam gelas sekalipun. Dian yang
melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat istrinya minum air seperti
tidak pernah minum air selama seminggu. Farah langsung meminumnya dari botolnya
dan akhirnya botol itu habis dalam satu liter.
“Wah, kelihatanya istriku sangat
kehausan yah. Minum langsung dari botolnya.”
“Iya, dong. Saya sangat kehausan,
bagaimana tidak karena tadi capek angkat barang.”
“Iya deh. Kau memang tangguh yah. Sama
sepertiku, tangguh juga.”
Dian kembali memeluk istrinya seperti
tadi. Dan mereka diam sejenak, kemudian mereka berbicara kembali.
“Oh iya... bagaimana kalau kita
mengingat kenangan lama kita? Dan kita melakukannya hari ini,” kata Dian yang
menyuruh istriya untuk mengingat sesuatu.
“Mengingat apa?”
“Ingat tentang tahun 2005. Tentang
ciuman pertama kita.”
“Ahh, jangan ingat masa itulah. Aku jadi
merinding.”
“Sudahlah, ingat sajalah. Yang duluan
nyium siapa?”
“Ehh, bukannya Mas yang duluan nyium
aku?”
“Tapi kau yang minta. Kenapa?”
“Oh, iya yah. Tapi kan bukannya kau...,”
tiba-tiba saja, Dian mencium bibir Farah dengan secepat kilat. Hingga akhirnya,
ciuman itu masih berlanjut dengan nikmat oleh mereka. Bahkan sampai menutupi
selimut mereka. Mereka akhirnya bergumul malam itu. Mereka menikmati permainan
yang mereka ciptakan sepanjang malam.
---------------------------
Keesokan harinya, Farah yang masih
berada di tempat tidur akhirnya bangun dengan lemasnya. Farah bangun lalu masuk
ke kamar mandi. Sementara Dian, sudah siap dengan memakai kemeja tentara dan
topi tentara-nya. Dian nampak gagah dengan seragam tentara yang sedang ia
pakai. Dian sedang melihat ke cermin, dan wajahnya masih nampak ganteng. Dan
kemudian memakai topi tentara, sudah sangat pas dengan yang dipakainya
sekarang.
Tak lama, Farah keluar dari kamar mandi
dengan sangat senang dan langsung menghampiri suaminya. Suaminya kaget Farah
keluar dengan sangat riang.
“Ehh, kau ini kenapa sih? Dian kaget
tau!”
“Mas, aku... aku... aku hamil, Mas! Aku
hamil!” Tiba-tiba, Farah berlompat kegirangan karena tahu bahwa dirinya sedang
hamil.
“Oh? Benarkah? Selamat kalau begitu.” Wajah
Dian hanya biasa saja mendengar kabar istrinya.
“Lho, itu saja?”
“I--iya. Aku senang dong kalau istriku
hamil. Cuman hari ini aku sangat sibuk. Ada tugas militer yang harus aku jalani.”
“Tugas?”
“Tenang kok, aku akan pulang sebentar
malam. Ada makanan yang sudah kusimpan di kulkas. Jadi, baik-baiklah di rumah.”
Dian lalu mengelus kepala istrinya lalu menciumnya, kemudian dia pergi
meninggalkan Farah sendirian di rumah.
Dian membawa mobilnya dan langsung pergi
menuju markas. Farah akhirnya sendirian di rumah. Menjadi istri seorang
prajurit memang melelahkan bagi Farah. Namun mendapat kasih sayang dari seorang
prajurit, akan menyusahkan karena prajurit itu harus pergi berjuang demi Negara.
--------------------------
-=2016=-
Sekarang tidak ada lagi Dian di sisi
Farah. Begitupun dengan Ayah Dian, Pak Hermawan. Tidak ada lagi Dian di sisi
Pak Hermawan. Meskipun begitu, Dian tetap ada untuk melihat orang-orang
tercintanya.
Di Bandung, Pak Hermawan dan istrinya
disuruh Sersan Herman untuk menandatangani surat yang menjadi kerahasiaan
kematian Dian. Pihak TNI sengaja merahasiakan kematian Dian karena terikat pada
aturan yang harus mereka taati. Surat itu adalah sumpah kerahasiaan bagi para
prajurit.
“Dan dengan berat hati, Pak Hermawan
sebagai Ayahnya harus menandatangani ini. Bukannya kami ingin lantang, tapi ini
adalah aturan. Aturan yang harus kami patuhi. Jadi, Bapak tidak boleh keberatan
dengan ini. Kami tidak ingin kasih tahu media soal ini,” ucap Sersan Herman
sedikit mendesah.
