Rabu, 29 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 11



BAGIAN SEBELAS

* * *

-=2012=-

Dian dan Farah pun akhirnya menikah. Setelah melakukan resepsi pernikahan di siang hari, mereka berada di dalam mobil dan mereka pun sudah berstatus pengantin baru. Nampaknya Dian dan Farah sudah sangat lengket, terbukti dia terus-terusan memegang tangan masing-masing. Sopirnya saja termewek-mewek melihat pasangan serasi ini. Apalagi Dian memakai seragam tentara, sementara Farah memakai pakaian berwarna hijau muda.

“Dian, sepertinya sopir itu terus melihat kita. Apa tak apa kita memegang tangan terus?” ujar Farah yang melihat sopirnya terus memperhatikannya dan juga Dian.

“Tak apa, sayang. Jangan takut, selagi aku berada di sampingmu.” Dian pun mulai memanggil Farah dengan sebutan sayang.

“Iya, yah. Tapi kita mau ke mana sekarang?”

“Kita harus ke markas dulu, melakukan tradisi penyambutan. Kamu boleh berinteraksi dengan orang-orang di sana.”

“Hmm, baiklah. Berapa lama lagi kita sampai?”

“Kita akan sampai ¼ menit lagi. Tenang saja, yah.”

“Baiklah.”

Sesuai dengan perkiraan Dian yang ¼ menit lagi mereka sampai, akhirnya mereka sampai sesuai yang diperkirakan Dian. Pak sopir pun membuka pintu untuk Dian dan Farah dan mereka pun turun bersamaan dan mereka disambut oleh semua orang yang ada di markas seperti layaknya diberi kejutan ulang tahun kepada temannya.

Dian dan Farah diberi pelayanan yang baik di markas. Mereka layaknya raja dan ratu, di mana banyak jamuan makanan di depan mereka. Ya, seperti itulah Dian dan Farah. Mereka sedang berpesta bersama kawanan Dian di markas. Seperti biasa, jika ada salah satu anggota yang menikah, maka akan diberikan jamuan sebagai hadiah pernikahan mereka. Berhubung Dian yang menikah, jadi mereka membuat pesta yang sangat meriah tergantung dari seberapa kuatnya orang yang menikah itu untuk di sisi militer-nya.

Dian sangat senang mendapatkan istri yang sangat cantik seperti Farah, begitu pula dengan Farah yang juga sangat senang mendapatkan suami yang menjadi prajurit TNI yang gagah dan kuat seperti Dian.

Setelah selesai berpesta, Dian dan Farah pulang ke rumah baru mereka yang agak sedikit elit kelihatannya. Di sinilah mereka tinggal. Semua tas koper Dian dan Farah dipindahkan ke rumah ini. Bahkan barang-barang fisik pun dipindahkannya. Semua barang-barang makanan dan minuman sudah ada di rumah mereka.

Karena Dian dan Farah merasa capek karena sudah berpesta di markas dan mengangkat barang-barang mereka, kini mereka pun tiduran di spring bed bersama. Mereka tidur bersama di malam pertama mereka sebagai suami-istri. Karena Dian mempunyai badan yang begitu bidang, maka Dian pun memeluk istrinya dengan tangan kanannya.

“Gimana? Nyaman dipeluk olehku? Kau bilang kau suka bukan dengan pelukanku?” tanya Dian dengan bisikan yang menggoda.

“Iya, suka banget. Nyaman dipeluk oleh orang yang berbadan gede. Hihihi,” ucap Farah sambil tertawa cekikikan.

“Yah, tapi kan tidak setiap hari kau bisa rasakan yang seperti ini. Karena aku mungkin akan meninggalkanmu dalam tugas militer. Aku hanya diizinkan cuti selama resepsi pernikahan.”

“Berarti kau hanya diizinkan selama 1 hari saja?”

“Hmm, bisa saja sih. Tergantung dari situasinya. Aku tetap akan tugas nantinya. Itulah makanya aku selalu bilang padamu, kau harus ikut kegiatan ibu-ibu Persit. Biasanya tuh ibu-ibu Persit melakukan kegiatan yang bermanfaat, mereka juga adalah ibu-ibu yang ditinggalkan suaminya untuk bertugas. Visi utamanya itu adalah mendukung suaminya dalam berkarir. Kau juga harus seperti itu. Oke?”

