MiniNoveling
Blog fiksi karya Ari Usman / faridusman. Jika ingin re-post hasil karya saya, silakan. Tapi ijin dulu ke pemiliknya, dan jika dijinkan harus menyertakan nama blog dan link blognya untuk sumbernya.
Minggu, 07 Mei 2017
[Cermin] Nak, Jangan Main Air
*cerita mini ini juga diikutkan dalam event Jawara ETK 01 Tema Air (PJ dari Tim Kreatif Jawara)
Air yang mengalir di prosotan tempat wisata air membuat anakku yang laki-laki sangat bersemangat dan menarik-narik tanganku untuk pergi mandi di kolam yang penuh orang tersebut.
“Ayah, ayo kesana. Pengen main air.”
Sebagai seorang Ayah, tentu aku harus menuruti apa kata anakku. Tapi aku juga harus berhati-hati. Pernah suatu hari anakku kena pilek karena asyik-asyiknya main air, dan aku menasehatinya, “Nak, jangan main air. Nanti sakit.” Tapi karena ini musimnya liburan, tentu anakku tidak boleh murung karena Ayahnya melarang main air.
Aku menemani anakku yang usia 5 tahun itu bermain air. Di kolam, hanya ada aku dan anakku. Sementara istriku tidak main air karena harus menjaga jabang bayiku di dalam rahimnya.
30 menit anakku main air dan aku ingin segera beranjak dari kolam. Aku menyuruh anakku berhenti bermain air.
“Nak, ayo makan. Sudah cukup main airnya.” Tapi anakku tidak menghiraukannya dan tetap bermain.
“Dennis. Sudahlah, Nak. Jangan main air.”
Tapi anakku tetap saja tidak peduli apa kata Ayahnya. Dan dengan terpaksa, aku menggendongnya keluar dari kolam dan duduk di pinggir. Anakku sampai menangis-nangis ingin kembali ke kolam itu, tapi aku tetap melakukannya dengan terpaksa.
“Ayah! Ayah, mau main lagi. Tidak mau digendong dengan Ayah!” itulah seruannya yang kudengar.
Aku menyuruhnya berhenti menangis. “Dennis! Dennis! Dengarkan Ayah! Sudah, jangan menangis. Dengarkan Ayah!”
Walau dia masih menangis, aku menasihatinya sambil terus menenangkannya. “Nak! Sudah berapa kali Ayah bilang jangan main air. Nanti Dennis sakit.”
“Kenapa Ayah melarang Dennis main air?” tanya anakku meraung.
“Itu karena air sumber kehidupan. Kalau Dennis main air terus, nanti air akan hilang dan tidak bisa kita pakai. Mau Dennis tidak minum, tidak mandi?”
“Tidak mau, Yah.”
“Nah, maka dari itu, Dennis jangan main air ya. Kalau Dennis tidak main air, Ayah akan bangga padamu, Nak.”
Aku mencium anakku yang sudah kembali ceria, dan akan mendengarkan nasihat Ayahnya.
* * *
Rabu, 15 Februari 2017
[Cerpen] Travel Writer
***
Diana sedang menunggu bis terakhir jam 5 sore. Pada saat itu, sedang hujan deras. Diana harus menunggu sampai bis datang. Biasanya ia menunggu 10 menit saja, namun ia harus bersabar karena sudah 20-30 menit lebih bis tidak datang-datang juga. Lalu, tiba-tiba ada seorang pria tinggi dan ganteng berada di samping Diana yang sedang menunggu sesuatu. Pria itu memakai tas punggung bermerek “Jansport” warna abu-abu. Diana seakan terpana melihat pria itu. Wajahnya segar dipandang, rahangnya juga terbentuk bagus, dan badan agak sedikit kekar. Diana seakan mendapat lampu hijau buat memandanginya terus.
Setelah lama Diana memandanginya, tiba-tiba si pria itu memanggil taksi yang sedang lewat di saat hujan. Pria itu masuk dan tanpa sadar bahwa sebuah buku tercecer di bawah. Diana pun langsung memungut buku berwarna putih tersebut dan membukanya. Buku yang berukuran A5 tersebut rupanya adalah buku non-fiksi tentang travel. Diana semakin penasaran dengan buku tersebut dan membacanya terus.
***
Diana melanjutkan baca bukunya di dalam bis. Karena tak berapa lama bis terakhir pun datang, dan Diana pun langsung masuk dalam bis dan duduk di belakang. Penulis buku travel tersebut ternyata bernama Rian Wirajaya. Ia berumur 34 tahun dan memiliki seorang istri berumur 32 tahun. Ia menulis buku jalan-jalan tentang indahnya kota hujan di Bogor. Ia lebih suka bila hujan datang. Karena hujan bisa mendatangkan cinta. Rian menulis buku itu untuk istrinya, karena saat pacaran dulu ia bertemu pertama kali dengan istrinya saat hujan tiba. Maka dari itu ia mendefinisikan demikian. Selain itu, hujan lebih enak dipandang bila senja sudah tiba. Maka saat itulah ia membuat harapan, semoga segalanya bisa lebih baik. Hujan di Kota Bogor memang mengasyikkan, karena ia baru pertama kali melihat hujan yang enak dipandang di sana. Tak seperti di tempat-tempat yang lain, di Bogor lebih mengasyikkan. Ia menulis buku itu dengan sangat detail.