“Dian mati karena ingin melindungi
Negara? Dan Dian mati karena ingin menyelamatkan seseorang?” Pak Hermawan lalu
berkaca-kaca mendengar ucapan Sersan Herman.
“I--iya, Pak.”
“Awalnya Bapak keberatan dengan ini,
tapi karena ini adalah anakku, jadi Bapak tanda tangani saja.”
Dengan berat hati, Pak Hermawan pun
menandatangani surat itu sambil menangis. Pak Hermawan keberatan jika anaknya
mati dalam misi untuk melindungi Negara. Pak Hermawan menyesal, jika dirinya
mendukung Dian untuk menjadi tentara.
-----------------------------
Sementara istri Dian, Farah, tetap
melakukan aktivitasnya sebagai Dokter. Melakukan operasi, memeriksa kesehtatan
pasien, memeriksa obat, dan lainnya, semua dia lakukan tanpa mengingat lagi
akan Dian.
Saat sesudah melakukan operasi, Farah
pun duduk di cafetaria sambil memakan
sandwich buatannya. Farah capek dan
sedikit pusing karena hari ini, dia di-diagonis hamil 3 bulan anak kedua Dian
dan Farah. Farah tentu senang karena dia bisa hamil lagi, tapi mungkin Dian
juga sudah tahu namun belum mengetahuinya lebih lanjut lagi.
Farah terdiam sejenak dan kembali kepada
memori yang tidak bisa dihapus di kepala Farah.
-------------------
-=2012=-
Pada situasi yang sama, Farah hamil 3
bulan anak pertama dari Dian. Berhubung juga Dian sedang cuti, maka Dian pun
mengajak Farah ke sebuah kafe untuk merayakannya. Hanya mereka berdua. Dian
juga sedang tidak memakai baju tentara, hanya memakai baju biasa saja.
“Selamat, istriku. Karena kau hamil 3
bulan anak kita. Oh ya, kira-kira, anak kita ini nanti jenis kelaminnya apa?
Laki-laki atau perempuan? Kau sukanya apa?” tanya Dian dengan penuh
keromantisan.
“Hmm, aku sukanya perempuan.”
“Kenapa?”
“Karena nanti dia akan membantuku dalam
masak atau bersih-bersih. Mungkin Mas mau laki-laki, ya?”
“Kenapa memangnya?”
“Karena nanti dia akan menemani Mas
nonton bola sampai malam, sampai akhirnya dia lupa akan sekolah. Nanti itu
penyebab Mas, lho,” ucap Farah dengan nada yang bercanda.
“Ihh, gak gitu juga sih. Masa nanti anak
kita akan bodoh? Nanti anak kita akan kuat seperti Ayahnya. Karena Ayahnya
adalah seorang prajurit.”
“Ah, iya deh, iya. Betul juga apa yang
Mas bilang. Nanti anak kita akan kuat dan tangguh, tak peduli anak kita
laki-laki atau perempuan. Tapi apa kita akan berharap anak kita laki-laki saja?
Karena aku kepikiran anak kita laki-laki.”
“Lho, kok berpikir begitu?”
“Tidak, cuman... aku ingin melihat anak
kita seperti Mas, seorang prajurit.”
“Ooh, begitu. Ya sudah, semoga anak kita
laki-laki. Oke? Kita bersulang.” Dian pun menyodorkan gelas yang berisi minuman
pada Farah dan menyuruhnya untuk bersulang.
“Bersulang.” Farah pun membalas sodoran gelas Dian.
Farah tentu sangat senang karena usia
kehamilannya dirayakan oleh Dian.
------------------------
-=2016=-
Farah kini tentu berada dalam
kesendirian. Tanpa Dian, orang yang disayanginya. Farah tidak bisa berkata
apa-apa lagi selain bisa merenungkan kesedihannya. Farah hanya bisa menadahkan
kepalanya di meja sambil menenangkan pikirannya.
Setelah menandatangani surat itu, Pak
Hermawan dan istrinya pun bersiap pergi ke Jakarta untuk mendapat kabar lebih
lanjut tentang perkembangan Dian. Pak Hermawan siap apa adanya jika mendapat
kabar yang buruk terhadap anaknya, dan Pak Hermawan tidak boleh bersedih karena
itu. Kabar baik ataupun buruk, Pak Hermawan tetap harus siap.
BERSAMBUNG