“Hmm, baiklah, Dian. Tapi, kelihatannya Ayah Mertua sudah sangat tua yah, beda dengan Ibu Mertua. Umur berapa mereka?” Farah tiba-tiba bertanya tentang orang tua Dian, yang membuat Dian agak terkejut.

“Eumm, umur Ayahku kira-kira 58 tahun, ibuku 54 tahun. Rumahnya ada di Bandung. Jadi wajarlah kalau mereka sudah tua.”

“Ooh, begitu. Kalau saya mah, orang tuaku tidak tua-tua amat. Kenapa bisa tua begitu ya, Dian?”

“Lha, kan emang gitu orang tua. Biasanya cepat tua, dan gak selamanya akan muda.”

“Iya juga sih. Ehh, Mas Dian, boleh ambilkan aku air? Aku haus.”

“Iya. Tunggu sebentar yah, sayang,” kata Dian sambil melepas pelukannya pada istrinya kemudian bangun untuk mengambil air.

“Tunggu, Mas. Kalau bisa air-nya yang dingin yah. Haus sekali aku ini.”

“Iya, iya. Jangan manja gitulah.” Dian lalu mengelus kepala istrinya dengan lembut, lalu Dian pergi keluar untuk mengambil air.

Di ruang utama, Dian mengambil sebotol air dingin di kulkas dan kemudian mengambil camilan untuk mereka makan berdua.

Dian pun masuk kembali ke dalam kamar dan Farah langsung saja meneguk air dingin itu karena merasa sudah sangat kehausan.

“Gluk, gluk, gluk,” seteguk demi seteguk Farah meminum air itu tanpa dituangkan ke dalam gelas sekalipun. Dian yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat istrinya minum air seperti tidak pernah minum air selama seminggu. Farah langsung meminumnya dari botolnya dan akhirnya botol itu habis dalam satu liter.

“Wah, kelihatanya istriku sangat kehausan yah. Minum langsung dari botolnya.”

“Iya, dong. Saya sangat kehausan, bagaimana tidak karena tadi capek angkat barang.”

“Iya deh. Kau memang tangguh yah. Sama sepertiku, tangguh juga.”

Dian kembali memeluk istrinya seperti tadi. Dan mereka diam sejenak, kemudian mereka berbicara kembali.

“Oh iya... bagaimana kalau kita mengingat kenangan lama kita? Dan kita melakukannya hari ini,” kata Dian yang menyuruh istriya untuk mengingat sesuatu.

“Mengingat apa?”

“Ingat tentang tahun 2005. Tentang ciuman pertama kita.”

“Ahh, jangan ingat masa itulah. Aku jadi merinding.”

“Sudahlah, ingat sajalah. Yang duluan nyium siapa?”

“Ehh, bukannya Mas yang duluan nyium aku?”

“Tapi kau yang minta. Kenapa?”

“Oh, iya yah. Tapi kan bukannya kau...,” tiba-tiba saja, Dian mencium bibir Farah dengan secepat kilat. Hingga akhirnya, ciuman itu masih berlanjut dengan nikmat oleh mereka. Bahkan sampai menutupi selimut mereka. Mereka akhirnya bergumul malam itu. Mereka menikmati permainan yang mereka ciptakan sepanjang malam.

---------------------------

Keesokan harinya, Farah yang masih berada di tempat tidur akhirnya bangun dengan lemasnya. Farah bangun lalu masuk ke kamar mandi. Sementara Dian, sudah siap dengan memakai kemeja tentara dan topi tentara-nya. Dian nampak gagah dengan seragam tentara yang sedang ia pakai. Dian sedang melihat ke cermin, dan wajahnya masih nampak ganteng. Dan kemudian memakai topi tentara, sudah sangat pas dengan yang dipakainya sekarang.

Tak lama, Farah keluar dari kamar mandi dengan sangat senang dan langsung menghampiri suaminya. Suaminya kaget Farah keluar dengan sangat riang.