Diana tersenyum sendiri membaca buku itu. Ia menjadi tahu dengan tulisan Rian ini. Ia lebih suka dengan kata mutiara yang Rian buat dalam buku itu.
“Hujan adalah bintang, maka kau bisa menikmatinya. Senja adalah bulan, maka kau bisa menikmatinya. Hujan yang turun pada saat senja, kau bisa membuat harapanmu.”
Diana sejenak memandangi hujan di luar jendela. Ya, ini sudah senja, ditambah lagi turunnya hujan deras. Diana berharap bisa menemukan Rian, yang buku karyanya tercecer dan dipegang oleh Diana. Ia berpikir pasti Rian sedang mencari buku itu, padahal buku itu sangat special. Ada tulisan lambang cinta dan tanggal pernikahan Rian dan istrinya. Plus tanda tangan Rian dan istrinya. Itu adalah buku yang special buat Rian, dan Diana harus mengembalikan buku itu padanya.
***
Butuh waktu 50 menit untuk bisa sampai di halte tujuan Diana. Dan akhirnya bus itu sampai pada halte tujuannya. Pada jam 6 sore, Diana memakai payungnya sambil berjalan di trotoar kota.
Saat berjalan, Diana menemukan Rian sedang duduk di sebuah cafe depan jalan utama kota Jakarta Selatan. Diana tersenyum melihatnya dan langsung masuk dalam cafe tersebut. Rupanya Rian masih belum menyadarinya bahwa bukunya tercecer saat ingin menaiki taksi. Dan saat itupun, Diana langsung duduk di hadapan Rian dan tersenyum. Rian heran dengan kehadiran seorang wanita secara mendadak. Apalagi ia terlanjur menikmati suasana cafe yang hening.
“Eh, Anda siapa, ya? Mengapa duduk di meja saya?” tanya Rian dengan sopan.
“Sebelumnya minta maaf karena duduk di hadapan Anda. Ada yang mau saya katakan pada Anda. Penting soalnya.”
Mendengar perkataan Diana, membuat Rian seolah penasaran tentang apa yang akan dikatakan Diana. “Apa-- apa yang mau Anda katakan pada saya?”
“Ini...,” sambil memberikan buku warna putih pada Rian. “Buku Anda, ‘kan?”
Rian mendadak terbelalak melihat buku itu, dan baru menyadari bahwa bukunya hilang.
“Oh? Kenapa buku saya ada pada Anda?”
“Begini, Pak. Saat Anda mau menaiki taksi, tak sengaja buku Anda jatuh. Saya mengambilnya dan saya langsung jatuh hati dengan buku Anda.”
Rian tersenyum kecil mendengar pujian Diana.
“Anda... Travel Writer, ‘kan?” lanjut Diana.
“Iya. Dan buku itu adalah buku kedua saya. Judulnya ‘Beautiful Rain in Bogor’.”
“Apa ada alasan tertentu Anda memilih kota Bogor sebagai bagian dari tulisan Anda?”
“Ada, karena saya bertemu dengan istri saya di Bogor, dan istri saya asalnya dari Bogor. Anak saya juga lahir di Bogor. Semua hal-hal penting terjadi di Bogor.”
“Sepertinya Anda beruntung yah. Karena kata mutiara yang Anda tulis sepertinya menjadi kenyataan.”
“Maksudnya, mbak?” Rian bingung dengan yang Diana katakan.
“Maksud saya, harapan Anda terkabul, karena Anda telah membuat saya terinspirasi. Dan Anda bilang Hujan di Langit Senja bisa mengabulkan harapan.”
“Iya. Saya mendefinisikan Hujan seperti bintang, dan Senja seperti bulan. Saya hanya berharap bila aku bisa traveling lagi.”
Diana tersenyum, Rian pun juga tersenyum. “Terima kasih karena sudah menemukan buku saya, dan bisa membuat mbak terinspirasi. Dan juga, buku yang mbak temukan, sebaiknya ambil saja. Itu akan lebih baik.”
Diana senang dan mengambil buku itu kembali. “Terima kasih juga, Mas Rian. Gara-gara Mas Rian, saya pengen menjadi Travel Writer. Saya berharap, saya bisa menjadi Travel Writer macam Mas Rian. Bisa menginspirasi banyak orang.”
Mendengar ucapan Diana, Rian langsung tersenyum bahagia di hadapan Diana. Dan Diana pun juga demikian. Sepertinya di senja hari, terlebih di saat hujan, Diana begitu bahagia bisa bertemu dengan orang yang menginspirasi. Begitu pula Rian, ia berhasil membuat orang terinspirasi dengan buku travelnya. Begitulah kelebihan menjadi Travel Writer, bisa bikin banyak orang terinspirasi dari hasil jalan-jalannya.