“Ehh, kau ini kenapa sih? Dian kaget tau!”

“Mas, aku... aku... aku hamil, Mas! Aku hamil!” Tiba-tiba, Farah berlompat kegirangan karena tahu bahwa dirinya sedang hamil.

“Oh? Benarkah? Selamat kalau begitu.” Wajah Dian hanya biasa saja mendengar kabar istrinya.

“Lho, itu saja?”

“I--iya. Aku senang dong kalau istriku hamil. Cuman hari ini aku sangat sibuk. Ada tugas militer yang harus aku jalani.”

“Tugas?”

“Tenang kok, aku akan pulang sebentar malam. Ada makanan yang sudah kusimpan di kulkas. Jadi, baik-baiklah di rumah.” Dian lalu mengelus kepala istrinya lalu menciumnya, kemudian dia pergi meninggalkan Farah sendirian di rumah.

Dian membawa mobilnya dan langsung pergi menuju markas. Farah akhirnya sendirian di rumah. Menjadi istri seorang prajurit memang melelahkan bagi Farah. Namun mendapat kasih sayang dari seorang prajurit, akan menyusahkan karena prajurit itu harus pergi berjuang demi Negara.

--------------------------

-=2016=-

Sekarang tidak ada lagi Dian di sisi Farah. Begitupun dengan Ayah Dian, Pak Hermawan. Tidak ada lagi Dian di sisi Pak Hermawan. Meskipun begitu, Dian tetap ada untuk melihat orang-orang tercintanya.

Di Bandung, Pak Hermawan dan istrinya disuruh Sersan Herman untuk menandatangani surat yang menjadi kerahasiaan kematian Dian. Pihak TNI sengaja merahasiakan kematian Dian karena terikat pada aturan yang harus mereka taati. Surat itu adalah sumpah kerahasiaan bagi para prajurit.

“Dan dengan berat hati, Pak Hermawan sebagai Ayahnya harus menandatangani ini. Bukannya kami ingin lantang, tapi ini adalah aturan. Aturan yang harus kami patuhi. Jadi, Bapak tidak boleh keberatan dengan ini. Kami tidak ingin kasih tahu media soal ini,” ucap Sersan Herman sedikit mendesah.

“Dian mati karena ingin melindungi Negara? Dan Dian mati karena ingin menyelamatkan seseorang?” Pak Hermawan lalu berkaca-kaca mendengar ucapan Sersan Herman.

“I--iya, Pak.”

“Awalnya Bapak keberatan dengan ini, tapi karena ini adalah anakku, jadi Bapak tanda tangani saja.”

Dengan berat hati, Pak Hermawan pun menandatangani surat itu sambil menangis. Pak Hermawan keberatan jika anaknya mati dalam misi untuk melindungi Negara. Pak Hermawan menyesal, jika dirinya mendukung Dian untuk menjadi tentara.

-----------------------------

Sementara istri Dian, Farah, tetap melakukan aktivitasnya sebagai Dokter. Melakukan operasi, memeriksa kesehtatan pasien, memeriksa obat, dan lainnya, semua dia lakukan tanpa mengingat lagi akan Dian.

Saat sesudah melakukan operasi, Farah pun duduk di cafetaria sambil memakan sandwich buatannya. Farah capek dan sedikit pusing karena hari ini, dia di-diagonis hamil 3 bulan anak kedua Dian dan Farah. Farah tentu senang karena dia bisa hamil lagi, tapi mungkin Dian juga sudah tahu namun belum mengetahuinya lebih lanjut lagi.

Farah terdiam sejenak dan kembali kepada memori yang tidak bisa dihapus di kepala Farah.

-------------------

-=2012=-

Pada situasi yang sama, Farah hamil 3 bulan anak pertama dari Dian. Berhubung juga Dian sedang cuti, maka Dian pun mengajak Farah ke sebuah kafe untuk merayakannya. Hanya mereka berdua. Dian juga sedang tidak memakai baju tentara, hanya memakai baju biasa saja.

“Selamat, istriku. Karena kau hamil 3 bulan anak kita. Oh ya, kira-kira, anak kita ini nanti jenis kelaminnya apa? Laki-laki atau perempuan? Kau sukanya apa?” tanya Dian dengan penuh keromantisan.

“Hmm, aku sukanya perempuan.”

“Kenapa?”

“Karena nanti dia akan membantuku dalam masak atau bersih-bersih. Mungkin Mas mau laki-laki, ya?”

“Kenapa memangnya?”

“Karena nanti dia akan menemani Mas nonton bola sampai malam, sampai akhirnya dia lupa akan sekolah. Nanti itu penyebab Mas, lho,” ucap Farah dengan nada yang bercanda.

“Ihh, gak gitu juga sih. Masa nanti anak kita akan bodoh? Nanti anak kita akan kuat seperti Ayahnya. Karena Ayahnya adalah seorang prajurit.”

“Ah, iya deh, iya. Betul juga apa yang Mas bilang. Nanti anak kita akan kuat dan tangguh, tak peduli anak kita laki-laki atau perempuan. Tapi apa kita akan berharap anak kita laki-laki saja? Karena aku kepikiran anak kita laki-laki.”

“Lho, kok berpikir begitu?”

“Tidak, cuman... aku ingin melihat anak kita seperti Mas, seorang prajurit.”

“Ooh, begitu. Ya sudah, semoga anak kita laki-laki. Oke? Kita bersulang.” Dian pun menyodorkan gelas yang berisi minuman pada Farah dan menyuruhnya untuk bersulang.

“Bersulang.” Farah pun membalas sodoran gelas Dian.

Farah tentu sangat senang karena usia kehamilannya dirayakan oleh Dian.

------------------------

-=2016=-

Farah kini tentu berada dalam kesendirian. Tanpa Dian, orang yang disayanginya. Farah tidak bisa berkata apa-apa lagi selain bisa merenungkan kesedihannya. Farah hanya bisa menadahkan kepalanya di meja sambil menenangkan pikirannya.

Setelah menandatangani surat itu, Pak Hermawan dan istrinya pun bersiap pergi ke Jakarta untuk mendapat kabar lebih lanjut tentang perkembangan Dian. Pak Hermawan siap apa adanya jika mendapat kabar yang buruk terhadap anaknya, dan Pak Hermawan tidak boleh bersedih karena itu. Kabar baik ataupun buruk, Pak Hermawan tetap harus siap.

BERSAMBUNG





Minggu, 26 Juni 2016

[Cerbung] Remember Dad - Episode 10




BAGIAN SEPULUH

* * *

-=2012=-

Dian Hermawan seperti biasa menunggu calon istrinya, bisa disebut begitu, karena mereka akan menikah tahun ini. Farah Salsabila datang dengan memakai jas dokternya, dan mereka saling tersenyum.

“Kamu sudah datang? Bagaimana kabarmu sekarang?” Dian senang melihat Farah tersenyum lagi.

“Baik, dong. Kita jadi jarang bertemu karena kamu selalu mendapat tugas militer,” kata Farah dengan wajah cemberut.

“Oh ya, sudah pesan makanan? Aku pesankan.”

“Nanti saja, aku ingin bicara.”

Farah pun duduk berhadapan dengan Dian. Mereka sedang serius ingin membicarakan sesuatu.

“Tadi ada acara penting, Dian?” Farah bertanya dengan wajah serius.


“Iya, acara penyambutan karena aku sudah menyelesaikan operasi militer. Dan aku mendapat pujian dari pak Jenderal,” ucap Dian sambil senyum-senyum.

“Ooh, selamat kalau begitu. Dan juga... kamu ingat tidak dengan janjimu tahun lalu?”

“Hah? Janji apaan?” Dian tidak mengerti dengan pertanyaan Farah soal janjinya tahun lalu.

“Saat nanti kamu sudah menyelesaikan operasi militermu yang penting itu, kamu akan segera menikahiku, kan? Kapan kita akan menikah?”


“Hmm, kalau bisa seminggu lagi?”

“Kenapa memangnya?”

“Soalnya kamu harus urus ini, urus itu. Beda kalau yang lainnya. Aku ini tentara. Banyak yang harus diurus ketika ingin menjadi seorang istri tentara. Apa kamu mau gabung menjadi PERSIT?”