***
Segera di bulan April, akan ada cerita baru yang akan dirilis di MiniNoveling. So stay tune in my blog ^^
:D <3
Sabtu, 22 Oktober 2016
[Cerbung] The Future Magic Bell - Episode 20 END
BAGIAN DUA PULUH
*
* *
Melisha yang melihat kejadian aneh itu
langsung masuk kembali ke kamar tempat Andri dirawat, dan ia juga terkejut
kalau Andri ternyata sudah menjadi seorang anak kecil lagi. Seorang anak kecil
yang pernah ia ajak makan es krim, lalu kemudian terlibat kecelakaan dan berubah
menjadi pria yang ganteng. Dan hingga akhirnya kembali lagi menjadi seorang
anak kecil yang lucu dan imut. Ia bertanya-tanya di manakah sekarang Andri yang
dari tahun 2042?
Melisha mencoba untuk masuk ke dalam
kamar itu dan menyapa orang tua Andri yang wajahnya masih muda dan segar.
“Halo, Pak, Bu.”
Kemudian Ayah Andri menyapa Melisha
balik. “Halo, Nak. Apakah kau yang menyelamatkan anakku, Andri?”
“Ya? Ahh, iya. Saya menyelamatkan anak Bapak. Dan saya cuma mau melihat kondisi Andri, apakah ia baik-baik saja?”
“Iya, kondisinya sekarang baik-baik
saja. Jangan khawatir.”
“Ah, syukurlah.”
Melisha kembali melihat Andri yang kini
berubah menjadi sosok anak kecil yang pernah ia temui.
Dia
‘kan sudah berubah menjadi anak kecil lagi. Ahh, rasanya aku kembali ke masa
lalu, pengen ajak dia makan es krim lagi.
Melisha tersenyum melihat Andri, namun
Andri malah keheranan. “Oh, kakak? Kenapa tersenyum?”
“Hah? Ahh, kakak gak tersenyum, kok.”
Melisha kini beralih bertanya pada Ayah Andri. “Oh ya, Pak, kapan anak Bapak
akan keluar dari rumah sakit ini?”
“Hmm, setelah saya tadi ke dokter, Andri
akan keluar sebentar 2 jam lagi.”
“Oh, benarkah? Kalau begitu, boleh saya
ajak Andri pergi makan es krim? Yah, sekali sekali saya ajak traktir makan es
krim. Pasti Andri suka. Boleh ya, Pak?”
“Yah, boleh saja, Nak. Sekali sekali
membuat anakku senang.”
“Asik, makasih yah, Bapak!” Melisha
senang karena bisa mengajak Andri makan es krim lagi.
------------------------------------------
Melisha kembali lagi mengajak Andri
pergi makan es krim di kedai Baskin Robbins, tempat pertama kali mereka makan
es krim, sesaat sebelum kecelakaan tabrak lari. Andri memang sangat senang bila
melihat es krim. Apalagi jika melahapnya, pasti akan membuatnya tersenyum.
Jika
saja kau tersenyum sekarang, maka aku akan senang. Bisa membuatmu bahagia
bersama istrimu dan anakmu.
“Kakak, kenapa melamun?”
Melisha terkejut ketika Andri melihat
Melisha melamun. “Aduh, Andri, kakak tidak melamun kok. Cuman melihat es krim
yang enak di sini.”
“Ooh, Andri juga senang melihat es krim.
Pengen saya makan semuanya kalau begitu.”
“Widih, makan semuanya, ya? Kakak
gimana?”
“Sendok-nya aja dijilatin.”
“Ihh, Andri ini bisa aja deh.” Melisha
mengelus pelan kepala Andri, lalu kemudian duduk di meja nomor 24.
Melisha memesan Mango Ice Cream dan
Andri memesan Blueberry Ice Cream. Ketika pesanan sudah jadi, Melisha memakan
es krim dengan pelan, sementara Andri memakan lahap es krim tersebut. Melisha
tersenyum melihat Andri yang bersikap seperti biasanya, seperti anak kecil pada
umumnya.
-----------------------------------------------
Keesokan harinya, di hari Sabtu, Melisha
seperti biasa pergi bersekolah, dengan memakai jaket almamaternya. Melisha
duduk di barisan kedua, dan mengeluarkan buku paket Fisikanya. Ia sedikit
belajar-belajar tentang materi yang akan ia pelajari.
Selang tak berapa lama, kelas Melisha
kedatangan seorang guru honorer laki-laki yang sangat ganteng, lengkap dengan
memakai baju batik. Melisha juga terkejut dengan guru honorer itu.
Lho,
bukannya itu Andri? Kenapa dia ada di sini?
Melisha menebak bahwa guru honorer itu
adalah Andri di tahun 2042, karena wajahnya yang sangat mirip.
Guru itu pun memperkenalkan dirinya.
“Diam semuanya. Karena Bapak Dodi sekarang sedang cuti ke luar kota, maka Bapak
akan menggantikan Pak Dodi untuk mengajar pelajaran Fisika pada kali ini. Bapak
akan memperkenalkan diri. Nama Bapak adalah Dwi Maryono. Kalian bisa panggil
Bapak dengan Pak Dwi.”
Melisha kepikiran. “Pak Dwi? Bukannya
dia Andri? Kenapa wajahnya mirip sekali, ya?”
“Jadi, selama Bapak mengajar, tidak
boleh ada yang ribut ataupun melakukan sesuatu yang tidak baik. Dan, tetap
selalu mentaati tata tertib di sekolah ini. Mengerti?”
“Mengerti, Pak!!” Semua menjawab,
kecuali Melisha. Pak Dwi melihat Melisha hanya diam saja.
“Hei, kau. Kenapa bengong? Apa yang kau
pikirkan?”
“Hah? Ti--tidak, kok Pak. Saya tidak
memikirkan apa-apa.”
“Lalu kenapa tadi bengong? Pasti ada
yang kau pikirkan, bukan?”
“Tidak, kok Pak, sungguh.”
Pak Dwi kembali duduk setelah
memperkenalkan dirinya. “Baiklah, apa Pak Dodi memberikan PR buat kalian?”
“Iya, Pak!!”
“Bagus, sekarang kumpulkan PR kalian.”
PR Fisika yang terakhir dikerjakan,
ternyata Melisha kelupaan bukunya di rumah. Ia agak panik dan pasrah, dan lebih
memilih untuk diam di bangkunya.
Setelah semua murid di kelas 2-4
mengumpulkan PR mereka, akhirnya semua murid duduk dan Pak Dwi memeriksa
kelengkapan buku. Dan ada suatu kejanggalan. Ternyata dari 24 murid, ternyata
cuma 23 yang mengumpulkan buku. Pak Dwi curiga dan segera memeriksa absennya.
“Tunggu sebentar. Apakah ada di antara
kalian yang tidak mengumpulkan PR. Dari 24 murid, ternyata ada 1 yang tidak
kumpulkan PR. Yang merasa tidak mengumpulkan PR-nya, angkat tangan.”
Para murid pun gaduh dan bertanya-tanya
siapa yang tidak mengumpulkan PR. Melisha yang tetap diam, akhirnya mengeluh
dan mengangkat tangannya. Semua murid menoleh pada Melisha, dan Pak Dwi juga
melihat Melisha yang mengangkat tangan.
“Kau, yang namanya Melisha?”
“I--iya, Pak.”
“Melisha, kau naik ke depan.”
Melisha dengan tidak mengatakan apa-apa,
langsung naik ke depan dan Pak Dwi menghampiri Melisha yang berdiri di depan
kelas. Pak Dwi menatap Melisha dengan sinis.
“Kau, kenapa tidak mengumpulkan PR-mu?”
“Karena--- aku kelupaan. Buku PR-ku
lupa.”
“Oo, jadi kau lupa ya?”
Pak Dwi sejenak melihat penampilan
Melisha, dan akhirnya ia melihat kejanggalan lagi.
“Kau, tidak memakai sepatu hitam, dan
malahan memakai sepatu berwarna?”
Melisha melihat ke bawah dan sadar kalau
ia benar memakai sepatu berwarna. “Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu.”
Pak Dwi geram dan tak tahan lagi, lalu
segera mengeluarkan amarahnya. “Kau!! Telah melanggar aturan tata tertib
sekolah. Lebih baik, Bapak akan sita sepatumu, dan beritahu orang tuamu untuk
datang dan mengambil kembali sepatumu itu.”
Pak Dwi langsung memaksa membuka
sepasang sepatu Melisha, hingga membuat Melisha hanya memakai kaos kaki saja.
“Lebih baik pulang pakai kaos kaki saja.
Dan kau tetap berdiri karena tidak mengumpulkan PR-mu.”
Pak Dwi kembali duduk di meja sambil
membawa sepatu Melisha.
Ahh,
kenapa nasib malang harus terjadi padaku? Kenapa ya?
---------------------------------------
Saat pulang sekolah, pada jam 6 petang,
Melisha masih berdiri menunggu di depan gerbang sekolah. Ia menggaruk-garukan
kakinya karena ia tidak memakai sepatu. Sementara itu, Pak Dwi dengan memakai
tas punggung besarnya, juga berdiri menunggu di samping Melisha. Pak Dwi
melihat Melisha mengeluh tanpa mengenakan sepatu. Pak Dwi hanya bisa menggeleng-geleng
melihat Melisha yang berwajah murung.
“Kau belum pulang juga?”
Melisha terkejut ketika Pak Dwi berada
di sampingnya. “I--iya. Sedang menunggu seseorang. Untuk menjemputku pulang.
Karena ada acara juga sebentar malam. Terus, kenapa Bapak belum pulang?”
“Saya sedang menunggu istri saya, dan
tiga anak saya juga.”
“Hah? Tiga anak?” Melisha tiba-tiba
berteriak tidak karuan. Membuat Pak Dwi menjadi agak terkejut dan keheranan.
“Kau, kenapa sih?”
Melisha langsung kembali bersikap
seperti biasa. “Ehh, tidak kok, Pak. Cuman memikirkan Bapak, saya langsung
memikirkan seseorang.”
“Seseorang itu siapa sih?”
“Hmm, seseorang yang bisa dibilang
adalah selalu yang meminta bantuanku. Dan juga, dia yang membuatku senang,
walau dia sudah beristri.”