“Persit itu apaan? Bukannya persatuan sepak bola?” tanya Farah yang tidak tahu apa itu persit.

“Bukan. Persatuan Istri Tentara. Kamu harus gabung karena kamu nanti akan menjadi istriku. Calon suamimu ini adalah seorang tentara.”

“Susahkah untuk mengurus ini-itu?” Farah bingung dengan perkataan Dian.

“Tidak juga, selama aku ada di sampingmu.” Dian pun mulai menggoda Farah.

“Ah, kau ini selalu saja menggodaku.”

“Kapan kita akan mengurus ini? Seminggu lagi, ‘kan?”

“Terus pernikahan kita kapan?”

“Yah, seminggu lagi.”

“Berarti kita harus mengurusnya mulai hari ini.”

“Kalau mau, kita selesaikan acara yang penting.”

“Acara apaan?”

“Acara makan malam bersama. Itu yang terakhir sebelum kita diikatkan oleh suatu pernikahan.”

“Makan malam di mana?”

“Di tempat yang selalu kita datangi. Di dekat gedung pemerintahan. Ada restoran yang selalu aku kunjungi.”

“Ooh, yang di sana itu? Oke, kita kesana nanti.”

“Baiklah. Eh, sungguh kamu tidak ingin makan di sini? Aku akan pesankan untukmu.”

“Oh, iya. Pesankan aku sekarang.”

“Baik.” Dengan tergopoh-gopoh, Dian langsung pergi ke meja kasir untuk memesankan makanan untuk Farah dan dirinya juga.

--------------------------------

Mereka pun akhirnya makan malam bersama. Dian dan Farah tidak memakai pakaian kerja mereka, namun mereka berpakaian ala kadarnya. Dian langsung mempersilakan Farah untuk duduk dan mereka duduk berhadapan.

“Farah, pasti kamu senang menikah dengan seorang prajurit TNI?”

“Hmm, tentu aku senang.”

“Senang sih senang, tapi kamu harus ikut gabung di PERSIT (Persatuan Istri Tentara). Susah tau untuk masuk di situ, kamu tidak boleh merengek seperti cewek lain, kamu harus jadi ibu-ibu. Kamu harus gabung bersama ibu-ibu. Sanggupkah kamu?” tanya Dian denga tegas.

“Aku tidak menyesal menikah denganmu. Karena aku cinta padamu. Kita juga saling memahami, dan juga kita juga saling bersama satu sama lain. Itu sebabnya aku ingin terus bersamamu, dengan menikah.”

“Baiklah. Tapi ada satu hal yang ingin kukatakan padamu.”

“Apaan itu?”

“Kau harus janji. Jika suatu saat aku akan ditugaskan dalam menjalankan misi, kau tidak boleh memarahiku jika aku terluka. Atau bahkan mempertaruhkan nyawa.”

“Mempertaruhkan nyawa? Berarti itu namanya mati dong?”

“Iya. Tapi ini adalah tugas. Kau harus pegang janjiku. Jangan mengeluh jika aku pergi, setidaknya bergabunglah dengan ibu-ibu Persit. Atau bersenang-senang sesuai kemauanmu, tapi jangan kelewatan juga. Jangan berpikir aku adalah seorang pria biasa, aku adalah seorang prajurit. Kau tidak boleh menganggapku pria main-main, aku adalah seorang pria yang kuat dan gagah. Janji itu harus kau pegang jika aku sudah menjadi suamimu. Oke?”

“Hmm, oke.”

“Nah, kalau begitu, kita harus memuji satu sama lain sebelum nikah. Ini adalah sebuah tradisi untuk kita, supaya kita saling menyukai. Gimana, setuju?”

“Iya, setuju. Mulai dari kamu deh, Dian.”

“Baiklah, saya mulai. ‘Kau adalah wanita yang paling cantik, baik, dan juga pintar. Karena kau nanti akan menjadi istriku, kau harus bersedia melayani apa yang aku mau.’ Oke?” ujar Dian dengan penuh canda.