“Seseorang itu mungkin... Bapak?” ucap
Pak Dwi sambil menunjuk dirinya.
“Ahh, tidak kok, Pak. Bukan Bapak yang
dimaksud. Maksud saya itu, orangnya sangat berbeda dari Bapak. Masa saya harus
membandingkan orang itu dengan Bapak?”
Pak Dwi jadi mengerti maksud Melisha
itu.
“Baiklah, jika kau memang berniat ingin
minta sesuatu, bilang saja. Dan juga, Bapak akan mengembalikan sepatumu. Karena
Bapak kasihan melihatmu yang tidak memakai sepatu.”
Melisha langsung tersenyum melihat Pak
Dwi yang menjadi baik padanya.
“Makasih, Pak. Kenapa Bapak langsung
mengembalikan sepatu saya?”
“Karena, kau sudah memuji Bapak seperti
itu.”
“Aduh, Bapak ini. Sudah saya bilang,
saya tidak memuji Bapak kok.”
“Tapi sudah masuk di hati Bapak, hehe.”
“Ahh, Bapak ini.”
“Oh iya, apa kau mau ikut sama Bapak?”
“Kemana?”
“Makan malam, bersama keluarga.”
“Lho, kenapa tiba-tiba, Pak?”
“Tidak, itu cuma sebagai permohonan maaf
bagi Bapak, karena Bapak telah memarahimu tadi pagi.”
“Yah, kalau tidak keberatan sih, boleh
aja Pak. Saya mau ikut.”
“Bapak tidak akan keberatan. Dan Bapak
malahan senang ketika ada yang menerima tawaran Bapak.”
Melisha tersenyum mendengar pernyataan
dari Pak Dwi. “Woah, benarkah, Pak? Iya, saya juga senang bisa makan malam
dengan Bapak, karena Bapak juga memikirkan perasaan saya. Saya sangat senang.”
Pak Dwi mendesah ketawa, karena
pernyataan Melisha membuatnya lucu. “Iya, yang penting ‘kan kita sama-sama
senang.”
Melisha menatap Pak Dwi senang. Ia
melihat Pak Dwi mirip seperti Andri, namun berbeda dari Andri. Pak Dwi ternyata
lebih baik dari Andri. Walaupun sebenarnya Andri hanyalah seorang anak kecil, tapi
melihat Pak Dwi saja, membuatnya kembali mengingat Andri yang selalu meminta
bantuan pada dirinya. Ia menganggap Pak Dwi adalah guru dan juga teman terbaiknya.
Pak Dwi juga membalas senyuman Melisha, dan membuat mereka sama-sama tersenyum.
Meskipun
Pak Dwi terlihat seperti orang galak, tapi di dalam hatiku, dia terlihat
seperti orang yang baik. Dia bisa saja lucu, dia bisa saja serius, bahkan dia
bisa saja kembali bersifat seperti aslinya. Aku akan tetap menjadi teman buat
Pak Dwi. Andri, aku sudah menemukan penggantimu. Yang lebih baik darimu. Yaitu
Pak Dwi. Walaupun orang-orang melihatnya sebagai Pak Dwi, tapi, aku menganggap
Pak Dwi sebagai... Andri.
TAMAT
------------------------
Nantikan karya-karya MiniNoveling
berikutnya. Di bulan November atau Desember, akan ada cerbung baru lagi di blog
ini. Stay tune yah ^^
[Cerbung] The Future Magic Bell - Episode 19
BAGIAN
SEMBILAN BELAS
* * *
"Iya, aku sibuk karena sekolah terus. Lagian, aku ada ujian. Kenapa kau harus mengangguku terus, Andri?"
"Karena kau sudah membantuku. Jadi tolonglah, temani aku sampai aku bisa pulang."
"Sudahlah, jangan jadikan aku sebagai budakmu. Aku tidak suka, tau."
------------------------------------
Melisha
tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Melihat Andri terbaring
lemah di kasur rumah sakit saja sudah membuatnya sedih.
"Jadi, kau benar menulis surat ini?"
Melisha
kembali memikirkan tentang surat itu. Ia sudah mengetahui kalau
kekuatan Andri bertambah. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Kuharap, kita bisa melewatinya hanya satu hari saja. Aku mohon."
Di
dalam kamar, Andri sedikit menggerakkan tangannya dan membuka matanya.
Ia melihat Melisha sedang duduk di sekitaran koridor dekat kamar VIP. Ia
menebak bahwa Melisha sangat sedih. Andri mencoba membuka suara
batinnya pada Melisha.
"Maafkan aku. Kau
pasti sudah baca surat itu. Maafkan aku, jika aku akan menghilang tanpa
pamit darimu. Setidaknya, sekarang, kita masih bisa bersama. Sebagai
teman."
Mereka membuka suara batin mereka
masing-masing. Andri memilih untuk terus bersama Melisha, namun Melisha
justru memikirkan yang sebaliknya. Ia tak ingin bertemu lagi dengan
Andri, setidaknya ia hanya melihat Andri sebagai anak kecil saja.
Aslinya Andri hanya seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa.