“Ahh, dasar. Kita saja masih belum menikah, malah bicarakan itu. Oke, sekarang giliranku. ‘Kau adalah pria yang paling gagah, kuat, berani, dan pintar juga. Kau mungkin akan tahan bukan jika aku main dengan baik?’” Farah juga bercanda dengan Dian.

“Ahh, kau juga sama yah. Tunggulah sebentar lagi. Dalam seminggu, kita sudah menjadi pasangan yang halal.”

“Oke. Pipimu tembem sekali, Dian.” Farah memegang pipi Dian yang agak tembem.

“Kau juga, Farah. Tembem juga.” Dian pun juga memegang pipi Farah.

Selama makan malam, yang dilakukan Farah dan Dian hanyalah bercanda satu sama lain. Tidak disangka, Dian ternyata orangnya suka bercanda. Selalu tersenyum di depan Farah, dan juga selalu tersenyum di depan orang lain. Walaupun dia adalah prajurit, tapi Dian tetap adalah seorang pria yang suka menyenangkan orang lain.

-----------------------

-=2016=-

Kini, tidak ada lagi senyum dan canda dari Dian. Karena Dian gugur dalam tugas menjalankan operasi militer di dekat kota Damaskus, Suriah. Di kamp militer Dian, suasana menjadi penuh haru, karena semua orang yang ada di kamp mengetahui kalau Dian dan Sersan Irdan mati di tengah-tengah operasi militernya.

Jam 1 siang, semua tentara yang diikutkan dalam misi di Suriah sudah pulang ke Indonesia. Di bandara, semua tentara di kamp Bataliyon berbaris untuk menghormati mereka yang sudah pulang, termasuk pak Jenderal. Sersan Yanuar dan Sersan Raka juga menghormati pak Jenderal. Lalu mereka melaporkan sesuatu.

“Hormat, pak Jenderal! Operasi militer kali ini sudah berhasil. Namun jasad pak Letkol Dian dan pak Sersan Irdan... kita masih belum menemukannya.”

Pak Jenderal hanya diam saja mendengar laporan dari Sersan Yanuar.

----------------------

Orang tua Dian kini masih berada di Bandung. Mereka sedang melakukan aktivitas yang sering mereka lakukan. Namun tiba-tiba, mereka kedatangan para prajurit yang datang ke rumah orang tua Dian.

“Bu, kok ada prajurit yang datang ke rumah kita? Apa mungkin tentang Dian?” heran Ayah Dian yang melihat para prajurit turun dari mobil jeep.

“Iya, tuh, Pak. Kita hampiri saja mereka.”

Ayah dan Ibu Dian langsung menghampiri para prajurit itu, dan ternyata Sersan Herman datang untuk melaporkan sesuatu.

“Lho, Sersan Herman? Bukannya kau yang selalu bersama Dian? Ada apa datang kemari di Bandung?”

“Ehh, saya datang ke Bandung, ada yang saya umumkan. Sebelumnya, saya minta maaf, Pak. Jika saya mengumumkan ini.” Sersan Herman nampak gelisah di hadapan Ayah dan Ibu Dian.

“Minta maaf kenapa sih? Apa Dian buat masalah? Itu tak perlu dikhawatirkan. Bilang saja, ada apa?” Ayah Dian nampak tidak tahu dengan keadaan anaknya sekarang ini.

“Hmm, Pak Letnan Kolonel... Dian Hermawan. Dan juga... Sersan Irdan Yulinsyah. Telah gugur dalam tugasnya.”

“A--Apa? Sersan Herman ini bilang apa? Gugur? Jadi maksudmu, Dian meninggal, bukan?”

“Saya--- sungguh minta maaf, Ayahnya Dian. Mereka mati, karena tugas Negara. Jadi, harap dimaklumkan, Pak.”

Ayah dan Ibu Dian mulai berkaca-kaca mendengarkan apa yang dibilang oleh Sersan Herman. Begitupun dengan Farah Salsabila. Farah dengar dari mertuanya sendiri bahwa Dian sudah mati di sana. Tentu saja Ayah dan Ibu Dian langsung berangkat ke Jakarta untuk menenangkan Farah.