Melihat Andri yang sudah sadar, Melisha langsung masuk dalam kamar, dan mengkonfirmasi keadaan Andri yang sekarang.
"Andri, kau tidak apa-apa, 'kan?"
"Aku, baik-baik saja selama kau ada di sini."
Wajah
Melisha menjadi muram karena gombalan Andri yang terbilang lebay.
"Jadi, kalau aku tidak ada, kau tidak akan baik-baik saja di sini?"
"Setidaknya, lebih suka jika kau ada di sini. Temani aku selama 2 minggu ini."
"Kau 'kan sudah tahu. Aku tidak bisa menemanimu selama 2 minggu, lagian aku ada kegiatan sekolah. Itu lebih penting bagiku."
"Setidaknya, satu hari saja. Tolonglah. Sudah lama aku tidak bertemu denganmu."
"Jadi, surat itu benar? Bahwa kau punya kekuatan baru?"
"Ooh,
kau sudah baca surat itu? Iya, benar. Aku sudah punya kekuatan baru.
Namun, aku tidak mau kalau kekuatanku tidak terkendali. Aku ingin waktu
benar-benar 2 minggu."
Namun, di dalam hati Melisha justru ingin Andri menghilang. "Semoga kekuatanmu tidak terkendalikan. Setidaknya, hanya satu hari saja aku menemanimu."
Andri
melanjutkan bicara, dan tidak melihat Melisha sedang melamun. "2 minggu
kemudian nanti akan kedatangan para komplotan sialan itu. Mereka tak
henti-hentinya menjemputku. Jadi, biarkan aku menikmati waktu ini
bersamamu."
"Kau tidak takut pada komplotan itu?"
"Tidak, aku bahkan masih ingin memukulnya."
"Jadi, keadaanmu baik-baik saja?"
"Yah, setelah 2 jam infus terisi di tubuhku, keadaanku sudah full baik-baik saja."
"Lalu, rencananya apa sekarang?"
"Kita... menghabiskan waktu bersama. Aku akan memajukan waktu ke hari Sabtu depan. Aku bisa kok."
"Dengan keadaan yang seperti ini?"
"Aku bisa. Bahkan aku bisa keluar dari rumah sakit ini."
"Katanya dalam waktu 2 jam, infus akan full terisi di tubuhmu. Jadi, kita tunggu saja 2 jam kemudian."
Tiba-tiba,
kamar VIP seketika bersinar. Melisha menutup matanya karena kamar VIP
itu sangat bersilau. Dan tiba-tiba, Andri sudah berkemas, memakai kemeja
biru yang melengkapi kegantengannya. Bahkan penampilan Andri berbeda
dari yang sebelumnya, kini ia semakin ganteng dengan kemeja birunya.
Melisha menjadi heran melihat suasana yang sudah semakin berbeda. "Andri? Bagaimana kau...?"
"Oh, Melisha? Kapan kau datang? Sudah dari tadi ya?"
"Andri, kau sudah berkemas?"
"Iya. Kau sudah pulang sekolah? Ya sudahlah, bekal juga sudah kusiapkan, jadi kita harus piknik hari ini."
Melisha langsung berpikir bahwa itu adalah keajaiban baginya. "Jadi,
waktu benar-benar berubah? Dan bagaimana dengan Om Heri? Aku bahkan
belum bicara banyak padanya. Ah, aku tak peduli. Yang penting waktu
sudah berubah."
"Tapi, Andri, hari ini hari apa, ya?"
"Kau
tidak ingat? Ini hari Sabtu. Dan tadi kau sudah janji kalau kita akan
piknik hari ini. Bekal juga sudah siap, semuanya sudah siap."
"Oh, oh, ya? Iya, iya. Hari ini kita berangkat. Aku sudah pulang sekolah sedari tadi. Ayo kita pergi."
Andri hanya tersenyum dan membawa bekal langsung di tangannya.
--------------------------------------
Andri
dan Melisha berpegangan tangan sembari melihat pemandangan dari pusat
kota. Mereka begitu senang melihat suasana yang sangat damai ini.
Andri merasa lengkap hari ini. Ia agak bingung di mana ia akan piknik nanti. "Hmm, sebaiknya kita piknik di mana ya?"
"Yah, terserahlah. Yang penting itu membuat kita nyaman."
"Oh? Gimana dengan yang di sana? Yang dekat taman bermain itu?"
Melisha tersenyum melihat tempat yang sangat indah itu. "Oke, kita kesana saja."
Dan tak lama, di dekat taman bermain, sudah dipersiapkan bekal makanan dan minuman susu bubble tea masing-masing 2 gelas. Mereka sangat menikmati piknik mereka, walaupun agak berat jika Andri menghilang secara tiba-tiba.
Aku cuma berharap kau segera menghilang dari hidupku. Perhatikan istrimu, dan juga anakmu.
Andri menikmati nasi gorengnya, sambil meminum minuman segarnya itu. Melisha cuma menyentuh-nyentuh makanan itu.
"Kau, tidak makan?"
"Hah? Sebentar lagi, kok. Ini mau makan. Dan kelihatannya, kau menikmati makananmu?"
"Tentu dong. Rasanya sangat enak."
"Oh iya, kau 'kan mau pulang ke masamu. Kapan kau akan pulang?"
"Yah,
jika urusan sudah selesai, maka aku akan segera pulang. Memangnya
kenapa? Apakah terjadi sesuatu nantinya jika aku tidak ada?"
"Tidak kok. Aku cuma kepikiran, kalau kau sebenarnya adalah anak kecil. Aku cuma ingin semuanya bisa membalikkan keadaan."
"Kenapa memangnya? Kau mau aku kembali menjadi anak kecil lagi?"
"Yah harusnya seperti itu. Kau cuma nyasar di sini."
"Hmm,
iya juga sih. Tapi..." Andri tiba-tiba memegang tangan Melisha dengan
lembut. "Setidaknya, buatlah waktu yang berharga untukku. Karena kau
selalu menolongku ketika aku susah. Walau aku menyerah untuk pulang,
tapi buatlah aku senang hari ini."
Melisha menatap tajam mata Andri yang terlihat tulus mengatakan itu. Dan ia pun membalas tanggapan Andri.
"Iya.
Setidaknya aku menemanimu sampai kau pulang kembali ke tahun 2042. Dan
juga, aku tak ingin kau terluka karena para komplotan itu. Kenapa juga
pamanmu kejam padamu?"
"Tak tahu, memang takdirnya kalau paman sudah kejam padaku."
Melisha tersenyum menatap Andri, begitu pula dengan Andri.
Mungkin,
ini menjadi perpisahan kita, Andri. Biarpun kau menghilang, tapi
setidaknya aku senang kalau semuanya bakalan kembali seperti semula.
Di
belakang mereka, terdapat pancaran sinar. Dan lagi-lagi, waktu telah
berubah. Waktu yang tersisa untuk Andri juga sudah habis. Setelah mereka
bertatap muka, tiba-tiba Andri melihat para pria berbaju hitam lengkap
dengan membawa alat pukul dan sajam (senjata tajam). Andri seketika
panik melihat mereka yang sedang mencari dirinya.
Melisha melihat wajah Andri terlihat panik. "Kau kenapa, Andri?"
"Ku--kurasa, waktu sudah habis."
"Apa maksudmu?"
"Lihatlah ke belakang."
Melisha menoleh dan mereka melihat para komplotan datang mencari Andri.
"Oh!!
Mereka sudah ada!! Bos, coba lihat mereka!" seru salah satu komplotan
ketika melihat Andri dan Melisha duduk di dekat taman bermain.
Bos langsung berbinar-binar melihat Andri dan Melisha. "Iya, kita tangkap Andri sekarang!! Ayo, semua!!"
Andri
pelan-pelan memundurkan langkahnya, dan mengajak Melisha beranjak dari
tempat itu. "Melisha, ayo kita lari! Mereka akan mencoba menangkapku."
"Tapi larinya kemana?"
"Ah, terserah sajalah, yang penting kita lari!"
Andri
dan Melisha beranjak dan langsung berlari sekencang-kencangnya.
Begitupun dengan para komplotan itu, berlari mengejar mereka.
Andri
sangat kesusahan berlari, namun ia mencoba untuk berlari semampunya.
Dan tak berapa lama, Andri dan Melisha mendapat tempat untuk
bersembunyi. Yakni gang yang agak gelap.
Setelah mereka masuk dalam gang itu, Andri mencoba menenangkan Melisha yang sedari tadi panik dan ketakutan.
"Melisha,
kau yang tenang. Aku, baik-baik saja. Meskipun aku ujung-ujungnya
ditemukan, aku bisa mengatasi mereka. Jadi jangan khawatir."
Namun harapan Andri untuk bisa tenang lebih lama kini sudah menghilang, para komplotan itu sudah menemukan gang itu.
"Woi, ternyata kau di sini. Sebaiknya menyerah saja sebelum kami pukul."
Melisha mencoba untuk menghalangi Andri. "Jangan sakiti Andri! Dia tidak bersalah."
"Hei, kau! Ngapain kau mencoba mengurusi urusan kami?"
"Pokoknya, jangan sakiti dia!"
Karena
Andri tidak ingin masalah bertambah lagi, Andri mencoba bicara dengan
Melisha. "Lebih baik, kau pergi. Tadi sudah kubilang, aku baik-baik
saja. Tenanglah di luar, anggap seolah tidak ada yang terjadi. Ya?"
Andri
mencoba menenangkan Melisha yang terus menerus panik. Namun ia pun
luluh dan mengikuti intruksi Andri. "I--iya, Andri. Aku akan keluar
kalau begitu."
Melisha pelan-pelan keluar dari
gang gelap itu, lalu setelah si perempuan itu keluar, para komplotan itu
langsung melayangkan pukulannya pada Andri, hingga mereka memukul Andri
secara berkali-kali. Andri mencoba melawan, namun tak berdaya karena
alat pemukul dan sajam sudah siap untuk digunakan.
Melisha
yang ada di luar, mendengar suara pukulan demi pukulan di dalam gang
itu. Melisha sangat ketakutan dan panik, bagaimana dengan keadaan Andri?