-----------------------------

Setelah mendengar kabar itu, Farah menangis terus menerus karena kabar itu. Tidak mungkin Dian mati karena tugas Negara. Farah masih saja menangis karena mendengar bahwa suaminya mati di Suriah. Tidak mungkin.

Di rumah sakit, Farah berpapasan dengan teman sesama Dokter-nya. Farah sedang minum jus bersama temannya.

“Oh ya, suamimu sudah pulang belum dari Suriah? Setidaknya aku harus dapat oleh-oleh dari suamimu.” goda temannya yang tidak mengerti akan keadaannya Farah saat ini.

“Oh? Belum. Dia belum pulang, dia masih di sana. Kau jangan terus-terusan menggoda Dian. Karena dia sudah ada yang punya.” Farah hanya menjawab sekadarnya saja sambil bercanda ria dengan temannya.

“Tapi dia adalah tentara yang gagah, setidaknya aku harus goda dia sedikit. Tak apa kan kalau aku dapat izin dari seorang istri tentara?”

“Sudah ah, jangan. Jangan goda dia terus, nanti aku marah lho.” Farah masih saja bercanda lalu kemudian menadahkan dagunya di telapak tangannya dan wajahnya kemudian menyusut. Tiba-tiba suasana menjadi hening.

“Kau kenapa, Farah?”

“Ti--tidak kok. Aku hanya kepikiran sesuatu.”

“Kepikiran tentang apa?”

“Cuman... aku memikirkan bagaimana susahnya menjadi anggota Persit. Aku mungkin harus beradaptasi dengan ibu-ibu. Tapi, aku tidak boleh merengek sesuka hatiku karena itu namanya melanggar aturan. Tapi aku harus merengek di depan Dian.” Farah kemudian mendesah ketawa sambil berkaca-kaca.

“Apaan sih, kok kamu ketawa gitu? Memangnya kamu gila, ya?”

“Yah... tadinya aku baik-baik saja. Tapi saat aku memikirkannya... kurasa aku menjadi gila betulan.” desah Farah kemudian sedikit mengeluarkan air matanya.

Melihat Farah yang tiba-tiba cemberut, temannya pun langsung menghibur Farah.

“Kau mau dengar cerita lucuku?”

Farah hanya menggeleng, dengan air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau kita minum jus lagi, mau?”

“Iya, saya mau.” Farah lalu menghapus air matanya, dan mereka pun tertawa.

“Nih, jus-nya kamu habisin saja semuanya,” kata temannya yang masih menghibur Farah dan mereka pun kembali minum jus.

-----------------------

Di kamar Dian dan Farah, di mana kamar itu mereka bergumul setiap malam jika Dian punya waktu, Farah duduk sendirian, memandangi boneka tentara yang diberikan oleh Dian. Farah kemudian menatap boneka itu sambil bergumam sendiri.

“Kenapa boneka itu tidak dipoles saja ya? Supaya lebih menyerupai dirimu? Jika boneka itu adalah patung, aku bisa memolesnya sendiri supaya aku bisa melihat dirimu.”

Lalu tiba-tiba, sesosok yang menyerupai Dian datang dan menghibur Farah yang sedang sedih.

“Jika kamu dipoles maka kau akan cantik.” Begitulah perkataan Dian saat muncul di hadapan Farah.

Farah langsung menghadapkan mukanya ke depan pria yang selama ini dirindukannya.

“Aku merindukanmu, Dian.” Farah hanya bicara sekadarnya saja.

“Aku juga, istriku.” Begitupun dengan “Dian”, hanya sekadarnya saja.

“Kenapa kau tak datang? Bagaimana janjimu padaku? Apa janjimu itu tidak ada apa-apanya bagimu?”

“Aku akan datang, kok. Tapi, aku harus melakukan ini untuk Negara juga.”

“Tapi ini, kau tidak datang. Kau tidak datang, harusnya kau bawa oleh-oleh.” Farah kemudian mulai menundukkan kepalanya lalu menangis, dan sesosok Dian pun menghilang dan hanya tinggal boneka tentara saja.

Farah menangis dan terus menangis karena ini. Sementara boneka tentara yang ditaruh di ranjang, hanya menampakkan wajah senyum dari boneka itu.

BERSAMBUNG