Meskipun aku sangat berharap dia segera pulang, tapi tolong jangan ada darah di tubuhnya.
Melisha
duduk ketakutan di luar tempat gang, dan tak berapa lama, para
komplotan keluar sambil tertawa puas karena misi sudah selesai.
"Ahh, rupanya menghabisi dia cukup 2 menit aja yah, Bos."
"Betul, sudah sekarat dia itu. Biarkan dia di situ."
Melisha
panik dan segera masuk dalam gang itu. Dan ternyata ia melihat Andri
jatuh terlentang sambil memegang badan bagian bawahnya. Melisha langsung
menghampiri Andri dan membalikkan badan Andri, dan ternyata di bagian
perutnya terluka terkena tikaman dari para komplotan. Andri sudah sangat
sekarat mendapatkan luka yang amat parah, dan Melisha sangat panik
melihat keadaan Andri.
“Andri, kau sungguh tak apa-apa, ‘kan? Kau terluka. Perutmu...”
Andri mencoba mengangkat kepalanya dan melihat bahwa perutnya sudah sangat berdarah. “Me--Melisha. Coba, cari bel biru itu.”
“Untuk apa?”
“Coba kau cari. Tahu-tahu nanti ada di situ.”
Kemeja
biru Andri sekarang penuh dengan bercak darah, dan Melisha sekarang ini
sibuk mencari bel biru itu. Melisha mencoba memegang di sela-sela
kantong celana jins Andri, dan ia pun menemukan bel biru itu. Di kantong
sebelah kanan.
Melisha pun menaruh bel biru itu di tangan Andri yang sudah berdarah-darah itu.
“Kau harus kuat yah, Andri. Aku akan memanggil ambulans untukmu.”
Melisha menelepon ambulans dan ia meminta segera ke gang untuk membawa Andri ke rumah sakit.
------------------------------------
Melisha
dengan perlahan masuk ke dalam kamar dan melihat Andri yang masih lemah
terbaring di rumah sakit. Melisha merasa bersalah dan menyesal jika
Andri berakhir menjadi seperti ini. Melisha pun duduk dan ingin bicara
jujur dengan Andri.
“Andri, jika kau segera pulang, maka tidak ada lagi bantuanmu padaku, ‘kan?”
“Iya. Bisa jadi. Dan kau akan tenang, karena aku dapat kembali menjadi anak kecil lagi.”
“Lalu, kapan kau akan sembuh kembali?”
“Yah, belum tahu juga sih. Paling akan sembuh 2 jam lagi.”
Melisha tiba-tiba berpikir.
Aku berharap jika kau menghilang secepatnya. Kumohon.
Di
depan Melisha, jarak yang agak jauh, terlihat pancaran sinar kembali.
Melisha berpikir kalau waktu telah berubah lagi. Dan benar, waktu
berubah lagi dan suasana juga berubah. Andri yang tadinya sehat-sehat,
langsung sekarat lagi dan perutnya berdarah lagi. Melisha tiba-tiba
terkejut melihat ini dan segera menahan perut Andri yang sudah semakin
berdarah.
“Andri, kau kenapa? Tolong, kau bertahanlah. Jangan sampai mati.”
Andri tidak menjawab, malahan merintih kesakitan karena dirinya yang sekarat.
Melisha
jadi teringat bel biru itu, dan segera ia pun mengambil bel biru yang
ada di atas meja samping kasur dan meletakkannya di tangan Andri.
Melisha mungkin berpikir bahwa sudah saatnya Andri untuk pulang kembali
ke masanya.
"Andri, tolong peganglah bel biru ini. Kuharap kau bisa segera pulang."Melisha dengan terisak-isak memohon pada Andri, di mana Andri sudah dalam keadaan lemah berdarah-darah.
"Aku--a..ku, bisa memegangnya. Dan tolong, apar..temen yang kausewa untukku, ja..jagalah," ucap Andri sambil kembali memegang perutnya yang berdarah.
"Kau akan baik-baik saja di sana. Aku jamin. Kau baik-baik saja."
Melisha kembali terisak-isak, sementara Andri sudah tidak dapat mengontrol tubuhnya.
"Kau--keluarlah. Biarkan aku sendiri."
"Tapi, Andri?"
"Tak...apa-apa kok."
Berat rasanya pergi meninggalkan Andri yang terbaring lemah di kasur rumah sakit. Melisha sudah keluar dari kamar Andri, sementara Andri sudah menggenggam bel biru miliknya dan muncul sinar di balik genggaman tangan Andri. Lalu kemudian Andri pun memejamkan matanya dan sinar di genggaman tangan Andri masih terpancar.
Melisha keluar dan melangkah menuju lift. Di samping Melisha, sudah berjalan kakek-nenek tua yang renta. Mungkin mereka adalah orang tua Andri. Namun secara tiba-tiba, kakek-nenek itu berubah menjadi sesosok suami istri yang masih muda dan segar, setelah berjalan melewati Melisha. Melisha yang melihat itu terkejut dan memalingkan mukanya.
BERSAMBUNG
Episode Selanjutnya...
Langganan:
Postingan (Atom)